Penerbit indie menjadi garda terdepan bagi geliat penerbitan buku karya penulis di Bali. Berbeda dengan penerbit mayor yang ditangani profesional dan seleksi naskah yang ketat, penerbit indie menjadi alternatif penerbitan buku dengan proses yang lebih fleksibel dan kontrol penuh oleh penulis.
Akademikus Universitas Udayana (Unud), I Nyoman Darma Putra, mengungkapkan penerbit indie di Bali memainkan peran krusial dalam mempertahankan eksistensi penulis di Pulau Dewata. Menurutnya, salah satu sumbangsih terpenting penerbit indie adalah penerbitan buku-buku sastra Bali modern.
"Jika tidak ada penerbit indie, mungkin sastra Bali modern tidak akan bertahan seperti sekarang," ujar Darma Putra saat ditemui detikBali di kediamannya di Denpasar, pertengahan Februari 2025.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Darma Putra mengungkapkan penerbit indie di Bali rata-rata menerbitkan 10-12 buku per tahun. Dia mengakui jumlah tersebut sangat kecil. Namun, jika dilihat dari jumlah penduduk Bali dan peminat sastra yang terbatas, jumlah buku yang terbit tersebut menurutnya cukup besar.
"Sastra Bali modern jarang dicetak ulang, biasanya hanya 100-200 eksemplar per judul. Berbeda dengan penerbit komersial yang dapat mencetak ribuan eksemplar," imbuh penulis buku Stigma Sastra Sayembara itu.
Menurut Darma Putra, salah satu alasan yang mendorong penerbit indie tetap eksis adalah semangat para pelakunya. Pengelola penerbit indie, dia berujar, merasa terpanggil untuk mengabdikan diri kepada dunia sastra.
Dosen yang juga kritikus sastra itu mengatakan para pengelola penerbit indie tidak berorientasi pada keuntungan finansial. Mereka tergerak menerbitkan buku-buku dari penulis yang tak beken sekalipun demi mempertahankan tradisi literasi.
"Penerbit indie tidak perlu merasa rugi karena memang dia dihadirkan untuk tidak untung dan mengabdi. Jika suatu saat ada karya yang laris, hal itu sebaiknya tidak dijadikan alasan untuk berpindah ke arah penerbitan komersial," imbuhnya.
Hal itu diamini oleh Made Sugianto. Pengelola penerbit Pustaka Ekspresi itu mengaku tetap bertahan mengelola Pustaka Ekspresi sejak 2009 meski tak bisa meraup keuntungan banyak.
"Saya tidak mencari keuntungan di sana, tapi saya mencari kebanggaan. Misi saya, melestarikan bahasa Bali melalui tulisan," ujar Sugianto saat ditemui di kediamannya di Desa Kukuh, Tabanan, Senin (10/2/2025).
Pustaka Ekspresi lebih banyak menerbitkan buku-buku sastra Bali modern. Selain menerbitkan karya sendiri, Sugianto juga memfasilitasi penerbitan buku karya penulis Bali lainnya. Belakangan, Pustaka Ekspresi juga menerbitkan buku-buku berbahasa Indonesia.
Kini, Sugianto mengelola Pustaka Ekspresi di tengah-tengah kesibukannya sebagai Perbekel Kukuh, Tabanan. Penulis novel berbahasa Bali bertajuk Sentana Cucu Marep itu tidak pernah berpikir mendapat royalti dari penulis yang karyanya diterbitkan melalui Pustaka Ekspresi.
"Terus terang, saya hanya ingin membantu teman, terutama yang membuat buku berbahasa Bali," pungkas peraih Hadiah Sastra Rancage pada 2012 dan 2013 itu.
Apresiasi bagi Penulis
Darma Putra mengungkapkan salah satu upaya untuk menggairahkan penerbitan buku adalah memberi ruang apresiasi bagi penulis. Ia mencontohkan Hadiah Sastra Rancage yang diberikan untuk penulis sastra daerah Sunda, Jawa, Bali, Lampung, dan Madura.
Menurut Darma Putra, sejumlah penulis sastra Bali modern terus mendapatkan penghargaan Rancage dalam 27 tahun terakhir. Terbaru, Hadiah Sastra Rancage 2025 diterima oleh Komang Sujana lewat antologi puisi berbahasa Bali bertajuk Renganis.
"Syarat suatu daerah menerima Rancage yaitu terdapat minimal tiga buku sastra daerah yang terbit dan harus mendapat ISBN, bukan buku yang cetak ngawur," imbuh pria yang juga juri Rancage tersebut.
Baca juga: Kisah Slamat Merintis Penerbitan di Bali |
Di sisi lain, Darma Putra menilai perhatian pemerintah juga cukup berperan dalam mendukung penerbitan buku di Bali. Misalkan Balai Bahasa Bali yang kerap mengadakan penerbitan dan penerjemahan buku.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali, dia berujar, juga berupaya mencetak penulis-penulis baru melalui sejumlah program. Termasuk melalui Bulan Bahasa Bali yang digelar setiap tahun. Kegiatan yang dirangkai dengan berbagai lomba terkait sastra Bali itu juga melibatkan siswa se-Bali.
"Kita harus berterima kasih dengan penerbit indie yang mampu bertahan dengan rata-rata 10 buku per tahun. Harapan kami bisa hidup seribu tahun lagi sehingga menghadirkan 1 juta buku," pungkas Korprodi Doktor Kajian Budaya Fakultas Ilmu Budaya Unud itu.
(iws/gsp)