Masyarakat Jawa Kuno telah menerapkan beberapa teknik pengawetan untuk membuat makanan tidak cepat basi. Tahukah detikers bagaimana caranya?
Dirangkum dari Jurnal Etika Sosial bertajuk "Memaknai Kuliner Tradisional di Nusantara: Sebuah Tinjauan Etis" oleh Rudi Setiawan, makan adalah aktivitas manusia sehari-hari. Lebih lanjut, Massimo Montanari menjelaskan bahwa makanan adalah produk kultural.
Artinya, makanan adalah sesuatu yang dikonstruksikan oleh manusia. Manusia mengolah makanan yang diperolehnya dari alam sedemikian rupa, termasuk di antaranya melakukan pengawetan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam dunia modern telah dikenal banyak cara atau teknik untuk mengawetkan makanan. Dihimpun dalam artikel karya Fitri Rahmawati dari Jurusan Pendidikan Teknik Boga dan Busana UNY berjudul Pengawetan Makanan dan Permasalahannya, di antara teknik pengawetan adalah pendinginan, pengeringan, pengemasan, pengalengan, pemanasan, dan fermentasi.
Apakah teknik yang dilakukan masyarakat Jawa Kuno dahulu juga serupa? Atau justru berbeda? Mari baca uraian selengkapnya yang telah detikJogja siapkan di bawah ini. Selamat membaca!
3 Teknik Pengawetan Makanan Ala Masyarakat Jawa Kuno
Dikutip dari artikel berjudul "Pengawetan Makanan: Upaya Manusia dalam Mempertahankan Kualitas Makanan (Berdasarkan Data Prasasti Masa Jawa Kuno)" oleh Churmatin Nasoichah dalam buku Jejak Pangan dalam Arkeologi terbitan Balai Arkeologi Medan, masyarakat Jawa Kuno mengenal tiga jenis cara pengawetan makanan. Ketiganya adalah pengeringan, pengasinan, dan pengasapan.
1. Pengeringan
Pengeringan adalah metode pengawetan makanan dengan cara menurunkan kadar air. Teknik ini telah dilakukan sejak beribu-ribu tahun yang lalu dan sampai saat ini masih mudah dijumpai.
Secara tradisional, makanan akan dikeringkan dengan sinar matahari. Namun, perkembangan teknologi modern memampukan manusia untuk mengeringkan makanan dengan cara yang lain.
Pada masa Jawa Kuno, bahan-bahan yang digunakan dalam teknik pengeringan di antaranya adalah ikan kakap, ikan bawal/kadiwas, ikan duri, ikan kembung, ikan layar/pari, ikan gabus, daging hanan, telur, dan udang.
Adapun ikan yang dikeringkan itu disebut dengan istilah den/dain (dendeng). Ikan yang telah diawetkan dengan pengeringan memiliki rasa daging yang asin maupun tawar.
2. Pengasinan
Cara kedua yang dipakai masyarakat Jawa Kuno adalah pengasinan. Tujuan pemakaian teknik ini adalah mengurangi kadar air agar mikroba tidak bisa berkembang sekaligus menghambat proses perombakan enzim sehingga ikan lebih awet dan tahan lama.
Untuk teknik pengasinan, jenis makanan yang cocok diterapkan adalah ikan, baik yang hidup di air tawar maupun asin. Dalam masyarakat Jawa Kuno, ikan yang diasinkan disebut grih (gereh). Hingga saat ini, istilah gereh masih dipakai di tengah-tengah masyarakat Jawa.
Adanya proses pengasinan makanan juga menjadi bukti adanya tradisi pembuatan garam di masyarakat Jawa Kuno. Utamanya yang tinggal di wilayah pesisir. Sebagai contoh, dalam Prasasti Biluluk I disebutkan adanya sumber air asin di Desa Biluluk tempat orang membuat garam.
Para pendatang diperbolehkan untuk membuat garam di sumber tersebut. Dengan catatan, ia diwajibkan membayar sejumlah pajak tertentu kepada penguasa desa.
3. Pengasapan
Kendati dilakukan masyarakat Jawa Kuno, teknik pengasapan mungkin kurang begitu dikenal. Sebab hanya sedikit data prasasti yang menunjukkan teknik ini. Adapun daging asap dalam masyarakat Jawa Kuno dikenal dengan istilah dadanan hawan in warawan.
Konon, teknik pengasapan ini ditemukan secara tidak sengaja. Saat musim hujan atau dingin, manusia mengeringkan makanan dengan bantuan api sehingga pengaruh asap tidak dapat dihindarkan.
Saat ini, dikenal tiga jenis pengasapan, yakni pengasapan dingin, panas, dan elektrik. Masyarakat Jawa Kuno diyakini memakai tipe pengasapan panas biarpun kala itu, satuan derajat, seperti Celsius dan Fahrenheit, belum dikenal.
Sumber Prasasti tentang Jenis Makanan Awetan Masyarakat Jawa Kuno
Dikutip dari artikel ilmiah berjudul "Upaya Manusia dalam Mengawetkan Makanan Berdasarkan Data Prasasti Masa Jawa Kuno" oleh Ramaditya Astaloka dalam majalah Arkeologi Kuliner edisi 2021, beberapa prasasti yang menunjukkan pengawetan makanan adalah:
- Prasasti Taji (823 Saka/901 M): Menyebutkan masakan dan daging yang diasinkan.
- Prasasti Panggumulan I (824 Saka/902 M): Menyebut setumpuk ikan yang diasinkan.
- Prasasti Watukura I (824 Saka/902 M): Menyebutkan makanan ikan kakap kering.
- Prasasti Sangguran (850 Saka/928 M): Menyebutkan telur yang dikeringkan.
- Prasasti Jeru-jeru (852 Saka/930 M): Menyebutkan daging asin dan telur yang dikeringkan.
- Prasasti Rukam (829 Saka/930 M): Menyebutkan dendeng kakap, bawal, duri, hanan, ikan pari yang dikeringkan serta telur kepiting.
- Prasasti Paradah II (865 Saka/943 M): Menyebutkan daging asin dan telur yang dikeringkan.
- Prasasti Alasantan (851 Saka/939 M): Menyebutkan daging asin dan telur yang dikeringkan.
- Prasasti Waharu 1/Jenggolo (851 Saka/929 M): Menyebutkan satuan ukuran untuk ikan asin yang disebut kujur.
Nah, itulah paparan seputar cara masyarakat Jawa Kuno melakukan pengawetan makanan berdasar sumber prasasti. Semoga menambah wawasan detikers, ya!
(par/apu)
Komentar Terbanyak
Ternyata Ini Sumber Suara Tak Senonoh yang Viral Keluar dari Speaker di GBK
Komcad SPPI Itu Apa? Ini Penjelasan Tugas, Pangkat, dan Gajinya
Pengakuan Lurah Srimulyo Tersangka Korupsi Tanah Kas Desa