Asal-usul Makam Keramat Sungai Kerbau di Samarinda

Bayu Ardi Isnanto - detikKalimantan
Jumat, 26 Sep 2025 11:30 WIB
Makam Keramat Sungai Kerbau di Samarinda/Foto: dok YouTube nanang angien
Samarinda -

Di kawasan Selili, Kecamatan Samarinda Ilir, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, terdapat sebuah tempat yang dianggap keramat. Tempat ini diyakini sebagai sebuah makam.

Makam di tepi sungai kecil bernama Sungai Kerbau ini masih diziarahi, di antaranya masyarakat keturunan Tionghoa. Dulunya, di tempat ini sering dijumpai kera yang tinggal di pepohonan. Konon, doa akan terkabul jika kera turun mengerumuni orang yang punya hajat.

Cerita lain, dulu makam ini berada di tepi Sungai Mahakam, tetapi kemudian berpindah-pindah sendiri, hingga akhirnya berada di tepi Sungai Kerbau sekarang ini.

Siapa sebenarnya yang dimakamkan di sana? Berikut ini asal-usul Makam Keramat Sungai Kerbau yang sudah menjadi legenda bagi warga lokal, seperti dikutip dari buku Cerita Rakyat Daerah Kalimantan Timur oleh Moh Noor, dkk di situs Kemendikdasmen.

Asal-usul Makam Keramat Sungai Kerbau

Kisahnya berkaitan dengan masa Kerajaan Kutai Kartanegara (Kutai II) dengan ibu kota di Kutai Lama, tak jauh dari muara Sungai Mahakam. Salah satu rajanya dikenal memiliki cita-cita besar, yaitu mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil di hulu Mahakam di bawah kekuasaan Kutai Kartanegara.

Keinginan itu tercapai. Kerajaan Kutai Martadipura (Kutai I) di Muara Kaman, Kerajaan Kota Bangun, serta para kepala suku Tunjung, Bahau, dan beberapa pemimpin pedalaman mengakui kekuasaan sang raja. Setiap tahun mereka membawa upeti, membuat Kutai Kartanegara semakin kaya dan makmur.

Dengan kekayaan itu, sang raja ingin memperindah ibu kota. Ia membangun istana megah yang dikelilingi tembok tinggi, rumah-rumah besar untuk para bangsawan, dan memperbaiki rumah rakyat. Setelah semua selesai, raja memanggil para pembesar untuk membicarakan rencana memperindah istana.

Kedatangan Dua Ahli Ukir dari Jawa

Pangeran Mangkubumi mengusulkan agar istana dilengkapi tembok, gerbang, pintu, jendela, dan ruangan yang dihiasi ukiran indah. Raja setuju, namun ia ingin mencari pengukir terbaik, bukan hanya dari rakyat Kutai, tetapi dari seluruh Nusantara, agar keindahan istananya tak mudah ditiru.

Utusan pun dikirim ke Pulau Jawa. Di sana ditemukan dua bersaudara ahli ukir, yang konon adalah abdi dalem Keraton Yogyakarta. Mereka dibawa ke Kutai dan disambut hangat oleh raja.

Keduanya bekerja siang malam, memadukan seni ukir Jawa dengan seni ukir Kutai dan suku-suku pedalaman seperti Bahau, Kenyah, dan Tunjung. Hasilnya luar biasa, gerbang, pintu, jendela, dinding, hingga bubungan atap istana dihiasi ukiran megah.

Dalam waktu singkat, seluruh ukiran selesai, seolah dibantu kekuatan gaib. Raja dan para bangsawan terpesona. Sebagai penghargaan, kedua pengukir itu diberi hadiah besar dan diizinkan tinggal di lingkungan istana.

Mereka mudah menyesuaikan diri karena memahami adat istiadat kerajaan, apalagi Raja Kutai saat itu pernah belajar di Majapahit pada masa Hayam Wuruk dan Gajah Mada, sehingga adat kedua kerajaan memiliki banyak kesamaan. Kedekatan ini membuat sang raja semakin menyukai mereka.

Muncul Fitnah

Seperti halnya di banyak kisah kerajaan, perebutan kedudukan dan kekuasaan di lingkungan istana bukanlah hal asing. Ada yang menempuhnya dengan cara terhormat, namun ada pula yang memilih jalan licik, bahkan keji, seperti menyuap atau memfitnah lawan.

Nasib malang menimpa dua ahli ukir yang telah berjasa besar memperindah istana. Sikap ramah mereka, penghargaan, dan hadiah yang diberikan raja justru memicu iri hati para pejabat istana.

Mereka mulai curiga dan merasa perhatian raja terhadap mereka berkurang. Rasa dengki itu berkembang menjadi niat jahat: menyingkirkan kedua pengukir, bahkan jika perlu menghabisi nyawa mereka.

Namun, untuk melaksanakan rencana itu, mereka membutuhkan alasan yang dapat diterima raja. Maka disusunlah fitnah, yaitu kedua ahli ukir dituduh berbuat tidak senonoh dengan para dayang istana.

Untuk memperkuat tuduhan, mereka menambahkan cerita bahwa kedua pengukir itu memiliki kesaktian. Buktinya, mereka mampu menyelesaikan ukiran istana dalam waktu singkat.

Para pejabat licik itu juga menakut-nakuti raja. Jika kedua pengukir tetap hidup, mereka bisa saja bekerja untuk raja lain dan membuat istana yang sama indahnya.

Padahal bagi raja-raja besar, kemegahan istana adalah kebanggaan yang tak boleh ditiru. Alasan ini membuat raja mulai terpengaruh. Kefasihan bicara para penuduh membuat Baginda percaya tanpa memeriksa kebenarannya.

Ramalan dan Keajaiban

Pada suatu malam yang gelap gulita, tanpa cahaya bulan dan bintang, hujan rintik-rintik membasahi bumi. Para pejabat itu melaksanakan rencana keji mereka.

Kedua ahli ukir ditangkap. Salah satu berhasil meloloskan diri dengan cara ajaib. Konon ia memiliki ilmu siluman yang membuatnya lenyap dari pandangan. Yang satunya lagi tertangkap dan dibunuh di tepi Sungai Mahakam.

Menjelang ajal, ahli ukir itu mengucapkan kata-kata misterius: "Sepuluh hancur luluh, sebelah jadi alas." Menurut kepercayaan, itu adalah ramalan bahwa pada masa pemerintahan raja kesepuluh, Kutai Lama akan hancur, dan pada masa raja kesebelas, ibu kota akan menjadi alas atau hutan.

Ramalan itu pun terbukti. Kutai Lama diserang perampok dari Solok, Filipina Selatan, dan kemudian berubah menjadi kampung kecil yang dikelilingi hutan.

Mayat ahli ukir itu dibuang ke sungai. Namun ajaibnya, jasad itu hanyut berbalik arah, bukan ke hilir, hingga sampai di muara Sungai Kerbau dekat Samarinda.

Penduduk yang menemukannya menguburkan jasad itu di tepi Mahakam. Anehnya lagi, makam tersebut berpindah menjauhi Mahakam, hingga kini berada di tepi Sungai Kerbau, agak jauh dari muaranya. Makam itu pun dikeramatkan, dan hingga sekarang banyak diziarahi.



Simak Video "Video: Ini Penyebab Kapal Tongkang Sampai Menabrak Kafe di Sungai Mahakam"

(bai/sun)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork