Penerbit indie tetap bertahan di tengah berbagai keterbatasan. Keberadaan mereka menjadi semacam oase bagi para penulis yang hendak menyebarluaskan buah pikirannya melalui buku. Penerbit indie menawarkan sistem penerbitan buku yang lebih fleksibel dengan kontrol penuh dari penulis.
Pendiri Nilacakra Publisher House, Ida Bagus Arya Lawa Manuaba, mengungkapkan keterbatasan biaya menjadi persoalan utama bagi para penulis di Bali dalam menerbitkan buku. Padahal, dia berujar, banyak penulis potensial di Bali yang karya-karyanya layak untuk diteritkan.
"Banyak penulis di Bali yang bagus, tetapi mereka jarang mau diekspos. Ekosistem di Bali belum semantap di luar, terutama dari sisi penerbitan karya fiksi," kata Gus Arya kepada detikBali, pertengahan Februari lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di sisi lain, Gus Arya menilai jumlah buku yang terbit di Bali kalah jauh dibandingkan produksi buku di daerah lain di Indonesia. Ia mencontohkan penerbit di Yogyakarta bisa mencetak sekitar 500 judul buku dalam satu bulan. Sementara itu, Bali hanya bisa menghasilkan sekitar 15 judul buku dalam sebulan.
Penerbit Nilacakra didirikan Gus Arya pada 2018. Ia mulai merintis usaha penerbitan itu setelah naskah karyanya berjudul Alien Menurut Hindu ditolak beberapa kali oleh penerbit mayor.
Melalui Nilacakra, Gus Arya membantu memfasilitasi sejumlah penulis Bali yang hendak menerbitkan buku. Beberapa buku yang telah diterbitkan lewat Nilacakra, antara lain Barong Brutuk (2019), Gula Pedawa (2021), hingga Waralaba 4.0 yang menyabet gelar buku terbaik III kategori kewirausahaan dalam Anugerah Pustaka Perpusnas 2020.
"Saya merangkul beberapa penulis dengan tipenya, dengan cirinya sendiri. Ada penulis sastra modern dan sebagian besar penulis yang datang kepada kami adalah para akademisi," ungkap dosen bidang folklor di ITP Markandeya Bali itu.
Gus Arya tak begitu berpikir mendapat royalti dari buku-buku yang diterbitkan melalui Nilacakra. Ia hanya ingin ekosistem perbukuan di Bali lebih terstruktur dan sesuai standar penerbitan. Bagi dia, penyebaran buah pikiran melalui buku jauh lebih penting ketimbang royalti.
"Hampir semua penerbit indie mengalami. Kami ingin buku itu terpublikasi. Apakah buku itu terindeks di mesin pencari atau tidak," imbuhnya.
Buku-buku terbitan Nilacakra juga tidak dipasarkan ke toko buku besar. Gus Arya maupun penulis memasarkannya secara mandiri. Baik melalui situs resmi, platform jual beli online, atau melalui reseller yang telah terdaftar.
"Secara harga kami juga masih terjangkau, lebih murah dari yang lain. Standarnya Rp 45 ribu untuk rata-rata sekitar 100 halaman dari yang lain di kisaran Rp 60 ribu atau Rp 65 ribu. Saya berpikir ini buku, ini pengetahuan, kalau dimahalkan, orang nggak mau beli," urainya.
Slamat Trisila juga memiliki kisah dalam mengelola usaha penerbitan. Ia menyediakan layanan layout dan desain gratis bagi penulis yang menerbitkan buku melalui Pustaka Larasan yang dia dirikan. Selain itu, ia juga memberikan rekomendasi International Standard Book Number (ISBN) secara gratis.
"Dengan begitu, diharapkan penulis tetap militan mencetak buku di Pustaka Larasan," kata Slamat.
Baca juga: Kisah Slamat Merintis Penerbitan di Bali |
Sebagai penerbit indie, Pustaka Larasan tidak memiliki sistem pembagian royalti yang detail sebagaimana dilakukan penerbit mayor. Pustaka Larasan, Slamat melanjutkan, hanya bisa memberikan royalti ke penulis dalam bentuk buku.
Ia mencontohkan penulis yang mencetak 500 eksemplar buku melalui Pustaka Larasan akan mendapatkan royalti 10 persen. Artinya, penulis mendapat royalti berupa buku sebanyak 50 eksemplar.
"Terus terang, Pustaka Larasan sangat jarang membayar berupa nominal. Tapi, lebih ke kompensasi berupa buku ke penulis. Ada penulis yang keberatan, ada juga yang memaklumi," imbuhnya.
Tantangan
Gus Arya menjelaskan salah satu tantangan usaha penerbitan saat ini adalah semakin meningkatnya kebutuhan buku digital di pasaran. Menukil hasil survei Perpustakaan Nasional 2023, dia menyebut permintaan buku digital naik hampir 150 persen. Walhasil, permintaan pencetakan buku fisik merosot.
Menurut Gus Arya, segmentasi pembaca buku fisik saat ini juga terbatas. Pembaca yang awalnya menjadikan buku rilisan fisik sebagai kebutuhan utama, kini beralih ke buku digital. Meski begitu, dia optimistis buku cetak tetap memiliki peminat.
"Saya melihat buku cetak tidak akan mati. Permintaan buku cetak memang ada penurunan, tapi akan masih ada," ujar Gus Arya.
Gus Arya mengungkapkan buku cetak maupun buku digital sama-sama memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing. Buku cetak, dia berujar, memiliki daya jangkau yang terbatas. Berbeda dengan format digital yang bisa diakses di mana saja.
"Saya sendiri lebih suka buku cetak karena lebih nyaman dibaca. Ada seninya di situ. Ada nikmat tersendiri ketika kita membaca buku cetak itu," imbuh penulis novel Putih Biru (2019) yang masuk 8 besar ajang UNNES International Novel Writing Contest itu.
Gus Arya tak ingin berpangku tangan di tengah pergeseran perilaku pembaca yang mulai meninggalkan buku cetak. Belakangan, ia juga melayani penulis yang ingin menerbitkan buku digital melalui Nilacakra.
"Karena itu, saya sendiri juga menangani permintaan buku digital. Sehingga ini bisa menjawab eksistensi penerbit indie saat ini seperti apa," ujarnya.
Sementara itu, Slamat juga menemukan sejumlah tantangan selama mengelola Pustaka Larasan. Tantangan terberat bagi Slamat adalah terkait proses produksi. Mulai dari kesalahan cetak hingga kesalahan proses produksi lain yang menjadi tanggung jawab penerbit.
Meski jarang terjadi, Slamet mengaku persoalan tersebut cukup mengganggu kesehatan finansial penerbit. Tantangan berat lainnya adalah kesalahan prediksi laku atau tidaknya buku yang diterbitkan.
"Kadang dicetak banyak, tapi pasar tidak menyerap. Akhirnya, menumpuk di gudang karena tidak laku," ujar Slamat.
(iws/iws)