Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), memiliki tradisi Teka Ra Ne'e. Teka Ra Ne'e merupakan tradisi gotong royong yang sudah menjadi ikon sosial masyarakat tanah Bima.
Pada dasarnya, tradisi gotong royong ini tidak jauh berbeda dengan yang ada di daerah lain. Dalam pelaksanaannya mereka saling membantu di tempat orang yang melaksanakan hajatan. Masyarakat Bima tidak hanya membantu, tetapi juga membawa berbagai kebutuhan untuk hajatan.
Teka Ra Ne'e terdiri dari dua kata, yaitu Teka yang artinya naik dan Ne'e yang artinya turun. Teka Ra Ne'e berarti sebuah kewajiban yang harus dipenuhi dalam hal membantu keluarga dan kerabat.
Tradisi Teka Ra Ne'e pada masyarakat Bima dapat kita jumpai pada hajatan pernikahan atau pasca panen. Meski tradisi ini terdengar simpel, terdapat pantangan yang tidak boleh dilanggar oleh masyarakat Bima. Pantang membuat hajatan pada bulan paceklik dari bulan September hingga Desember, khusus hajatan panen. Masa ini disebut Wulan Hera atau masa panen tidak dilakukan pada bulan ini.
Proses Pelaksanaan Teka Ra Ne'e
Teka Ra Ne'e merupakan sebuah tradisi gotong royong yang masih dilestarikan hingga sekarang oleh masyarakat Bima. Dalam pelaksanaannya, seseorang yang memiliki hajat harus terlebih dahulu melapor kepada tetua adat kampung mengenai rencana hajatan.
Selanjutnya tetua ada akan menugaskan kepada seseorang untuk mengumumkan rencana pelaksanaan hajatan tersebut dari rumah ke rumah.
Kemudian dilakukan Mbaju atau menumbuk padi untuk persiapan hajatan. Kegiatan ini dilakukan oleh istri tetua adat dan beberapa kerabat perempuan dengan tujuan bahwa akan dilakukan hajatan di rumah tempat menumbuk padi. Sejak hari itulah dilaksanakan Teka RaNe'e.
Khusus untuk kaum perempuan yang datang ke hajatan harus menggunakan Rimpu atau hijab orang Bima. Sedangkan laki-laki membawa kebutuhan hajatan yang disumbangkan. Demikianlah seterusnya yang dilakukan bila ada lagi hajatan lain yang akan di gelar di kampung itu.
Tugas-tugasnya yang dilakukan saat pelaksanaan Teka Ra Ne'e
Agar memudahkan dalam memantau persiapan hajatan, diperlukan pembagian tugas yang jelas supaya hajatan dapat dipersiapkan dengan baik. Berikut adalah pembagian tugasnya:
• Keluarga dan tetua adat menentukan hari baik untuk pelaksanaan.
• Kaum pria bertugas Kaboro haju ka'a atau mengumpulkan kayu bakar yang ada di bukit atau pegunungan menggunakan truk.
• Kaum pria juga bertugas Ti,a haju ka'a atau membelah kayu bakar yang besar supaya menjadi potongan kecil.
• Kaum pria bertugas membuat tenda dan hiasan hajatan.
• Kaum laki atau perempuan menyebarkan undangan secara dor to dor ke setiap rumah yang ada di desa sambil berjalan kaki.
• Memilih beberapa anggota perempuan untuk ditugaskan membuat jajan.
• Memilih beberapa perempuan untuk ditugaskan memasak selama hajatan berlangsung.
Selama hajatan berlangsung, kerabat yang membatu akan saling bekerja sama untuk menyukseskan acara hajatan yang di gelar. Meski terdengar simpel, hajatan ini memiliki makna yang mendalam bagi masyarakat Bima. Terutama dalam mempererat tali silaturahmi sesama masyarakat dan melestarikan budaya supaya tidak tenggelam dalam zaman yang serba canggih seperti sekarang ini.
Simak Video "Membuat Gerabah Menarik di Desa Banyumulek, Lombok"
(nor/nor)