Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Sulawesi Selatan (Sulsel) menuding Pj Gubernur Sulsel Bahtiar Baharuddin berpihak ke pengusaha terkait upah minimum provinsi (UMP) 2024 yang hanya naik Rp 49 ribu jadi Rp 3,4 juta. KSPSI menyayangkan Bahtiar tak menggunakan hak diskresinya sebagai Pj Gubernur.
"Jadi PP 51 ini merupakan produk oligarki. Di dalamnya usulan pengusaha yang memang menginginkan bahwa batasan kenaikan upah buruh dibatasi," ujar Ketua KSPSI Sulsel Basri Abbas kepada detikSulsel, Rabu (22/11/2023).
Basri mengatakan penetapan UMP ini merupakan pertanda Bahtiar tak memiliki daya di hadapan pemerintah pusat. Padahal, kata dia, Bahtiar bisa saja menggunakan hak diskresinya untuk mendukung kesejahteraan buruh melalui kenaikan UMP yang signifikan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Inilah menandakan bahwa Pj Gubernur ini, dia menjalankan apa perintah Jakarta saja. Tidak menggunakan hak diskresinya sebagai Pj Gubernur. (Yang) merupakan wakil rakyat khususnya rakyat pekerja untuk menerima aspirasi," bebernya.
Dia kemudian menyinggung Gubernur Jawa Timur yang menggunakan hak diskresinya untuk menetapkan UMP di atas 5 persen di daerahnya. Basri menyebut, hal itu berbeda dengan Bahtiar yang justru tidak melakukan evaluasi terkait penetapan UMP ini.
"Inilah kondisi yang saya kira Pj Gubernur ini datang sebagai tukang stempel. Apa keinginan oligarki pemerintah pusat, itu juga yang dia jalankan. Dia tidak mengevaluasi," cetusnya.
"Beda misalnya dengan Gubernur Khofifah. Mampu mendiskresi untuk kepentingan rakyatnya. Sehingga dapat menetapkan (kenaikan UMP) di atas 5% malah," lanjut Basri.
Basri mengatakan pihaknya sangat menyesalkan kenaikan UMP yang hanya Rp 49 ribu atau setara dengan 1,45 persen ini. Padahal menurutnya, pertumbuhan ekonomi di Sulsel telah mencapai angka 4 persen.
"Kenaikan 1,45% sangat melukai perasaan. Karena pertumbuhan ekonomi Sulsel sudah 4%. Sudah lewat pandemi. Ini rasanya kita pandemi kembali, seperti dulu," jelasnya.
Di satu sisi, dia juga turut menanggapi pernyataan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinaskertrans) Sulsel yang mengaku telah memasukkan skema upah sundulan ke dalam struktur dan skala upah (susu). Basri menganggap hal itu hanya kamuflase belaka.
"Saya katakan itu hanya kamuflase saja. Itu hanya mengiming-imingi buruh agar mau menerima strategi oligarki kekuasaan untuk membatasi upah buruh," imbuhnya.
Bagi Basri, jika Disnakertrans memang berniat untuk menerima aspirasi buruh itu, sebaiknya upah sundulan tersebut dimasukkan ke dalam diktum keputusan. Sebab, dengan cara itu pengusaha dapat diikat dalam sebuah kebijakan yang sah.
"Karena kalau tidak ada dalam diktum keputusan, mustahil pengusaha mau jalankan. Yang ada saja di keputusan UMP, masih banyak di bawah (UMP) dibayar. Kalau upah sundulan itu sudah masuk di susu, mana buktinya. Harusnya masuk ke dalam diktum. Itu namanya baru mengikat," pungkasnya.
Sebelumnya diberitakan, Kadisnakertrans Sulsel Ardiles Saggaf mengatakan struktur skala upah ini dilakukan berbasis kompetensi hingga usia kerja. Sehingga, usia kerja bukan faktor satu-satunya dalam hal ini.
"Indikator untuk penentuan struktur skala upah berbasis pendidikan, kompetensi, usia kerja. Jadi, kalau kita mengacu ke situ, kita tidak bisa langsung tetapkan seperti itu (masa kerja 1-5 tahun naik 5%, 5-10 tahun naik 10%)" ujar Ardiles kepada detikSulsel, Selasa (21/11).
Oleh karena itu, dia menuturkan usulan buruh terkait kenaikan UMP berdasarkan masa kerja hakikatnya adalah upah sundulan. Sementara upah sundulan itu juga masuk di dalam struktur skala upah dengan perhitungan berbeda.
"Iye bukan. Kalau saya lihat yang didorong teman-teman itu, condong upah sundulan mungkin itu. Nah, upah sundulan kan sudah masuk mi di struktur skala upah, sebenarnya. Tapi cara perhitungannya beda," tuturnya.
(asm/hsr)