Puluhan Guru Segel Sekolah-Polisi Pemerkosa Mahasiswi Dituntut Ringan

Terpopuler Sepekan

Puluhan Guru Segel Sekolah-Polisi Pemerkosa Mahasiswi Dituntut Ringan

Tim detikBali - detikBali
Minggu, 07 Jul 2024 16:10 WIB
Puluhan guru menyegel gerbang masuk SMKN 5 Kota Kupang, NTT, Senin (1/7/2024). (Yufengki Bria/detikBali)
Foto: Puluhan guru menyegel gerbang masuk SMKN 5 Kota Kupang, NTT, Senin (1/7/2024). (Dok. Yufengki Bria/detikBali)
Kupang -

Peristiwa puluhan guru menyegel gerbang SMKN 5 Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi salah satu berita paling banyak dibaca selama sepekan terakhir. Aksi yang merupakan buntut dari penyelewengan dana bantuan operasional sekolah (BOS) itu berujung pada pencopotan Kepala SMKN 5 Kupang, Safirah Abineno.

Berikutnya, seorang polisi yang menjadi terdakwa dalam kasus pemerkosaan terhadap mahasiswi hanya mendapat tuntutan hukuman ringan di Pengadilan Negeri (PN) Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Meski terbukti memerkosa, terdakwa cuma dituntut 10 bulan penjara.

Kisah pilu terjadi di Lombok Barat. Santriwati di Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Aziziyah bernama Nurul Izati sempat meminta pulang ke Ende, NTT, sebelum meninggal dunia di RSUD Soejono Selong. Remaja perempuan berusia 14 tahun itu diduga dianiaya menggunakan balok kayu oleh sesama santri di ponpes tersebut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selanjutnya, anggota Polresta Kupang berinisial MA diduga terlibat dalam penimbunan solar bersubsidi. Solar-solar tersebut hendak diselundupkan ke Timor Leste. Kasus itu kini dalam penanganan Polresta Kupang. Berikut rangkuman berita terpopuler sepekan di Nusa Tenggara (Nusra) dalam rubrik Nusra Sepekan.

1. Guru Segel SMKN 5 Kupang

Safirah Abineno, Kepala SMKN 5 Kupang, dicopot dari jabatannya oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Nusa Tenggara Timur (NTT). Abineno dicopot dari jabatannya setelah puluhan guru menyegel gerbang sekolah dan ruang kerjanya.

Disdikbud NTT mencopot Abineno karena buntut adanya dugaan penyelewengan dana bantuan operasional sekolah (BOS) sebesar Rp 215 juta. Dugaan penyimpangan dana BOS itu mencuat saat puluhan guru menyegel ruang kerja Abineno.

"Ada hal-hal yang diduga sebagai pelanggaran disiplin, maka beliau (Safirah Abineno) saya copot," ujar Kepala Disdikbud NTT, Ambrosius Kodo, saat diwawancarai di halaman SMKN 5 Kupang, Selasa (2/7/2024).

Ambrosius menjelaskan pencopotan itu dilakukan agar Abineno bisa lebih fokus menjalani pemeriksaan terkait dugaan penyelewengan dana BOS dan pelanggaran disiplin itu. "Tentunya, itu berdasarkan hasil pemeriksaan dan pengambilan keterangan dari tim saya terhadap beberapa guru, bendahara, dan kepala sekolah," kata mantan Kalaksa BPBD NTT itu.

Dengan dicopotnya Abineno sebagai kepsek, dia berujar, maka tugasnya digantikan oleh seorang pelaksana harian (plh). Adapun, Plh Kepala SMKN 5 Kupang kini dipercayakan kepada Jeferson Lay.

"Sementara ini, saya gantikan kepala sekolah dengan menunjuk plh sambil menunggu Disdikbud memproses lanjut kasus yang tengah terjadi," imbuhnya.

Ambrosius menegaskan Abineno tetap bertanggung jawab terkait kasus yang menjeratnya. Termasuk melunasi tunggakan gaji terhadap 40-an guru tidak tetap (GTT) dan pegawai tidak tetap (PTT) di sekolah tersebut.

"Itu (pembayaran tunggakan gaji) karena manajemennya beliau, maka harus tanggung jawab karena bukan bersumber dari APBD, tetapi dari dana BOS. Sehingga beliau harus menyelesaikan hak-hak dari teman-teman GTT dan PTT," bebernya.

Sebelumnya, sebanyak 40 guru menyegel gerbang dan ruang Kepala SMKN 5 Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Senin (1/7/2024) sekitar pukul 14.51 Wita. Penyegelan dilakukan buntut sejumlah GTT dan PTT di sekolah itu belum digaji selama tiga bulan.

Pantauan detikBali, sebelum menyegel sekolah itu, para guru terlebih dahulu melakukan rapat untuk menunggu pembayaran gaji. Namun, Kepsek SMKN 5 Kota Kupang, Safirah Abineno, tidak hadir dalam rapat itu.

Puluhan guru kemudian mengambil tripleks yang sudah ditempel kertas karton untuk menyegel gerbang SMKN 5 Kota Kupang. Setelah itu, mereka berbondong-bondong menyegel ruangan Abineno dengan papan dan poster.

"Aksi ini sebagai bentuk kekecewaan terhadap kepala sekolah yang selalu menipu dalam pembayaran gaji GTT dan PTT. Padahal, janji pada hari Sabtu itu bahwa hari ini pembayaran gaji, tetapi dia malah tidak hadir," ujar mantan Wakil Kepala Humas SMKN 5 Kota Kupang, Yakobus Boro Bura, saat diwawancarai detikBali.

Yakobus menjelaskan puluhan guru itu seharusnya sudah mendapat pembayaran tunggakan gaji guru yang dibiayai dana BOS. Padahal, Yakobus berujar, perjuangan mereka menuntut haknya sudah dilakukan berulang kali, tetapi gajinya belum dibayarkan.

"Sehingga kami lakukan boikot dan menutup sekolah ini dan ruangan kepala sekolah untuk menuntut keadilan," kata Yakobus.

2. Santriwati Tewas Dianiaya Sempat Minta Pulang

Santriwati di Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Aziziyah, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), bernama Nurul Izati, meninggal dunia di RSUD Soejono Selong. Perempuan berusia 14 tahun itu diduga dianiaya menggunakan balok kayu oleh sesama santri di ponpes tersebut.

Ibu Nurul, yakni Raodah (50), mengungkapkan anaknya sempat minta pulang ke kampung halamannya di Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT). Ia tak menyangka kondisi Nurul justru terbaring kritis di RSUD Soejono Selong, Lombok Timur.

"Baru kemarin ada keluarga di Lombok Timur cerita kalau Nurul sakit. Tapi bilang orang asrama mereka baik-baik saja," kata Raodah lirih saat ditemui di Mataram, Sabtu (29/6/2024).

Raodah datang menjenguk anaknya naik kapal dari Kabupaten Ende dan tiba di Pulau Lombok pada Jumat (28/6/2024) sore. Raodah rela bermalam di atas kapal untuk melihat kondisi anaknya yang sedang kritis di RSUD Soejono Selong, Lombok Timur.

Menurut Raodah, tubuh Nurul dipasangi pompa oleh dokter di ruang ICU RSUD Soejono Selong. "Saya lihat dia dipompa jantungnya. Saya tidak sanggup," imbuh Raodah.

Raodah sempat mengajak Nurul berkomunikasi sebelum meninggal dunia pada Sabtu pagi tadi. Air mata Raodah mengucur saat melihat putrinya itu dipasangi alat bantu pernapasan.

"Saya sempat ajak berkomunikasi, dia tidak ada respons. Hanya mendengar suara napas," imbuhnya.

Raodah tidak menyangka anaknya mengalami sakit yang begitu parah. Ia pun menyesalkan kekerasan yang diduga dialami anaknya selama di ponpes.

"Sebelum koma, (Nurul) ngaku pernah dipukul tiga orang. Siapa dan di mana itu tidak tahu," tutur Raodiah.

Saat ini, Raodah dan tiga anggota keluarganya masih menunggu proses autopsi terhadap jenazah Nurul di RS Bhayangkara Kota Mataram. Hingga pukul 14.00 Wita, tak satu pun pengurus ponpes yang datang menjenguk santriwati itu.

Yan Mangandar, kuasa hukum Nurul Izzati, meminta agar kasus dugaan pemukulan kepada anak semata wayang Raodah itu diusut tuntas. Dia berharap pengelola ponpes tidak tutup mata terhadap kasus kekerasan tersebut.

"Kekerasan di ponpes hari ini benar adanya. Nggak usah ditutup-tutupi lagi," tandas Yan.

Nurul diduga menjadi korban penganiayaan temannya pakai balok dan sajadah. Ia meninggal dunia setelah kritis 16 hari dan dirawat di ruangan ICU RSUD Soejono, pagi tadi.

3. Polisi Diduga Selundupkan Solar ke Timor Leste

Polresta Kupang Kota menyegel dua tempat penimbunan solar subsidi di Kelurahan Fatukoa, Kecamatan Maulafa dan Kelurahan Alak, Kecamatan Alak. Seorang anggota Polresta Kupang Kota, Bripka MA, ditengarai terlibat penimbunan bahan bakar minyak (BBM) tersebut.

"Setelah dilakukan penyelidikan, terungkap keterlibatan anggota Polresta Kupang Kota berinisial MA," ujar Kapolresta Kupang Kota, Kombes Aldinan Manurung, di kantornya, Kamis (4/7/2024).

Aldinan mengungkap MA terlibat langsung untuk mengantar dan mengamankan penimbunan solar subsidi tersebut. Namun, tak menutup kemungkinan MA juga menjadi pengepul.

Aldinan menduga solar subsidi tersebut dikirim ke Timor Leste untuk sejumlah proyek. "Di sana (Timor Leste) mereka sangat membutuhkan BBM dan harganya kisaran harga Rp 21.000 ke atas (per liter)," bebernya.

Aldinan menambahkan sejauh ini polisi yang terlibat penyelewengan solar subsidi tersebut hanya MA. "Keterlibatan MA tengah dalam penyelidikan lanjutan di Paminal Polresta Kupang Kota dan Polda NTT," imbuhnya.

Terpisah, Bripka MA, anggota Polresta Kupang Kota, membantah terlibat dalam sindikat penimbunan solar subsidi. Keterlibatan MA mencuat setelah Polresta Kupang Kota menyegel dua tempat penimbunan BBM di Kelurahan Fatukoa, Kecamatan Maulafa, dan Kelurahan Alak, Kecamatan Alak.

"Itu sonde (tidak) benar (keterlibatan dalam penimbunan solar subsidi)," kata MA saat dihubungi detikBali via telepon WhatsApp, Jumat (5/7/2024).

Polisi yang pernah bertugas sebagai penyidik Tindak Pidana Tertentu (Tipidter) Polresta Kupang Kota selama 11 tahun itu tak banyak berkomentar soal kasus yang menyeret namanya. Sebab, ia tidak ingin melangkahi Provos dan Humas Polresta Kupang Kota.

"Saya belum bisa kasih pernyataan apa-apa, tetapi coba koordinasi dengan Provos dan Humas. Kan ada bagian itu, saya tidak bisa melangkahi," katanya.

4. Polisi Pemerkosa Mahasiswi Dituntut Ringan

Brigadir Denune To'at Abdian alias TO dituntut dengan hukuman 10 bulan penjara dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Abdian merupakan terdakwa pemerkosaan terhadap seorang mahasiswi berinisial D. Abdian tercatat sebagai anggota Polda NTB.

Dalam sidang yang berlangsung pada Selasa (2/7/2024) itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) membeberkan sederet pertimbangan meringankan, meski Abdian terbukti memerkosa korban. Salah satunya, ada surat kesepakatan damai.

"Betul, tuntutannya sepuluh bulan. Karena setelah memasuki masa persidangan, terdakwa dan korban ini menunjukkan surat kesepakatan damai," jelas JPU dari Kejati NTB I Nyoman Sugiartha saat dikonfirmasi, Rabu (3/7/2024).

Sugiartha mengakui jika mengacu Pasal 6 huruf C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), tuntutan terhadap Abdian memang terlampau rendah.

"Betul Pasal 6 huruf C UU TPKS. Tuntutan ini kami layangkan berdasarkan beberapa pertimbangan termasuk perdamaian antara korban dan terdakwa," bebernya.

Sugiartha mengungkapkan pada persidangan pertama maupun kedua, korban begitu keras dan menggebu-gebu ingin melihat terdakwa dihukum berat. Namun, pada persidangan berikutnya, justru korban dan terdakwa datang menunjukkan surat perdamaian hingga berencana meminta pencabutan laporan.

"Padahal, proses hukum sudah berjalan sampai ke persidangan. Saya sampaikan juga kenapa tidak mengajukan RJ (restorative justice) saat kasus ini di penyidik saja. Kenapa saat sudah berjalan di persidangan," urai Sugiartha.

Sugiartha juga membeberkan jika orang tua korban masih memiliki hubungan keluarga dengan orang tua terdakwa. Sehingga persoalan ini disepakati diselesaikan dengan damai.

"Nanti kalau kami tuntut tinggi, dianggap kami mengabaikan surat kesepakatan damai kedua pihak yang disampaikan di persidangan," ujar Sugiartha.

Sementara itu, Muhammad Tohri Azhari, kuasa hukum korban mengaku kecewa dengan tuntutan JPU di PN Mataram.

"Harusnya ancaman hukumannya 12 tahun. Ada apa ini?" ujarnya mempertanyakan.




(hsa/gsp)

Hide Ads