Bagaimana Cara Masyarakat Jawa Kuno Mengawetkan Makanan agar Tak Basi?

Bagaimana Cara Masyarakat Jawa Kuno Mengawetkan Makanan agar Tak Basi?

Nur Umar Akashi - detikJogja
Rabu, 12 Jun 2024 13:01 WIB
Yuni Nasabah BRI Pembuat Ikan Asap Cakalang

Yuni bersama suami membuat ikan cakalang asap di Desa Tembal, Labuha, Halmahera Selatan. Yuni adalah nasabah BRI yang menggunakan fasilitas Kredit Usaha Rakyat. Jika berkesempatan datang ke Halmahera Selatan, jangan lupa mencicipi kuliner ikannya. Salah satunya kuliner ikan fufu yakni ikan asap cakalang.

Desa Tembal merupakan pusat produksi ikan asap di Halmahera Selatan. Sejumlah rumah produksi ikan fufu bertebaran di sana.

Pengolahan ikan fufu relatif sederhana. Ikan hanya diasapi di bawah tungku persegi empat yang besar. Asapnya yang akan mematangkan daging ikannya.

Jika ingin dibawa pulang sebagai oleh-oleh, waktu pengasapan ikan fufu lebih lama lagi. Ikan diasapi maksimal 10 jam agar lebih kering sehingga bisa awet selama 3-4 hari.

Satu ekor ikan fufu dijual Rp 20 ribu untuk ukuran kecil. Sedangkan, ikan fufu ukuran besar dijual dengan harga Rp 25 ribu per ekor.

Ikan Fufu Favorit Pejabat Bacan yang Datangkan Untung Jutaan 
Ikan Fufu jadi salah satu oleh-oleh yang paling dicari wisatawan saat berkunjung ke Labuha, Pulau Bacan. Ikan fufu memang layak di cari selain namanya unik, ikan fufu juga mempunyai rasa yang nikmat.
Sebagai informasi, ikan fufu adalah ikan cakalang/ikan tuna/ikan tongkol berukuran besar yang diolah dengan diasapi. 
Asapnya berasal dari pembakaran batok kelapa sehingga menghasilkan tekstur daging yang tidak terbakar sempurna namun matang dan dagingnya padat dan tebal serta tidak hancur. 
Soal rasa, biasanya ikan Fufu ini disajikan dengan sambal dabu matah yaitu sambal yang terdiri dari bawang, tomat, dan cabai dan perasan jeruk nipis.  
Yani (30) adalah salah satu penjual ikan fufu yang tersohor seantreo Bacan. Betapa tidak, dalam sehari dia mampu menjual 30 sampai 100 ekor dengan harga bervariasi mulai dari Rp 30 sampai Rp 35 ribu.
Ilustrasi pengasapan ikan, salah satu teknik mengawetan makanan ala Jawa kuno Foto: Agung Pambudhy
Jogja -

Masyarakat Jawa Kuno telah menerapkan beberapa teknik pengawetan untuk membuat makanan tidak cepat basi. Tahukah detikers bagaimana caranya?

Dirangkum dari Jurnal Etika Sosial bertajuk "Memaknai Kuliner Tradisional di Nusantara: Sebuah Tinjauan Etis" oleh Rudi Setiawan, makan adalah aktivitas manusia sehari-hari. Lebih lanjut, Massimo Montanari menjelaskan bahwa makanan adalah produk kultural.

Artinya, makanan adalah sesuatu yang dikonstruksikan oleh manusia. Manusia mengolah makanan yang diperolehnya dari alam sedemikian rupa, termasuk di antaranya melakukan pengawetan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam dunia modern telah dikenal banyak cara atau teknik untuk mengawetkan makanan. Dihimpun dalam artikel karya Fitri Rahmawati dari Jurusan Pendidikan Teknik Boga dan Busana UNY berjudul Pengawetan Makanan dan Permasalahannya, di antara teknik pengawetan adalah pendinginan, pengeringan, pengemasan, pengalengan, pemanasan, dan fermentasi.

Apakah teknik yang dilakukan masyarakat Jawa Kuno dahulu juga serupa? Atau justru berbeda? Mari baca uraian selengkapnya yang telah detikJogja siapkan di bawah ini. Selamat membaca!

ADVERTISEMENT

3 Teknik Pengawetan Makanan Ala Masyarakat Jawa Kuno

Dikutip dari artikel berjudul "Pengawetan Makanan: Upaya Manusia dalam Mempertahankan Kualitas Makanan (Berdasarkan Data Prasasti Masa Jawa Kuno)" oleh Churmatin Nasoichah dalam buku Jejak Pangan dalam Arkeologi terbitan Balai Arkeologi Medan, masyarakat Jawa Kuno mengenal tiga jenis cara pengawetan makanan. Ketiganya adalah pengeringan, pengasinan, dan pengasapan.

1. Pengeringan

Pengeringan adalah metode pengawetan makanan dengan cara menurunkan kadar air. Teknik ini telah dilakukan sejak beribu-ribu tahun yang lalu dan sampai saat ini masih mudah dijumpai.

Secara tradisional, makanan akan dikeringkan dengan sinar matahari. Namun, perkembangan teknologi modern memampukan manusia untuk mengeringkan makanan dengan cara yang lain.

Pada masa Jawa Kuno, bahan-bahan yang digunakan dalam teknik pengeringan di antaranya adalah ikan kakap, ikan bawal/kadiwas, ikan duri, ikan kembung, ikan layar/pari, ikan gabus, daging hanan, telur, dan udang.

Adapun ikan yang dikeringkan itu disebut dengan istilah den/dain (dendeng). Ikan yang telah diawetkan dengan pengeringan memiliki rasa daging yang asin maupun tawar.

2. Pengasinan

Cara kedua yang dipakai masyarakat Jawa Kuno adalah pengasinan. Tujuan pemakaian teknik ini adalah mengurangi kadar air agar mikroba tidak bisa berkembang sekaligus menghambat proses perombakan enzim sehingga ikan lebih awet dan tahan lama.

Untuk teknik pengasinan, jenis makanan yang cocok diterapkan adalah ikan, baik yang hidup di air tawar maupun asin. Dalam masyarakat Jawa Kuno, ikan yang diasinkan disebut grih (gereh). Hingga saat ini, istilah gereh masih dipakai di tengah-tengah masyarakat Jawa.

Adanya proses pengasinan makanan juga menjadi bukti adanya tradisi pembuatan garam di masyarakat Jawa Kuno. Utamanya yang tinggal di wilayah pesisir. Sebagai contoh, dalam Prasasti Biluluk I disebutkan adanya sumber air asin di Desa Biluluk tempat orang membuat garam.

Para pendatang diperbolehkan untuk membuat garam di sumber tersebut. Dengan catatan, ia diwajibkan membayar sejumlah pajak tertentu kepada penguasa desa.

3. Pengasapan

Kendati dilakukan masyarakat Jawa Kuno, teknik pengasapan mungkin kurang begitu dikenal. Sebab hanya sedikit data prasasti yang menunjukkan teknik ini. Adapun daging asap dalam masyarakat Jawa Kuno dikenal dengan istilah dadanan hawan in warawan.

Konon, teknik pengasapan ini ditemukan secara tidak sengaja. Saat musim hujan atau dingin, manusia mengeringkan makanan dengan bantuan api sehingga pengaruh asap tidak dapat dihindarkan.

Saat ini, dikenal tiga jenis pengasapan, yakni pengasapan dingin, panas, dan elektrik. Masyarakat Jawa Kuno diyakini memakai tipe pengasapan panas biarpun kala itu, satuan derajat, seperti Celsius dan Fahrenheit, belum dikenal.

Sumber Prasasti tentang Jenis Makanan Awetan Masyarakat Jawa Kuno

Dikutip dari artikel ilmiah berjudul "Upaya Manusia dalam Mengawetkan Makanan Berdasarkan Data Prasasti Masa Jawa Kuno" oleh Ramaditya Astaloka dalam majalah Arkeologi Kuliner edisi 2021, beberapa prasasti yang menunjukkan pengawetan makanan adalah:

  1. Prasasti Taji (823 Saka/901 M): Menyebutkan masakan dan daging yang diasinkan.
  2. Prasasti Panggumulan I (824 Saka/902 M): Menyebut setumpuk ikan yang diasinkan.
  3. Prasasti Watukura I (824 Saka/902 M): Menyebutkan makanan ikan kakap kering.
  4. Prasasti Sangguran (850 Saka/928 M): Menyebutkan telur yang dikeringkan.
  5. Prasasti Jeru-jeru (852 Saka/930 M): Menyebutkan daging asin dan telur yang dikeringkan.
  6. Prasasti Rukam (829 Saka/930 M): Menyebutkan dendeng kakap, bawal, duri, hanan, ikan pari yang dikeringkan serta telur kepiting.
  7. Prasasti Paradah II (865 Saka/943 M): Menyebutkan daging asin dan telur yang dikeringkan.
  8. Prasasti Alasantan (851 Saka/939 M): Menyebutkan daging asin dan telur yang dikeringkan.
  9. Prasasti Waharu 1/Jenggolo (851 Saka/929 M): Menyebutkan satuan ukuran untuk ikan asin yang disebut kujur.

Nah, itulah paparan seputar cara masyarakat Jawa Kuno melakukan pengawetan makanan berdasar sumber prasasti. Semoga menambah wawasan detikers, ya!




(par/apu)

Hide Ads