Tradisi Tingkeban atau biasa disebut Mitoni sudah tidak asing lagi di telinga sebagian orang Jawa. Upacara Tingkeban adalah ritual peringatan yang diadakan pada tujuh bulan masa kehamilan yang memuat unsur-unsur religius dan nilai-nilai ajaran jawa dalam setiap prosesnya.
Upacara ini dilakukan dengan tujuan agar anak yang berada di kandungan selalu memperoleh keselamatan. Tradisi Tingkeban ini sudah ada sejak zaman kerajaan Hindu yang pada saat itu masih berkuasa di Nusantara.
Upacara Tingkeban sampai sekarang masih terus dilestarikan dan masih memakai tradisi khusus dengan sesaji. Lebih lanjut lagi berikut ulasan mengenai sejarah, makna, tujuan, dan tata cara dari upacara Tingkeban.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejarah Upacara Tingkeban
Mengutip dari jurnal berjudul Nilai Religius Tradisi Mitoni dalam Perspektif Budaya Bangsa Secara Islam oleh Eko Setiawan, upacara Tingkeban merupakan budaya Indonesia yang diturunkan dari nenek moyang sebagai bentuk inisiasi yang membantu individu melewati kecemasan, khususnya bagi calon orang tua yang mengharapkan kelahiran anak. Ritual ini dilakukan karena pada masa itu nenek moyang belum mengenal agama.
Asal-usul Tingkeban beredar secara lisan, konon nama Tingkeban berasal dari seorang ibu bernama Niken Satingkeb, istri dari Ki Sedya, yang memiliki sembilan anak namun selalu meninggal pada usia dini. Meskipun telah mencoba berbagai cara, mereka tidak berhasil. Akhirnya, mereka memutuskan untuk meminta bantuan dari Kanjeng Sinuwun Jayabaya.
Kemudian Jayabaya menyarankan mereka melakukan beberapa ritual dengan syarat utama, mereka harus menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa dan selalu berbuat baik kepada sesama. Selain itu mereka diperintahkan menyucikan diri dengan mandi menggunakan air suci dari tujuh sumber air.
Mereka juga diminta untuk berserah diri secara lahir dan batin, sambil memohon kepada Tuhan agar keinginan mereka, terutama terkait kesehatan dan kesejahteraan bayi dikabulkan. Supaya memperoleh berkah dari Tuhan, mereka menyajikan sesaji, termasuk takir plontang, kembang setaman, dan kelapa gading muda.
Setelah menjalani serangkaian ritual yang diperintahkan Jayabaya, Tuhan mengabulkan permohonan Ki Sedya dan Niken Satingkeb untuk memiliki anak yang sehat dan panjang umur. Sebagai penghormatan terhadap Niken Satingkeb, generasi berikutnya meniru serangkaian ritual tersebut, yang kemudian dikenal sebagai Tingkeban.
Makna Upacara Tingkeban
Mengutip dari jurnal berjudul Makna Sarana Upacara Tujuh Bulanan (Tingkeban) di Desa Jubel Kidul Kecamatan Suigio Kabupaten Lamongan oleh Khoiriyatul Layly Septi Wahyu Ningrum makna sarana pada upacara Tujuh Bulanan (Tingkeban) di antaranya sebagai berikut:
- Dila/Lampu Ublek (kelancara pada proses lahiran)
- Bunga Kenanga (kesukaan Allah)
- Cengkir (tidak bertengkar dengan saudara)
- Rujak (ambil sisi baiknya)
- Kendi dan Cobek (simbol laki-laki dan perempuan)
- Procot (lahir dengan procat-procot)
- Bubur Putih dan Merah (menyenangkan orang)
- Tumpeng (kuat)
- Nasi Golong (rizkinya gemolong)
- Ketupat (ingat dengan pasangan)
- Lepet, Apem (isyarah seorang perempuan)
- Telur (usia kandungan)
- Pleret (bayi dalam kondisi baik)
- Burung Dara (selalu ingat dengan rumah)
- Polo Pendem (selalu ingat bahwa manusia berasal dari tanah)
- Pisang sepet (memiliki kepribadian yang manis)
Pada intinya setiap prosesi merupakan bentuk perlambangan kepada hal-hal yang baik. Harapannya dengan prosesi ini ibu dan calon bayi diberikan keselamatan dan kesehatan hingga lahir.
Tujuan Upacara Tingkeban
Ritual Tingkeban adalah tradisi yang ditujukan khusus kepada wanita yang sedang hamil, mirip dengan upacara selamatan yang bertujuan untuk mendoakan keselamatan dan kebaikan bagi ibu hamil dan bayi yang dikandungnya, baik selama masa kehamilan maupun setelah lahir nanti.
Selain itu, ritual ini ditujukan untuk mempermudah proses kehamilan, persalinan, dan pertumbuhan anak sampai dewasa. Oleh karena itu, setiap proses Tingkeban memiliki makna simbolis yang baik untuk menolak bala.
Tata Cara Upacara Tingkeban
Terdapat sembilan tahapan Tingkeban yang memiliki makna simbolis. Berikut ini penjelasannya:
1. Sungkeman
Sungkeman dilakukan oleh istri dengan memberikan penghormatan kepada suaminya. Kemudian dilanjutkan oleh suami dan istri memberikan penghormatan kepada orang tua mereka. Tradisi ini merupakan bentuk pengakuan kesalahan atau ngaku lepat dalam budaya Jawa.
2. Siraman
Siraman adalah upacara yang dilakukan kepada calon orang tua bayi dengan menyiram air dari tujuh sumber yang dituangkan oleh tujuh orang sesepuh keluarga. Setelah siraman, calon ibu akan memakai kain berwarna-warni sebagai simbol sifat-sifat baik yang akan dimiliki oleh bayi yang dikandungnya.
Siraman merupakan simbol pembersihan fisik dan spiritual, membantu calon ibu untuk membebaskan diri dari dosa-dosa agar kelahiran bayi nantinya lancar tanpa beban moral.
3. Ganti Busana 7 Kali
Upacara ganti busana dilakukan dengan menggunakan tujuh jenis kain yang berbeda, masing-masing dengan motif yang berbeda pula. Motif dan jenis kain yang dipilih adalah yang terbaik, dengan harapan bahwa bayi yang akan lahir akan mewarisi kebaikan-kebaikan yang terkandung dalam lambang-lambang kain tersebut.
4. Tigas Kendit
Tigas Kendit adalah upacara dimana calon ibu diikat perutnya dengan janur kuning. Ikatan ini kemudian dipotong oleh calon ayah bayi menggunakan keris yang ujungnya dilapisi kunyit sebagai perlindungan dari hal-hal yang tidak diinginkan. Ini dilakukan untuk membuka ikatan yang menghalangi kelahiran bayi.
5. Brojolan
Brojolan adalah upacara dimana sepasang kelapa gading muda yang dihiasi dengan gambar Kamajaya dan Dewi Ratih atau Arjuna dan Sembadra dimasukkan ke dalam sarung yang ditaruh di atas perut calon ibu dan ditarik ke bawah. Tujuan simbolis dari upacara ini adalah untuk memastikan kelahiran bayi berlangsung dengan lancar tanpa kesulitan.
6. Angrem
Pada prosesi angrem, calon ibu duduk di atas tumpukan kain yang sebelumnya digunakan dalam acara pantes-pantes, mirip dengan ayam betina yang sedang mengerami telurnya. Tujuannya adalah agar bayi yang dikandung dapat lahir pada waktunya.
7. Dhahar Ajang Cowek
Pada upacara ini, calon ayah duduk bersama calon ibu di atas tumpukan kain. Keduanya kemudian mengambil makanan yang disiapkan menggunakan cowek (cobek) sebagai alasnya, dan memakannya bersama-sama sampai habis.
Tujuannya adalah untuk memastikan kesehatan plasenta bayi sehingga bayi yang dikandung dapat tumbuh dengan baik. Setelah itu, calon ayah menjatuhkan teropong di antara kain-kain berwarna yang melambangkan kelahiran si bayi yang diharapkan akan berjalan lancar dan sempurna.
Demikian uraian singkat mengenai upacara Tingkeban mulai dari sejarah, tujuan, makna, hingga tata cara melakukannya. Semoga informasi ini bermanfaat, Lur!
Artikel ini ditulis oleh Syifa`ul Husna peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(sto/afn)