Slamat Trisila kepincut dengan dunia perbukuan sejak kuliah di jurusan sejarah Universitas Udayana (Unud). Kala itu, keterbatasan ekonomi membuatnya kesulitan mendapatkan buku-buku berkualitas dengan harga murah. Dia pun lebih sering membeli buku jika mendapat potongan harga.
"Beli buku saat itu terasa berat dan mahal," tutur Slamat kepada detikBali, Kamis (13/2/2025).
Tak lama setelah runtuhnya kekuasaan Orde Baru, Slamat mulai terbersit untuk mendirikan penerbit independen dengan nama Larasan Sejarah. Ia memulai usaha penerbitan itu seorang diri dengan dana terbatas. Ia pun mengontak sejumlah penulis dan mulai mengumpulkan naskah untuk diterbitkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tercetus dalam hati saya ingin mendirikan penerbit, dengan catatan buku berkualitas tidak harus mahal," imbuhnya.
Seperti namanya, buku-buku yang diterbitkan Larasan Sejarah hanya seputar ilmu sejarah. Kehadiran penerbit besutan Slamat ternyata mendapat sambutan hangat dari para akademisi dan sejarawan di Bali.
Syahdan, Slamat semakin serius menjalankan usaha penerbitan yang dia rintis. Dia pun mulai mempelajari detail-detail terkait dunia penerbitan. Ia bahkan sempat berguru ke beberapa penerbit di Yogyakarta.
Larasan Sejarah hanya bertahan sekitar dua tahun. Sejak 2003, Slamat memutuskan mengganti nama penerbitan itu menjadi Pustaka Larasan. Pustaka Larasan, dia berujar, bermakna lentera kebenaran.
"Setelah berbulan-bulan belajar dan mendapat ilmu penerbitan, barulah dengan yakin saya kibarkan bendera Pustaka Larasan yang berbasis di Bali," imbuh Slamat.
Pustaka Larasan mulai mendapat perhatian dari para penulis dan akademisi dari berbagai bidang ilmu selain sejarah. Pada tahun awal berdiri, Pustaka Larasan menerbitkan tiga judul buku dengan oplah 100 eksemplar per judul. Slamat juga menerbitkan dua buku terjemahan.
Seiring waktu, kapasitas produksi semakin meningkat. Jejaring Slamat juga semakin luas. Buku-buku terbitan Pustaka Larasan yang semula lebih banyak beredar di Bali, mulai merambah ke pasar nasional.
Pada 2006, Pustaka Larasan bekerja sama dengan KITLV Leiden untuk menerbitkan sejumlah buku terjemahan karya penulis beken. Misalkan The Spell of Power karya Henk Schulte Nordholt dan Seabad Puputan Badung dengan editor Helen Creese.
Selain itu, Pustaka Larasan juga menerbitkan buku karya Adrian Vicker, Michel Feener, dan Jemma Purdey. "Itu menjadi tulang punggung pendanaan karena cukup laku di pasar nasional. Sejak itu pula Pustaka Larasan menjelajah pemesanan buku secara nasional," imbuh Slamat.
Berbagai Tantangan
Slamat menemukan sejumlah tantangan selama mengelola Pustaka Larasan. Tantangan terberat bagi Slamat adalah terkait proses produksi. Mulai dari kesalahan cetak hingga kesalahan proses produksi lain yang menjadi tanggung jawab penerbit.
Meski jarang terjadi, Slamet mengaku persoalan tersebut cukup mengganggu kesehatan finansial penerbit. Tantangan berat lainnya adalah kesalahan prediksi laku atau tidaknya buku yang diterbitkan.
"Kadang dicetak banyak, tapi pasar tidak menyerap. Akhirnya, menumpuk di gudang karena tidak laku," ujarnya.
Terlepas dari itu, buku terbitan Pustaka Larasan juga sudah ada yang dicetak ulang. Misalkan buku The Spell of Power karya Henk Schulte Nordholt yang sudah cetak ulang sebanyak dua kali. "Akan cetak ulang untuk kali ketiga sebagai buku best seller di Pustaka Larasan," imbuh Slamat.
Tantangan lain yang dihadapi Slamat adalah saat berurusan dengan penulis. Ia dituntut piawai meyakinkan para penulis agar mempercayakan karya mereka kepada Pustaka Larasan.
"Kadang penulis tidak sekadar ingin namanya tenar dengan penerbitan bukunya, tapi juga perlu royalti untuk menopang hidupnya," ungkapnya.
Setiap penerbit, dia berujar, memiliki ciri khas tersendiri. Slamat menyebut buku-buku terbitan Pustaka Larasan lebih dekat dengan tema ilmiah hingga ilmiah populer. Banyak disertasi atau karya tulis milik dosen dari sejumlah perguruan tinggi di Bali yang dibukukan melalui Pustaka Larasan.
"Pustaka Larasan sudah mendapatkan pelanggan penulis. Kami juga memikirkan pemasarannya. Karena para penulis sebagian besar para dosen, sehingga mudah memasarkan langsung jika ada kegiatan di kampus," tuturnya.
Soal Royalti
Ada beberapa fitur layanan untuk penulis yang menerbitkan buku melalui Pustaka Larasan untuk penulis. Mulai dari layout dan desain gratis, bebas ongkos kirim dari percetakan di Yogyakarta, hingga memberikan rekomendasi International Standard Book Number (ISBN) secara gratis.
"Dengan begitu, diharapkan penulis tetap militan mencetak buku di Pustaka Larasan," kata Slamat.
Baca juga: Bahasa Bali Menolak Punah |
Sebagai penerbit indie, Pustaka Larasan tidak memiliki sistem pembagian yang detail sebagaimana dilakukan penerbit mayor. Pustaka Larasan, Slamat melanjutkan, hanya dapat memberikan royalti ke penulis berupa buku pula.
Ia mencontohkan penulis yang mencetak 500 eksemplar buku melalui Pustaka Larasan akan mendapatkan royalti 10 persen. Artinya, penulis mendapat royalti berupa buku sebanyak 50 eksemplar.
"Terus terang, Pustaka Larasan sangat jarang membayar berupa nominal. Tapi, lebih ke kompensasi berupa buku ke penulis. Ada penulis yang keberatan, ada juga yang memaklumi," pungkasnya.
(iws/dpw)