Belajar Kelola Warisan Budaya Dunia UNESCO, Pemda DIY Sambangi Subak Bali

Belajar Kelola Warisan Budaya Dunia UNESCO, Pemda DIY Sambangi Subak Bali

Adji G Rinepta - detikJogja
Rabu, 29 Mei 2024 18:00 WIB
Subak Pulagan di Tampaksiring, Gianyar, Bali, Selasa (28/5/2024).
Subak Pulagan di Tampaksiring, Gianyar, Bali, Selasa (28/5/2024). Foto: Adji G Rinepta/detikJogja
Jogja -

Sumbu Filosofi Yogyakarta telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia. Sebagai bentuk keseriusan untuk mengelola, dan mempertahankannya Pemda DIY pun menyambangi Warisan Budaya lainnya dari Bali, yakni Subak.

Mengutip laman resmi Kemendikbud, Subak ditetapkan sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO pada 29 Juni 2012 di Rusia. Kata Subak mengacu kepada sebuah lembaga sosial dan keagamaan yang unik, mempunyai pengaturan tersendiri, asosiasi-asosiasi demokratis dari petani dalam mengatur penggunaan air irigasi untuk pertumbuhan padi.

Luas lanskap Subak sendiri sekitar 21.000 hektare yang terdiri dari lima klaster. Klaster Danau Batur 1.816,40 hektare, Pura Ulun Danu Batur 32,50 hektare, Lanskap Subak Daerah Aliran Sungai (DAS) Pakerisan 717,10 hektare, Lanskap Subak Catur Angga Batukaru 18.350,40 hektare dan Pura Taman Ayun sebesar 58,20 hektare.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bukan sekadar sistem irigasi, dalam pandangan masyarakat Bali, Subak adalah cerminan langsung dari filosofi dalam agama Hindu Tri Hita Karana (tiga penyebab kebaikan), yakni harmonisasi antara individu dengan alam semangat (parahyangan), dunia manusia (pawongan), dan alam (palemahan).

"Filosofi Tri Hita Karana ini yang menjadi sangat penting dari penetapannya Subak menjadi warisan Budaya dunia, bukan hanya persawahan, tetapi di dalamnya banyak sekali unsur yang membentuk sistem Subak," jelas Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XV Kemendikbudristek, Abi Kusno ditemui wartawan di Bali, Senin (27/5/2024).

ADVERTISEMENT

"Semuanya saling berkait, misalnya di Palemahan di subaknya sendiri berubah, otomatis hubungan antarmanusianya juga berubah. Masyarakatnya akan berubah, yang tadinya petani tidak jadi petani, lembaga adat juga berubah," lanjutnya.

Masalah Pelestarian Subak

Menjaga dan melestarikan subak sebagai warisan budaya dunia tentu memiliki sejumlah masalah. Abi mengatakan, masalah terbesar dari pelestarian subak, yakni menjaga keutuhan wujud subak yang luasnya puluhan ribu hektare.

"Banyak sekali konversi lahan yang sudah berubah, harusnya lahan hijau, lahan pertanian, tetapi di dalamnya sudah mulai muncul restoran, homestay, perumahan pun ada," papar Abi.

"Kalau lingkungannya berubah, antarmanusianya berubah, otomatis ritual adat yang hubungannya dengan Tuhan pun berubah," sambungnya.

Upaya pelestarian ini semakin rumit dilakukan lantaran sejak awal pengajuan Subak sebagai Warisan Budaya Dunia, data kepemilikan lahan persawahan di Subak belum 100 persen terdata.

"Saat kita mengusulkan ke UNESCO untuk warisan budaya dunia ternyata belum semua Fix datanya. Jadi data seperti kepemilikan Subak, batasnya, belum lagi sekarang pengalihan lahan, makanya dua tahun terakhir kami masih melakukan mapping," jelasnya.

Sementara itu, ketua kelompok tani atau Pekaseh Subak Pulagan, Sang Nyoman Astika menyampaikan jika lahan yang dipunyai warga di subak merupakan lahan turun temurun diwariskan dari leluhur dan tak tidak akan pernah dijual.

Selengkapnya baca halaman berikutnya

Namun, jika melihat masalah pelestarian yakni konversi lahan, Nyoman mengatakan hal tersebut bisa terjadi karena kebutuhan hidup warga yang tidak mampu tertutupi jika menjadi seorang petani.

"Petani sini makanya bisa sekolahin anak dia sambil kerja jadi petani hanya sambilan. Palingan penghasilan sebulan Rp 500 ribu, ada juga petani yang petani full time tapi seperempat, banyakan perajin ukir-ukiran," ungkapnya kepada wartawan di lahan sawahnya di Subak Pulagan, Selasa (28/5).

"Meskipun nggak jadi warisan budaya dunia pun di sini jarang jual sawah, karena adat masih kental di sini, dia ga berani jual kecuali misalnya yang kepepet itu beberapa karena anaknya sakit dia pinjam uang otomatis sawahnya dijual," sambungnya.

Pengalihfungsian sawah subak, lanjut Nyoman, juga terjadi bila ada sawah yang tak lagi produktif. Meski begitu, Nyoman pun menerapkan berbagai cara untuk mencegah alih fungsi lahan ini semakin menjadi.

"Kami bikin jalan kecil supaya nggak cepat alih fungsi lahan, kalau jalan besar gampang bawa material," ungkapnya.

Korelasi Subak dengan Sumbu Filosofi Jogja

Subak Pulagan di Tampaksiring, Gianyar, Bali, Selasa (28/5/2024).Subak Pulagan di Tampaksiring, Gianyar, Bali, Selasa (28/5/2024). Foto: Adji G Rinepta/detikJogja

Selain sama-sama memiliki filosofi di dalamnya, Sekretaris Daerah (Sekda) DIY Beny Suharsono mengatakan masalah-masalah yang muncul pada pelestarian subak juga memiliki korelasi dengan Sumbu Filosofi Jogja.

"Bali (Subak) kan ditetapkan 2012, melangkah, kita bayangkan itu sudah lari cepat ya, ternyata banyak kendala. Tapi dengan belajar seperti ini, maka ada beberapa hal yang bisa kita akselerasi dalam kendali kita," jelas Beny di Kantor BPK wilayah XV, Badung, Bali, Senin (29/5).

Kendali yang dimaksud Beny yakni pihaknya telah memiliki Balai Pengelolaan Sumbu Filosofi Jogja melalui Keputusan Gubernur DIY Nomor 360/KEP/2023, tentang Sekretariat Bersama Pengelolaan Warisan Dunia Sumbu Filosofi Jogja.

Meski menekankan filosofi, namun menurutnya ada juga penanda benda di Sumbu Filosofi. Balai Pengelola Sumbu Filosofi lah yang bertugas menjaga keutuhannya. Termasuk menjalankan rekomendasi UNESCO.

"Jangan sampai tekanan bangunan mengganggu penetapan Sumbu Filosofi. Maka tadi belajar, kesulitannya oh ternyata masih ada pembangunan, masifnya tidak diperkirakan. Kita juga menemukan hampir mirip di Jogja, maka dengan belajar, Oh ya maka cara mengelolanya harus begini," pungkasnya.


Hide Ads