Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Mataram menjatuhkan hukuman 6 tahun penjara kepada Brigadir Denune To'at Abdian (24), polisi yang memerkosa mahasiswi. Vonis hukuman yang dijatuhkan lebih berat dari dari tuntutan jaksa.
Anggota Polda Nusa Tenggara Barat (NTB) itu dinilai secara sah dan meyakinkan melakukan pemerkosaan terhadap mahasiswi berinisial DA, asal Lombok Timur. Sebelumnya, JPU menuntut agar polisi itu dihukum ringan, hanya 10 bulan.
Sidang vonis terhadap Brigadir To'at digelar tertutup di PN Mataram, Rabu (31/7/2024). Sidang itu dipimpin oleh hakim I Ketut Somanasa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sudah diputus dengan amar putusan pidana penjara 6 tahun, denda Rp 100 juta subsider kurungan tiga bulan," kata Humas PN Mataram Kelik Trimargo, Rabu siang.
Menurut Kelik, majelis hakim menilai To'at terbukti melanggar Pasal 6 huruf C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Selain pidana penjara, hakim juga menghukum To'at untuk membayar restitusi atau uang ganti rugi kepada korban DA sebesar Rp 15 juta.
Kelik mengatakan To'at harus membayar restitusi dalam kurun waktu 30 hari setelah pembacaan amar putusan tersebut dibacakan. Hakim akan memerintahkan jaksa untuk menyita dan melelang harta kekayaan To'at jika yang bersangkutan tidak membayar restitusi tersebut.
Sebelumnya, To'at alias TO dituntut dengan hukuman 10 bulan penjara dalam kasus itu. Dalam sidang pada 2 Juli lalu, jaksa membeberkan sederet pertimbangan meringankan, meski To'at terbukti memerkosa korban. Salah satunya, ada surat kesepakatan damai.
"Betul, tuntutannya sepuluh bulan. Karena setelah memasuki masa persidangan, terdakwa dan korban ini menunjukkan surat kesepakatan damai," jelas JPU dari Kejati NTB I Nyoman Sugiartha saat dikonfirmasi, Rabu (3/7/2024).
Sugiartha mengakui jika mengacu Pasal 6 huruf C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), tuntutan terhadap Abdian memang terlampau rendah.
"Betul Pasal 6 huruf C UU TPKS. Tuntutan ini kami layangkan berdasarkan beberapa pertimbangan termasuk perdamaian antara korban dan terdakwa," bebernya.
Sugiartha mengungkapkan pada persidangan pertama maupun kedua, korban begitu keras dan menggebu-gebu ingin melihat terdakwa dihukum berat. Namun, pada persidangan berikutnya, justru korban dan terdakwa datang menunjukkan surat perdamaian hingga berencana meminta pencabutan laporan.
"Padahal, proses hukum sudah berjalan sampai ke persidangan. Saya sampaikan juga kenapa tidak mengajukan RJ (restorative justice) saat kasus ini di penyidik saja. Kenapa saat sudah berjalan di persidangan," urai Sugiartha.
Sugiartha juga membeberkan jika orang tua korban masih memiliki hubungan keluarga dengan orang tua terdakwa. Sehingga persoalan ini disepakati diselesaikan dengan damai.
"Nanti kalau kami tuntut tinggi, dianggap kami mengabaikan surat kesepakatan damai kedua pihak yang disampaikan di persidangan," ujar Sugiartha.
(dpw/nor)