Pakar UGM Soroti Kebijakan Food Estate, Ini Sederet Catatannya

Pakar UGM Soroti Kebijakan Food Estate, Ini Sederet Catatannya

Adji G Rinepta - detikJogja
Jumat, 25 Agu 2023 15:18 WIB
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (kanan) didampingi Bupati Klaten Sri Mulyani (kiri) menyemprotkan pestisida biologi saat gerakan pengamanan produksi padi di Karangdowo, Klaten, Jawa Tengah, Jumat (14/7/2023). Kegiatan penyemprotan pestisida biologi ramah lingkungan itu diharapkan dapat membasmi hama wereng sehingga dapat menjaga produksi padi dengan baik.
Ilustrasi (Foto: ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho)
Jogja -

Sejumlah pihak menilai program Food Estate atau pembangunan lumbung pangan sebagai program gagal bahkan menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Pakar dari Universitas Gadjah Mada (UGM) membeberkan catatannya terkait program ini.

Program lumbung pangan atau sering dikenal dengan food estate atau corporate farming ini memang identik dengan pengelolaan lahan pertanian dalam luasan yang besar hingga ribuan hektare.

Sehingga mampu memproduksi komoditas pangan tertentu dengan manajemen yang baik sehingga menghasilkan produk yang seragam dan berkualitas. Pengelolaan lahan tersebut bisa diserahkan kepada korporasi sepenuhnya maupun dengan melibatkan masyarakat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Belum Matang dan Terkesan Buru-buru

Pakar pertanian UGM, Prof. Subejo menilai gagasan ini sebenarnya sangat baik sebagai langkah antisipasi terhadap ancaman krisis pangan dunia. Namun menurutnya, rancangan program ini belum cukup matang dan implementasinya terkesan terburu-buru.

"Program ini mulai digenjot pada masa pandemi Covid-19 sebagai respons cepat terhadap kondisi dunia yang saat itu mengalami krisis pangan," terang Subejo seperti dikutip dari laman resmi UGM, Jumat (25/8/2023).

ADVERTISEMENT

"Karena itu agak terburu-buru dijalankan ketika sebenarnya secara desain program dan segala aspek pendukungnya belum cukup siap, masih setengah-setengah," tuturnya.

Komponen Belum Disiapkan dengan Baik

Subejo menjelaskan aspek penting selain pengelolaan yakni ketersediaan berbagai komponen pendukung mulai dari penyedia modal, sarana produksi, hingga pembelinya. Pada kawasan lumbung pangan yang sudah ada saat ini, menurut Subejo komponen-komponen tersebut belum disiapkan dengan baik.

"Nampaknya praktiknya belum siap, kawasan dibuka tetapi pelakunya belum siap. Kalau hanya membuka lahan bisa saja tetapi yang sangat penting adalah keberlanjutannya," jelas Subejo.

"Jangan lupa kita sudah punya pelajaran berharga tahun 1990-an ketika membuka lahan satu juta hektare di Kuala Kapuas Kalimantan Tengah, sudah didatangkan transmigran, dicoba ditanami padi, tapi tidak berhasil karena lahannya sebagian tanah masam dan gambut yang tidak sesuai untuk padi," imbuhnya.

Pengolahan Lahan Belum Tepat Guna

Dijelaskan Subejo, upaya menggenjot produk pangan tidak harus dilakukan dengan pembukaan lahan baru. Hal ini bisa menjadi tidak terlalu efektif jika dilakukan di daerah dengan kualitas lahan yang kurang ideal.

Ditambah lagi jika tidak didukung dengan ketersediaan sumber daya manusia, ketersediaan pasar, dan aspek pendukung lainnya.

Subejo menilai pengembangan lahan pertanian pangan di luar Jawa kerap terkendala persoalan kesesuaian lahan dan karakter petani yang berbeda.

"Misalnya di Kalimantan Tengah kebanyakan adalah peladang, sehingga kalau dipaksa bertani secara intensif seperti di Jawa mereka tidak siap," terangnya.

Selengkapnya di halaman selanjutnya.

Alternatif Metode yang Bisa Diterapkan

Lebih lanjut, Subejo memaparkan alternatif metode yang dapat diterapkan, seperti mengubah lahan kering menjadi lahan sawah dengan pembangunan irigasi dalam skala kecil dan membangun embung.

Atau dengan menggunakan berbagai inovasi dan teknologi tepat guna pertanian pada pengelolaan lahan yang sudah ada agar lebih efektif dan efisien serta menghasilkan produksi yang lebih tinggi.

Dalam skala kecil di desa, pemanfaatan dana desa untuk mendukung infrastruktur pertanian sangat prospektif. Pengelolaan lahan pertanian bisa dilakukan melalui koperasi tani, kelompok tani, BUMDes atau kelembagaan lainnya.

Selain itu, menurut Subejo semua petani di desa tidak harus terlibat langsung mengolah lahan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi pengelolaan lahan. Sebagian dari mereka bisa masuk pada industri dan jasa pedesaan seperti pengolahan hasil pangan, pengelolaan desa wisata, dan lainnya.

"Mereka tetap bekerja di desa, tetapi tidak seluruhnya mengelola sawah. Melalui koperasi tani atau BUMDes bisa dibuat sistem bagi hasil sehingga mereka bisa menerima keuntungan lahan pertaniannya. Ini lebih efektif dibandingkan jika semua orang bekerja di sawah," paparnya.

Subejo menambahkan, jika petani sulit mengelola lahan secara mandiri, petani bisa bermitra dengan perusahaan yang memiliki manajemen yang baik dan dapat menjadi off taker produk pertaniannya.

Petani tetap bisa bekerja sesuai kebiasaan masing-masing dengan supervisi dari korporasi, sehingga ada standardisasi, tata kelola yang baik, dan jaminan pasar.

"Kalau itu bisa dilakukan mungkin itu relatif ideal," tutupnya.

Halaman 2 dari 2
(rih/dil)

Hide Ads