Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) menegaskan agar perguruan tinggi bisa menjaga jarak dan netralitas pada kegiatan politik sehubungan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 65/PUU-XXI/2023 terkait Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu.
Putusan tersebut menyatakan diperbolehkannya penggunaan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan, selama mendapat izin dari penanggung jawab. Pihak terkait juga diperbolehkan hadir asal tanpa atribut kampanye pemilu.
"Kami berharap massa dinamika, kampus bisa menjaga jarak dan netral serta bisa berdiri di atas semuanya tidak ikut-ikutan. Kita ingin situasi politik aman, damai, dan tidak memecah belah bangsa," ujar Plt. Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemdikbudristek, Nizam, dikutip dari kantor berita Antara Kamis (24/8/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Terus terang kita baru mempelajari ya karena putusan lengkapnya kita masih belum menerima jadi kita masih mempelajari, mendalami, dan berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait," kata dia.
Larang Kampus Punya Afiliasi Pada Kegiatan Politik
Lebih lanjut, Nizam menegaskan agar aktivitas politik tidak boleh mengganggu kegiatan belajar dan mengajar di kampus. Oleh sebab itu, ia meminta kampus tidak berafiliasi atau berhubungan secara langsung dengan seluruh kegiatan politik.
Saat ini, pihaknya masih mempelajari dan menemukan cara agar kampus tetap bisa menjaga integritas dan netralitasnya.
"Kita belum tahu pengaturannya karena kita masih mempelajari peraturan tersebut dan beberapa peraturan lain seperti ASN yang tidak boleh berkampanye. Padahal di kampus juga banyak ASN jadi itu yang mungkin perlu pendalaman," katanya.
Perdebatan Bolehkan Kampanye di Satuan Pendidikan
Tak hanya, kampus, kampanye juga diperbolehkan di sekolah. Putusan ini menuai beragam tanggapan dari praktisi pendidikan.
Salah satunya dari Dewan Pengurus Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G). Dalam rilisnya, P2G menyatakan kampanye di satuan pendidikan menimbulkan kekhawatiran praktisi pendidikan karena bisa mengganggu proses belajar.
Beriringan dengan P2G, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), juga mengatakan keputusan itu berpotensi membahayakan keselamatan para pelajar maupun mahasiswa. Menurut mereka, lembaga pendidikan seharusnya menjadi ruang netral untuk kepentingan publik seperti kampanye.
(nir/pal)