Calon anggota legislatif (Caleg) DPRD Kota Mataram dari Partai Perindo, Ni Komang Puspita, dituntut hukuman lima bulan penjara dan denda Rp 5 juta. Tuntutan tersebut disampaikan jaksa dalam sidang tuntutan perkara tindak pidana pemilu di Pengadilan Negeri (PN) Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), dengan terdakwa Puspita, Senin (12/2/2024).
"Menuntut agar majelis hakim memberikan pidana kepada Ni Komang Puspita dengan penjara selama lima bulan penjara dan membayar denda Rp 5 juta subsidair kurungan empat bulan," ujar Jaksa Penuntut Umum (JPU) Mutmainnah Hasanah di hadapan majelis hakim.
JPU menyatakan Puspita melanggar Pasal 523 ayat 1 juncto Pasal 280 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketua majelis hakim Lalu Mohammad Sandi Iramaya memberi kesempatan bagi Puspita dan penasihat hukumnya melakukan pembelaan dalam sidang berikutnya.
"Silakan terdakwa melalui penasihat hukum bisa mengajukan pledoi. Kami jadwalkan besok, Selasa (13/2/2024)," kata Sandi.
Menurut Sandi, putusan perkara tersebut harus diselesaikan pada Selasa besok. Dia menjelaskan setelah sidang pembelaan berlangsung pada pagi hari, hakim menjadwalkan sidang putusan atau vonis pada sore hari.
"Kami agendakan sidang pembelaan pagi, replik jaksa siang, sore atau malam sudah putusan jika disetujui JPU maupun terdakwa," jelas Sandi.
Sementara itu, Puspita seusai sidang putusan tak dapat menyembunyikan kekecewaannya. Dia merasa tuntutan JPU tidak adil.
"Ini tidak adil. Saya hanya mem-posting visi misi saya. Mereka salah menafsirkan," kata Puspita mengkritik tuntutan JPU.
Sebelumnya, Puspita mengunggah tulisan di media sosialnya. Bunyinya, 'jika kau minta seratus aku mundur, tapi jika kau ingin aku membahagiakanmu ke depannya maka ingatlah aku saat di bilik suara, pilih Partai Perindo DPRD Kota Mataram nomor satu dan coblos, ku pastikan beras ini akan sering mampir ke rumah warga yang kurang sejahtera masyarakat' itu adalah bentuk kesiapan dalam membuat program bantuan sembako secara rutin kepada masyarakat.
"Narasi inilah yang kemudian dianggap menjanjikan sesuatu kepada masyarakat di masa kampanye. Itu salah tafsir," sesal Puspita.
(hsa/gsp)