Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan aparat penegak hukum (APH) masih kerap memberi stigma buruk terhadap korban kekerasan seksual. Hal itu disampaikan Anggota Komnas Perempuan Theresia Sri Endras Iswarini.
"Seringkali APH itu punya perspektif stigma (buruk) pada korban dan tidak berpihak pada korban," ujarnya di Denpasar, Selasa (7/2/2023). Padahal, menyalahkan perempuan justru berkontribusi pada meningkatnya kasus kekerasan seksual.
Menurut Rini, sapaan Theresia Sri Endras Iswarini, stigma buruk yang diberikan oleh APH kepada korban kekerasan seksual dapat memengaruhi seluruh proses hukum. Bahkan, memengaruhi putusan pengadilan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rini berpendapat polisi juga lemah dalam menangani kasus korban kekerasan seksual di mana korbannya merupakan penyandang disabilitas mental. Namun, ia tidak merinci bentuk kelemahan polisi dalam menangani kasus itu.
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Livia Istania Iskandar menambahkan korban kekerasan seksual sering disalahkan atas pakaian yang dipakai. Namun, stigma buruk itu keliru karena kekerasan seksual juga bisa terjadi di sekolah asrama termasuk yang siswanya berpakaian tertutup.
"Itu kan kalau (sekolah) yang berbasis agama itu pakaian kan tertutup dari atas sampai bawah. Jadi masalahnya bukan di pakaian," tutur Livia.
Menurut Livia, ada juga pelaku kekerasan seksual yang memanfaatkan kelemahan korbannya. Misalkan, mereka melakukan kekerasan seksual pada penyandang disabilitas bisu dan tuli. "Karena mereka bisu dan tuli tidak bisa berteriak minta tolong, lalu diperkosa beramai-ramai, misalnya," ujarnya.
Kekerasan seksual, Livia melanjutkan, juga bisa terjadi karena relasi kuasa yang sangat kuat. Misalkan, antara pejabat publik dan warga biasa hingga dosen dengan mahasiswanya.
(gsp/hsa)