Sejumlah penulis di Bali memilih menerbitkan buku lewat penerbit indie. Mereka umumnya kesulitan mengakses penerbit mayor lantaran banyak kriteria yang harus dipenuhi seperti seleksi naskah yang ketat. Penerbit indie menawarkan sistem penerbitan buku yang lebih fleksibel dengan kontrol penuh dari penulis.
Sastrawan Bali Made Adnyana Ole menuturkan penulis yang menerbitkan buku lewat jalur indie umumnya mencetak buku secara terbatas. Meski begitu, tak semua buku yang tercetak itu bisa terjual. Menurut Ole, para penulis di Bali juga kesulitan untuk memasarkan buku-buku yang mereka terbitkan.
"Kadang penulis menawarkan bukunya ke temannya. Bukannya dibeli, malah diminta. Artinya kan bukunya tidak dibeli," ujar Ole kepada detikBali, pertengahan Februari lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ole mengungkapkan tak jarang pula penulis membagi-bagikan bukunya secara cuma-cuma. Di sisi lain, ia menyebut buku terbitan penulis Bali belum bisa menjangkau pembaca lebih luas karena tema-tema yang diangkat masih seputar lokalitas. Ia mencontohkan buku sastra Bali modern.
"Di satu sisi pemerintah mendorong penggunaan bahasa Bali, tapi buku berbahasa Bali tidak punya jalur pemasaran atau jalur sosialisasi dengan sistem yang lancar yang bisa membuat buku itu diserap di sekolah-sekolah atau perpustakaan desa," imbuhnya.
Ole lantas menuturkan dulu ia tak pernah berpikir untuk menerbitkan buku. Sebab, menerbitkan buku di masa lalu tidak semudah saat ini. Kini, kehadiran penerbit indie menjadi angin segar bagi penulis yang ingin menerbitkan buku.
Buku pertama Ole merupakan kumpulan cerita pendek (cerpen) bertajuk Padi Dumadi yang diterbitkan oleh Buku Arti di Denpasar. Selain menulis karya fiksi, Ole juga menerbitkan buku kumpulan esai berjudul Lolohin Malu.
"Dulu, kalau orang sudah jadi penulis dan tulisannya bagus, baru dihubungi oleh penerbit untuk diterbitkan tulisannya," ujar Ole.
Baca juga: Suka Duka Penerbit Indie di Bali |
Ole kemudian mengkritisi sistem pengadaan buku yang dilakukan lembaga pemerintah. Biasanya, dia berujar, pengadaan buku dilakukan menggunakan sistem tender. Walhasil, penerbit besar dari luar lebih sering menjadi pemenang tender ketimbang penerbit indie yang berbasis di Bali.
"Nah karena dia yang memenangkan pengadaan itu, biasanya buku-buku yang mereka produksi saja yang masuk ke Bali. Sementara buku terbitan penulis Bali susah masuk ke sekolah atau lembaga pemerintah termasuk perpustakaan desa di Bali," imbuh penulis kumpulan cerita Gadis Suci Melukis Tanda Suci di Tempat Suci itu.
Hal senada disampaikan oleh Komang Sujana. Peraih penghargaan Rancage 2025 untuk sastra Bali itu berharap pemerintah mendukung eksistensi penulis dan penerbit di Bali dengan menyerap buku-buku karya penulis Bali.
"Kita orang Bali kan perlu hasil-hasil pemikiran orang Bali. Ada banyak penulis Bali dan itu bisa dilibatkan," ujar Sujana.
Persoalan Penulis Bali
Pendiri Nilacakra Publisher House, Ida Bagus Arya Lawa Manuaba, mengungkapkan keterbatasan biaya menjadi persoalan utama bagi para penulis di Bali dalam menerbitkan buku. Padahal, dia berujar, banyak penulis potensial di Bali yang karya-karyanya layak untuk diterbitkan.
"Banyak penulis di Bali yang bagus, tetapi mereka jarang mau diekspos. Ekosistem di Bali belum semantap di luar," kata Gus Arya.
Realitas itulah yang mendorong Gus Arya mendirikan Nilacakra. Ia tak begitu berpikir mendapat royalti dari buku-buku yang diterbitkan melalui Nilacakra.
Gus Arya hanya ingin ekosistem perbukuan di Bali lebih terstruktur dan sesuai standar penerbitan. Bagi dia, penyebaran buah pikiran melalui buku jauh lebih penting ketimbang royalti.
"Saya merangkul beberapa penulis dengan tipenya, dengan cirinya sendiri. Ada penulis sastra modern dan sebagian besar penulis yang datang kepada kami adalah para akademisi," ungkap dosen bidang folklor di ITP Markandeya Bali itu.
Baca juga: Kisah Slamat Merintis Penerbitan di Bali |
Di sisi lain, Gus Arya menilai jumlah buku yang terbit di Bali kalah jauh dibandingkan produksi buku di daerah lain di Indonesia. Ia mencontohkan penerbit di Yogyakarta bisa mencetak sekitar 500 judul buku dalam satu bulan. Sementara itu, Bali hanya bisa menghasilkan sekitar 15 judul buku dalam sebulan.
Buku-buku terbitan Nilacakra juga tidak dipasarkan ke toko buku besar. Gus Arya maupun para penulis lainnya memasarkan buku-buku mereka secara mandiri. Baik melalui situs resmi, platform jual beli online, atau melalui reseller yang telah terdaftar.
(iws/iws)