Jaksa menuntut Brigadir Denune To'at Abdian alias TO dengan hukuman 10 bulan penjara. Alasan tuntutan ringan terhadap polisi pemerkosa mahasiswi di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), itu adalah pelaku dan korban, D, sudah berdamai.
Diketahui, Abdian memerkosa D pada 24 November 2023. Aksi itu dilakukan di kos korban. Abdian tercatat sebagai anggota Polda NTB.
Dalam sidang yang berlangsung pada Selasa (2/7/2024) itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) membeberkan sederet pertimbangan meringankan, meski Abdian terbukti memerkosa korban. Salah satunya, ada surat kesepakatan damai.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Betul, tuntutannya sepuluh bulan. Karena setelah memasuki masa persidangan, terdakwa dan korban ini menunjukkan surat kesepakatan damai," jelas JPU dari Kejati NTB I Nyoman Sugiartha saat dikonfirmasi, Rabu (3/7/2024).
Sugiartha mengakui jika mengacu Pasal 6 huruf C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), tuntutan terhadap Abdian memang terlampau rendah.
"Betul Pasal 6 huruf C UU TPKS. Tuntutan ini kami layangkan berdasarkan beberapa pertimbangan termasuk perdamaian antara korban dan terdakwa," bebernya.
Sugiartha mengungkapkan pada persidangan pertama maupun kedua, D begitu keras dan menggebu-gebu ingin melihat terdakwa dihukum berat. Namun, pada persidangan berikutnya, justru korban dan terdakwa datang menunjukkan surat perdamaian hingga berencana meminta pencabutan laporan.
"Padahal, proses hukum sudah berjalan sampai ke persidangan. Saya sampaikan juga kenapa tidak mengajukan RJ (restorative justice) saat kasus ini di penyidik saja. Kenapa saat sudah berjalan di persidangan," urai Sugiartha.
Sugiartha juga membeberkan jika orang tua korban masih memiliki hubungan keluarga dengan orang tua terdakwa. Sehingga persoalan ini disepakati diselesaikan dengan damai.
"Nanti kalau kami tuntut tinggi, dianggap kami mengabaikan surat kesepakatan damai kedua pihak yang disampaikan di persidangan," ujar Sugiartha.
Kuasa hukum korban, Muhammad Tohri Azhari, kecewa dengan tuntutan JPU di PN Mataram. "Harusnya ancaman hukumannya 12 tahun. Ada apa ini?" ujarnya mempertanyakan.
Selama proses persidangan, Tohri berujar, beberapa kali mendampingi korban dalam persidangan tertutup. Namun, saat sidang tuntutan kemarin, ia mengaku tidak mendampingi korban sehingga tidak mendengarkan tuntutan langsung.
"Sangat disayangkan pihak keluarganya tidak ada koordinasi dengan pihak kami. Sementara kami masih sebagai kuasa hukumnya," sesal Tohri.
Sejak awal, korban dan keluarganya, Tohri melanjutkan, selalu meminta kuasa hukum untuk mengusut tuntas kasus tersebut. Namun demikian, ketika memasuki tahap tuntunan, korban dan terdakwa melakukan upaya perdamaian tanpa sepengetahuan dirinya.
"Harusnya perdamaian tidak menghapus perbuatan pidana. Dari ancaman hukuman 12 tahun dituntut 10 bulan ini kami pertanyakan ada apa," tegasnya.
Humas PN Mataram Kelik Trimargo mengungkapkan sidang selanjutnya mengagendakan pleidoi atau pembelaan dari terdakwa. "Nanti kami infokan untuk putusannya kapan," tandas Kelik.
(dpw/dpw)