Bangunan di Pulau Trinidad biasanya terkesan monokultur akibat kolonialisme. Namun, sudah ada orang yang kembali membangun rumah sesuai kultur setempat dengan menggunakan barang bekas yang tersedia.
Hal ini untuk membangun rumah yang lebih tahan iklim sebagaimana sejarah bangunan kulturnya. Bukan pakai beton, banyak bangunan kini menggunakan unsur-unsur alam.
Dilansir dari BBC, Erle Rahaman-Noronha pernah mencoba beternak pada 1997. Trinidad's farmland fokus pada monoculture bekas kolonialisme. Ia pun mencoba mereboisasi lahan dan memastikan bangunan-bangunan di lahan pertaniannya berkelanjutan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat memasuki lahan pertanian, akan ada rumah beton yang merupakan salah satu bangunan tertua di lahan tersebut. Namun, setiap bangunan lainnya memiliki sentuhan tanah.
Bangunan tersebut menggunakan tanah liat yang dipanen dari lahan sekitar; kayu dari pepohonan di lahan pertanian yang lebih jauh; botol-botol kaca yang telah digunakan kembali dengan berbagai warna yang berkilauan saat terkena cahaya.
Petani tersebut mengadopsi cara lama membangun di Trinidad, yakni ketika penduduk masih menggunakan apa yang tersedia bagi mereka daripada mengimpor material secara massal. Selain memanfaatkan barang tak terpakai, Rahaman-Noronha juga menggunakan gaya bangunan yang memberikan ketahanan terhadap perubahan iklim di pulau tersebut.
Upaya ini merupakai bagian dari proyek bernama Wa Samaki Ecosystemsa. Proyek tersebut adalah permakultur non-profit yang didirikan oleh Rahaman-Noronha. Ia ingin mengajarkan orang lain cara menerapkan konsep keberlanjutan sambil merehabilitasi lingkungan sekitar.
"Ide jangka panjang dari situs ini adalah untuk mendidik masyarakat tentang lingkungan, dan hidup seimbang dengan alam," ujarnya dikutip dari BBC, Minggu (5/1/2024).
Dengan begitu, setiap ruang yang dibangun memiliki kepribadiannya sendiri dan jejak yang lebih hijau. Bangunan beton berbentuk kotak-kotak di kawasan ini sebenarnya bukanlah norma di Karibia.
Direktur Jaringan Karibia untuk Pengelolaan Perkotaan dan Lahan Asad Mohammed mengatakan ada berbagai gaya arsitektur yang menggunakan 'desain tropis yang baik'. Kelompok adat di Karibia menggunakan tanah liat untuk membangun bangunan yang lebih kecil, seperti oven pada masa pra-kolonial.
Pada 1600-an, pengaruh kolonial Spanyol yang dipadukan dengan teknik-teknik pribumi menyebabkan populernya struktur anyaman dan lumpur yang dikenal sebagai tapia. Teknik ini paling mirip dengan teknik bangunan yang digunakan saat ini di Wa Samaki.
Sejarawan Glenroy Taitt dalam sebuah makalah tentang Metode Konstruksi Tapia, menggambarkan rumah tapia sebagai tempat berteduh berbentuk oval dengan rangka kayu dan campuran tanah liat, air, dan rumput yang digunakan untuk dinding, serta atap jerami dari daun palem. Namun, era ini berakhir sekitar 1940-an dan masyarakat melihat metode bahan ini primitif dan kelas rendah.
Memasuki rumah yang sudah berusia satu abad, terasa suhu udara langsung turun. Kondisi seperti ini merupakan ciri khas bangunan yang terbuat dari tanah liat.
Hal itu lantaran tanah liat lebih berpori daripada beton. Tanah liat memerangkap kelembapan yang kemudian menguap dan menyerap panas dari permukaan. Ruangan yang sejuk dan nyaman di tengah terik matahari siang merupakan prestasi yang mengejutkan dalam bangunan tanpa jendela, kipas angin, atau AC.
Konstruksi yang beradaptasi dengan iklim merupakan ciri khas arsitektur Karibia. Bangunan dengan gaya arsitektur lama ini semakin perlu untuk dicermati sambil menggabungkannya dengan kemajuan dunia modern.
Adaptasi iklim lain yang digunakan sepanjang sejarah Karibia adalah membuat bangunan yang ditinggikan dari tanah. Langkah ini membantu mengalirkan udara dingin di musim kemarau dan melindungi dari banjir di musim hujan. Bangunan yang ditinggikan dari tanah merupakan suatu keharusan untuk melindungi tanah liat agar tidak menyerap terlalu banyak air dari tanah.
Wa Samaki juga menggunakan bahan-bahan daur ulang untuk mengurangi limbah. Mulai dari ban bekas, botol plastik, hingga spanduk iklan bisa digunakan untuk membangun rumah.
(dhw/das)