Terdapat berbagai bentuk tradisi untuk menyambut satu Suro, salah satunya tradisi Mubeng Beteng. Mubeng Beteng menjadi salah satu tradisi menyambut satu Suro di Jogja sejak pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono II.
Tradisi Mubeng Beteng memiliki sejarah dan makna yang mendalam. Adapun pembahasan lengkap tentang tradisi Mubeng Beteng dari pelaksanaan tradisi Mubeng Beteng pada malam satu Suro dapat disimak oleh detikers dalam pembahasan di bawah ini.
Sejarah Singkat Tradisi Mubeng Beteng
Dikutip dari laman resmi Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, tradisi Mubeng Beteng dahulunya merupakan upacara resmi atau kenegaraan oleh Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Dalam pelaksanaannya dilakukan oleh para abdi dalem berdasarkan pada perintah Sri Sultan Hamengkubuwono yang saat itu bertahta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seiring dengan perjalanan waktu, tradisi tersebut kemudian berkembang dengan dilakukan juga oleh masyarakat (tidak hanya abdi dalem). Oleh sebab itu, saat ini siapapun boleh mengikuti tradisi ini dengan tetap mengikuti aturan yang berlaku.
Adapun dasar mengenai dilaksanakannya tradisi Mubeng Beteng yang terinspirasi dari perjalanan suci hijrah dari Mekkah-Madinah oleh rombongan Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Melalui dasar tersebut, akhirnya prosesi ini menjadi bagian tradisi untuk menyambut peringatan malam Satu Suro.
Dikutip dari laman resmi Pemerintah Daerah DIY, saat adanya pandemi COVID-19, pelaksanaan dari tradisi Mubeng Beteng tidak dilaksanakan. Pada tahun 2020 sampai 2022, pelaksanaannya hanya berupa pelantunan tembang macapat hingga pembacaan doa bersama di Keben Keraton Ngayogyakarta.
Tata Cara dan Pelaksanaan Tradisi Mubeng Beteng
Dikutip dari laman resmi Dinas Pariwisata Kota Jogja, pelaksanaan dari tradisi Mubeng Beteng dimulai dengan para abdi dalem yang melantunkan tembang macapat di Keben Keraton Ngayogyakarta. Dalam lantunan lirik tembang macapat tersebut terselip berbagai doa serta harapan.
Mengenai rute yang ditempuh dalam tradisi ini mencapai 4 km. Berikut merupakan rute yang dilewati: Bangsal Pancaniti, Jalan Rotowijayan, Jalan Kauman, Jalan Agus Salim, Jalan Wahid Hasyim, Suryowijatan, Pojok Beteng Kulon, Jalan MT Haryono, Pojok Beteng Wetan, Jalan Brigjen Katamso, Jalan Ibu Ruswo, hingga Berakhir di Alun-alun Utara Jogja.
Kembali dikutip dari laman resmi Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, sebelum peserta mulai berjalan berdasarkan rute yang akan ditempuh ternyata terdapat pelaksanaan beberapa rangkaian prosesi. Biasanya terlebih dahulu dilakukan pembacaan Doa Akhir Tahun, Doa Awal Tahun, Doa Bulan Suro, hingga prosesi penyerahan restu oleh ulama petinggi Keraton Ngayogyakarta.
Makna dari Tradisi Mubeng Beteng
Dikutip dari sumber sebelumnya, tradisi Mubeng Beteng merupakan salah satu bagian dari tirakatan "lampah ratri". Prosesi tersebut menjadi suatu makna yang berupa madrawa atau munajat kepada Allah SWT.
Ketika melakukan prosesi adat ini, seluruh peserta berjalan tanpa menggunakan alas kaki, tanpa berbicara (tapa bisu), makan, minum, bahkan merokok. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk renungan, keprihatinan, serta introspeksi diri selama satu tahun terakhir, sehingga harus dilakukan dalam keadaan sunyi dan khidmat.
Demikianlah rangkuman mengenai sejarah, tata cara, tujuan, hingga makna pelaksanaan tradisi Mubeng Beteng. Semoga bermanfaat, Dab.
(sto/dil)
Komentar Terbanyak
Jawaban Menohok Dedi Mulyadi Usai Didemo Asosiasi Jip Merapi
PDIP Jogja Bikin Aksi Saweran Koin Bela Hasto Kristiyanto
Direktur Mie Gacoan Bali Ditetapkan Tersangka, Begini Penjelasan Polisi