Jurus Berkelit 2 Pimpinan Ponpes Perkosa Puluhan Santriwati: Itu Fitnah

Round Up

Jurus Berkelit 2 Pimpinan Ponpes Perkosa Puluhan Santriwati: Itu Fitnah

Tim detikBali - detikBali
Rabu, 24 Mei 2023 09:53 WIB
Dua pimpinan Ponpes di Lombok Timur yang cabuli puluhan santriwati dibekuk, Selasa (23/5/2023). Foto: Ahmad Viqi/detikBali.
Foto: Dua pimpinan Ponpes di Lombok Timur yang cabuli puluhan santriwati dibekuk, Selasa (23/5/2023). Foto: Ahmad Viqi/detikBali.
Mataram -

Dua pimpinan pondok pesantren (ponpes) di Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), berinisial HSN dan LMI yang diduga memerkosa puluhan santriwati telah ditetapkan sebagai tersangka. Meski begitu, HSN menyebut dirinya difitnah.

"Itu fitnah. Saya sedang sakit, selesai operasi, dibeginikan," kata HSN saat diamankan ke ruang Subdit IV Imitasi PPA Ditreskrimum Polda NTB, Selasa (23/5/2023).

HSN Teriak Bohong

HSN membantah terlibat dalam aksi pemerkosaan terhadap puluhan santriwatinya. "Fitnah semuanya. Bohong!" teriaknya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Direktur Reserse Kriminal Umum Polda NTB Kombes Teddy Ristiawan menjelaskan penetapan tersangka terhadap kedua pimpinan ponpes itu sudah berdasarkan alat bukti yang kuat dan keterangan sejumlah saksi. Menurutnya, kasus tersebut kini menjadi atensi Polda NTB.

"Memang kasus ini menjadi atensi Kapolda NTB. Jadi, semua rangkaian penyidikan berjalan dengan baik oleh Satreskrim Polres Lombok Timur," kata Teddy.

ADVERTISEMENT

Selain membekuk kedua tersangka, polisi juga mengamankan sejumlah barang bukti terkait kasus tersebut. Adapun barang bukti yang diamankan dari LMI berupa kaos lengan panjang warna hitam, jilbab warna putih, dan satu buah bra milik korban. Sedangkan barang bukti dari HSN berupa mukena warna putih, baju lengan panjang warna hijau, tank top hitam, celana dalam, dan bra warna hitam milik korban.

Beragam Modus

HSN dan LMI diduga melakukan beragam cara guna melancarkan aksi bejat memerkosa puluhan santriwati. Salah satunya modus yang dilakukan oleh HSN adalah membuka kelas pengajian seks.

Hal ini diungkapkan oleh Badaruddin, Ketua Lembaga Studi Bantuan Hukum NTB sekaligus kuasa hukum puluhan santriwati korban pencabulan. Menurutnya, HSN memberikan pengajian seks khusus bagi santriwati yang tinggal di pondok. Kemudian, santriwati yang diincar jadi korban dikelompokkan ikut dalam materi pengajian tentang hubungan intim suami-istri.

"Dikelompokkan di situ. Jadi, satu rombongan ngaji di satu ruangan. Karena tidak semua diberikan pengajian soal hubungan suami istri kan. Nah, korban ini mengaku pernah ikut pengajian tersebut," kata Badaruddin, Senin (22/5/2023).

Sementara itu, Direktur Biro Konsultan Bantuan Hukum (BKHB) Fakultas Hukum Unram Joko Jumadi selaku kuasa hukum korban pencabulan LMI menjelaskan LMI menerapkan modus yang sama. Menurutnya, LMI menjanjikan para santriwatinya masuk surga.

Menurut Joko, rata-rata korban disetubuhi di ruangan lab di lingkungan ponpes. Sebelum melakukan aksinya, korban dipanggil oleh empat asisten pelaku yang merupakan pengurus ponpes.

"Rata-rata pengakuan dua korban pelaku LMI menjanjikan masuk surga. Jadi kalau tidak mau berhubungan badan, pelaku ancam keluarga korban dapat celaka," kata Joko.

Diancam Bui 15 Tahun

Kapolres Lombok Timur AKBP Hery Indra Cahyono menjelaskan satu korban HSN melaporkan aksi bejat pelaku ke polisi. Sedangkan LMI sebanyak dua korban yang melapor.

"Jadi kedua pelaku ini masing-masing di satu kecamatan dan pondok yang berbeda. Pelaku HSN kami tahan pada Selasa (16/5/2023) dan LMI diamankan pada Kamis (4/5/2023)," kata Hery di Mapolda NTB, Selasa (23/5/2023).

Kabid Humas Polda NTB Kombes Arman Asrama Syaripudin menjelaskan dua kasus pencabulan yang dilakukan oleh dua pimpinan ponpes tersebut menjadi perhatian Polda NTB.

"Alhamdulillah serangkaian penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan di Satreskrim Polres Lombok Timur sehingga kasus ini menjadi terang," kata Arman.

Menurut Arman, kedua pelaku diancam Pasal 81 juncto Pasal 76D UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang ketetapan peraturan pemerintah pengganti UU Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Tahun 2002 UU tentang anak menjadi UU atau Pasal 6C UU Nomor 17 Tahun 2002 tentang tindak pidana kekerasan seksual.

"Kedua pelaku diancam hukuman penjara minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun. Kedua pelaku juga akan dikenakan denda maksimal Rp 5 miliar," pungkasnya.

Polda NTB Berikan Restitusi

Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat (Polda NTB) akan memberikan restitusi atau uang ganti rugi kepada para santriwati yang menjadi korban pemerkosaan dua pimpinan pondok pesantren (ponpes) di Lombok Timur. Direktur Reserse Kriminal Umum Polda NTB Kombes Teddy Ristiawan menjelaskan uang ganti rugi tersebut tengah diajukan.

"Kami Polda NTB akan bantu korban mendapatkan uang ganti atas tindak pidana yang dilakukan oleh para pelaku. Ini sedang kami ajukan," kata Teddy, Selasa (23/5/2023) di Mapolda NTB.

Selain mengupayakan pemberian uang jaminan, Polda juga akan memberikan upaya perlindungan kepada tiga korban pemerkosaan dengan pelaku berinisial LMI dan HSN saat bersaksi di persidangan nanti.

"Kami akan coba koordinasi dengan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) untuk melindungi kondisi psikologis para korban," jelasnya.

"Kami upayakan akan mendapatkan restitusi dan perlindungan di LPSK. Ini sesuai dengan amanat undang-undang ya," ujar Teddy.

Kanwil Kemenag Lotim Klaim Bukan Ponpes

Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Lombok Timur (Lotim) mengeklaim lokasi pemerkosaan puluhan santriwati di Desa Kotaraja, Kecamatan Sikur, bukanlah pondok pesantren (ponpes). Lokasi itu disebut hanya sebuah asrama yang digunakan sebagai tempat mengaji oleh anak-anak di desa tersebut.

"Saya tegaskan itu bukan pondok pesantren, tapi itu asrama mengaji. Beda tempat ngaji dan beda tempat sekolah. Jadi, santri di sana ada yang sekolah di SMP dan SMA," kata Kepala Seksi Pondok Pesantren Kantor Kemenag Kabupaten Lombok Timur Hasan kepada detikBali, Selasa (23/5/2023).

Menurut Hasan, asrama itu pun tidak mengantongi izin dari Kemenag Kabupaten Lombok Timur. Oleh karena itu, ia menyerahkan pemanfaatan asrama tersebut kepada pemerintah desa dan kecamatan setempat.

"Kalau mau tutup ya silakan. Kalau kami, karena tidak ada izin, jadi apa yang kami akan kami cabut?" ujarnya.

Berdasarkan hasil penelusuran Kanwil Kementerian Agama Kabupaten Lombok Timur, asrama tersebut memiliki sekitar 150 santri. Mereka datang mengaji setiap hari dan berasal dari sekolah yang berbeda. "Kalau ponpes kan pasti punya lembaga pendidikan. Ini kan tidak ada," kata Hasan.

Sementara itu, Hasan membenarkan lokasi pencabulan santriwati di Desa Sikur merupakan sebuah ponpes. Pemilik ponpes berinisial HSN juga memiliki izin untuk mengelola lembaga PPS Wustha, MTs, MA, dan SMK. Jumlah santri di ponpes Desa Sikur lebih dari 200 orang.

"Tapi dari sepengatahuan kami tidak ada kami dengar korban lebih dari 40 orang di sana. Ini kami kroscek lebih dalam lagi," kata Hasan.

Hasan menyerahkan kasus pencabulan santriwati di Desa Kotaraja dan Desa Sikur kepada kepolisian. Menurutnya, bisa saja ponpes tersebut diberikan sanksi penutupan jika pengelolanya terbukti bersalah secara hukum.

"Silakan diproses secara aturan yang berlaku. Untuk ponpes di Desa Sikur sendiri sedang kami carikan solusi berdasarkan aturan yang berlaku," kata Hasan.

Hasan menjelaskan Pemkab Lombok Timur belum bisa memberikan sanksi terhadap ponpes di Sikur. Sebab, pimpinan ponpes tersebut belum terbukti bersalah secara hukum.

"Kami sudah rapat tadi pagi. Bupati Lombok Timur minta apabila terbukti bersalah secara hukum dan inkrah, kami akan ambil langkah bersama Pemda yaitu penutupan," pungkasnya.




(hsa/gsp)

Hide Ads