Beberapa tahun belakangan kampus asing dari luar negeri ramai membuka kampus di Indonesia. Pakar Universitas Indonesia (UI) memberikan peringatan akan potensi persaingan dengan perguruan tinggi negeri (PTN) hingga potensi devisa kabur.
"Itu kan kita sebagai kampus lokal perlu juga mewaspadai kedatangan kampus-kampus asing ini ke Indonesia. Karena kan mau tidak mau, pasarnya orang Indonesia itu akan, yang terutama yang dalam tanda kutip berduit itu kan, bakal teralihkan ke kampus-kampus yang masuk mendirikan kampus di sini, apalagi pendanaan mereka kan kuat ya, terhitung kuat," tutur Plh Direktur Humas Media, Pemerintah, dan Internasional UI, Emir Chairullah, SIP,MA,PhD.
Hal itu disampaikan Emir saat berbincang dengan forum wartawan pendidikan di kawasan Senayan, Jakarta, Kamis (12/6/2025), ditulis Jumat (13/6/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Nah, sementara UI mau tidak mau kan menghadapi kampus ini, nggak mungkin juga dibilang itu bukan ancaman, tapi juga nggak mungkin juga kita melarang mereka untuk berusaha di sini. Tapi kan yang paling mungkin dengan keterbatasan support dari pemerintah juga, kita mau tidak mau bersaing dengan kampus-kampus asing ini," urai Emir.
Selain itu, ada potensi devisa kabur ke luar negeri dengan didirikannya kampus-kampus asing itu. Salah satu jurus UI untuk menghadapinya adalah dengan berkolaborasi dengan kampus asing membuka program double degree. Program ini memungkinkan mahasiswa berkuliah di kampus UI Indonesia selama setengah masa perkuliahan, dan sisanya bisa berkuliah di luar negeri dengan universitas asing partner UI.
"Terutama mungkin yang paling mungkin dalam waktu yang sudah UI lakukan itu ya, seperti berkolaborasi sama bikin double degree, supaya nggak semua devisa langsung ke kampus-kampus asing itu. Kalau masuk ke sana (universitas asing di Indonesia) kan berarti otomatis devisanya lari ke kampus asing itu. Sementara ya kalau dalam konteks tenaga pengajar, sepertinya UI atau UGM atau mungkin ITB nggak kalah-kalah amatlah," tutur Emir.
Emir tak asal bicara. Sebagai dosen dan akademisi, mantan jurnalis ini pernah menempuh studi S2 di University of Auckland, Selandia Baru dan S3 di University of Queensland, Australia.
"Ya saya pernah ngerasain kuliah di luar, kualitas mereka tuh nggak jauh-jauh amatlah dari kita. Hanya mungkin fasilitas yang kita mungkin agak kepayahan saat ini ya. Nah mungkin dengan cara saat ini, dengan cara kolaborasi itu bisa nggak semuanya (devisa) lari ke luar," imbuh Emir.
Kampus asing ini, imbuhnya, memaksa kampus lokal, terutama PTN, harus bisa lebih bersaing lagi. Kalau tidak bisa bersaing, maka kampus lokal akan tertinggal.
"Karena, apalagi, ya misalnya ini ada bentar lagi pengumuman QS, kan? University Ranking, gitu. Itu ya sangat berdampak kepada bagaimana kampus lokal itu mau dihargai sama lokalnya sendiri. Karena kalau kita nggak bisa bersaing ya dengan kampus asing itu masuk ya kita bakal ketinggalan," lanjutnya.
Negara Tetap Harus Hadir untuk PTN
Dengan kondisi persaingan seperti yang dipaparkan Emir di atas, negara harus hadir agar PTN tetap bisa bersaing dengan kampus asing. PTN tak bisa lagi bergantung pada uang kuliah tunggal (UKT) untuk hidup, tapi lebih dari itu, harus kreatif berinovasi sehingga bisa menghidupi dirinya sendiri.
"Karena situasi sudah berat sekarang. Kalau cuma mengandalkan UKT atau SPP itu sudah tidak hidup kampus. Makanya mungkin ada yang bilang komersialisasi, sebenarnya tidak juga. Tidak komersialisasi juga karena ada yang reguler kan tetap berlaku. Tidak diabaikan gitu loh. Cuma kan kampus harus mampu untuk berinovasi," jelas dia.
Emir mencontohkan, kampus Ivy League di Amerika Serikat (AS), Harvard University yang adalah kampus swasta. Namun ternyata, Harvard masih menerima bantuan pemerintah AS meski swasta.
"Dan itu kampus luar juga begitu. Kecuali sudah kayak Harvard lah ya. Tapi kemarin kelihatannya Harvard kemarin dipotong juga uangnya sama Donald Trump, menjerit juga. Ternyata ada subsidi pemerintah juga. Saya pikir dia murni dana swasta. Ternyata ada dana pemerintah di situ. Jadi memang intinya negara harus hadir sih. Tidak bisa cuma nyerahin semua ke kampus untuk mencari duit sendiri. Berat," kata Emir.
Dia memberikan satu contoh lagi, Tsinghua University di China. Pada QS World University Ranking 2025, Tsinghua University ada pada urutan 20 kampus paling top dunia. Pencapaian itu, menurut Emir, adalah hasil campur tangan China yang berinvestasi dalam bidang pendidikan.
"Kayak Tsinghua itu kampus yang bisa sampai 20 besar dunia. Itu negara yang investasi. Bukannya kampus suruh berlari sendiri. Tapi ya walaupun dapat mungkin dapat tapi tidak semasif dana dari negara. Dan negara investasi di situ. Tidak bisa cuma bilang kampus harus berinovasi secara keuangan. UKT dilarang naik. Soal UKT kemudian tidak bisa. Tapi kemudian negaranya tidak mau ikutan dalam ngasih investasi," papar Emir.
Seperti diketahui Presiden Prabowo Subianto menerima Utusan Khusus Perdana Menteri Inggris Urusan Pendidikan Prof Sir Steve Smith dan Duta Besar Inggris untuk Indonesia Dominic Jermey di kediamannya di Hambalang, Bogor, Provinsi Jawa Barat, pada Jumat (30/5/2025) lalu saat libur panjang akhir pekan. Turut diterima perwakilan dari Russel Group, sebuah jaringan dari 24 universitas terbaik di Inggris Raya.
"Hadir juga dalam pertemuan tersebut di antaranya Bapak Prof Helen Bailey dari Queen Mary University of London, Bapak Pro. Funmi Olonisakin dari King's College London, Bapak Prof Tariq Ali dari University of Liverpool, dan British Council Country Director untuk Indonesia, Bapak Summer Xia," kata Sekretaris Kabinet, Teddy Indra Wijaya dalam keterangan tertulisnya dilansir dari laman Setkab.
"Beberapa kampus terbaik di Inggris Raya sangat tertarik untuk mendirikan kampusnya di Indonesia," ujar Seskab Teddy.
Selain itu, Presiden Prabowo juga mendorong peningkatan jumlah pelajar Indonesia yang dapat mengakses pendidikan di perguruan tinggi unggulan Inggris.
"Baik itu langsung di Inggris atau di kampus UK yang di Indonesia," lanjutnya.
Dalam catatan detikEdu, beberapa universitas luar negeri yang sudah membuka kampus di Indonesia antara lain:
Monash University di BSD, Banten (Australia)
Deakin-Lancaster University di Regol, Bandung (Australia-Inggris)
Western Sydney University di Surabaya (Australia)
King's College London di Singosari-Malang (Inggris)
(nwk/pal)