Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Trunojoyo Madura (UTM) Prof. Dr. Deni Setya Bagus Yuherawan menegaskan pentingnya kejelasan dan kesinambungan pelaksanaan kewenangan hukum pada tahap pra-ajudikasi dalam sistem peradilan pidana Indonesia.
Hal ini disampaikan sebagai respons terhadap urgensi penataan ulang sistem hukum acara pidana yang tengah menjadi perhatian nasional.
Menurut Prof Deni, sistem peradilan pidana Indonesia secara sistematis terdiri atas tiga tahapan besar, yakni pra-ajudikasi, ajudikasi, dan pasca-ajudikasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tahap pra-ajudikasi mencakup kegiatan penyelidikan dan penyidikan oleh kepolisian, serta penuntutan oleh kejaksaan.
"Pra-ajudikasi adalah pondasi awal dalam rangkaian proses penegakan hukum pidana. Jika pada tahap awal ini sudah terjadi kekaburan kewenangan atau pelanggaran prosedur, maka keadilan substantif akan sangat sulit diwujudkan," tegas Prof Deni kepada wartawan, Rabu (7/5/2025).
Prof Deni menekankan, setiap institusi penegak hukum memiliki peran dan batasan kewenangan yang harus dipahami secara yuridis.
Landasan hukum yang mengatur kewenangan tersebut harus dijadikan pegangan utama agar proses hukum berjalan efektif, akuntabel, dan sesuai prinsip negara hukum.
"Pemahaman yuridis atas batas kewenangan masing-masing lembaga. Ini harus menjadi kesadaran bersama. Untuk mencegah tumpang tindih kewenangan dan memastikan perlindungan hak-hak warga negara dalam seluruh tahapan proses pidana," tegasnya.
Secara khusus, Prof Deni juga menyoroti pelaksanaan kewenangan oleh Kepolisian pada tahap pra-ajudikasi, yakni terkait penyelidikan dan penyidikan harus dilakukan secara jelas dan tepat.
Lantaran ketidakjelasan dalam tahapan ini berpotensi menimbulkan ketidakadilan, penyimpangan hukum, hingga kriminalisasi.
"Jika sejak tahap awal tidak dilaksanakan secara sistemik dan taat prosedur, maka proses hukum akan kehilangan legitimasi. Penegakan hukum tidak cukup hanya berpijak pada kekuasaan, tetapi harus berbasis keadilan dan perlindungan hak asasi," tambahnya.
Prof Deni menyebut, penting bagi semua unsur aparat penegak hukum untuk tidak hanya menjalankan fungsi kelembagaan. Tetapi, juga menjiwai semangat konstitusi dan nilai-nilai HAM.
Penegakan hukum yang modern, lanjutnya, harus responsif terhadap dinamika masyarakat dan tuntutan reformasi sistem hukum pidana.
Pernyataan ini mempertegas bahwa tahapan pra-ajudikasi bukan sekadar teknis administratif, melainkan jantung dari penegakan hukum pidana yang bermartabat.
Kejelasan dan akuntabilitas dalam tahap ini menjadi indikator utama integritas penegakan hukum di Indonesia ke depan.
(mua/hil)