Sumbu Filosofi Yogyakarta telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia. Sebagai bentuk keseriusan untuk mengelola, dan mempertahankannya Pemda DIY pun menyambangi Warisan Budaya lainnya dari Bali, yakni Subak.
Mengutip laman resmi Kemendikbud, Subak ditetapkan sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO pada 29 Juni 2012 di Rusia. Kata Subak mengacu kepada sebuah lembaga sosial dan keagamaan yang unik, mempunyai pengaturan tersendiri, asosiasi-asosiasi demokratis dari petani dalam mengatur penggunaan air irigasi untuk pertumbuhan padi.
Luas lanskap Subak sendiri sekitar 21.000 hektare yang terdiri dari lima klaster. Klaster Danau Batur 1.816,40 hektare, Pura Ulun Danu Batur 32,50 hektare, Lanskap Subak Daerah Aliran Sungai (DAS) Pakerisan 717,10 hektare, Lanskap Subak Catur Angga Batukaru 18.350,40 hektare dan Pura Taman Ayun sebesar 58,20 hektare.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bukan sekadar sistem irigasi, dalam pandangan masyarakat Bali, Subak adalah cerminan langsung dari filosofi dalam agama Hindu Tri Hita Karana (tiga penyebab kebaikan), yakni harmonisasi antara individu dengan alam semangat (parahyangan), dunia manusia (pawongan), dan alam (palemahan).
"Filosofi Tri Hita Karana ini yang menjadi sangat penting dari penetapannya Subak menjadi warisan Budaya dunia, bukan hanya persawahan, tetapi di dalamnya banyak sekali unsur yang membentuk sistem Subak," jelas Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XV Kemendikbudristek, Abi Kusno ditemui wartawan di Bali, Senin (27/5/2024).
"Semuanya saling berkait, misalnya di Palemahan di subaknya sendiri berubah, otomatis hubungan antarmanusianya juga berubah. Masyarakatnya akan berubah, yang tadinya petani tidak jadi petani, lembaga adat juga berubah," lanjutnya.
Masalah Pelestarian Subak
Menjaga dan melestarikan subak sebagai warisan budaya dunia tentu memiliki sejumlah masalah. Abi mengatakan, masalah terbesar dari pelestarian subak, yakni menjaga keutuhan wujud subak yang luasnya puluhan ribu hektare.
"Banyak sekali konversi lahan yang sudah berubah, harusnya lahan hijau, lahan pertanian, tetapi di dalamnya sudah mulai muncul restoran, homestay, perumahan pun ada," papar Abi.
"Kalau lingkungannya berubah, antarmanusianya berubah, otomatis ritual adat yang hubungannya dengan Tuhan pun berubah," sambungnya.
Upaya pelestarian ini semakin rumit dilakukan lantaran sejak awal pengajuan Subak sebagai Warisan Budaya Dunia, data kepemilikan lahan persawahan di Subak belum 100 persen terdata.
"Saat kita mengusulkan ke UNESCO untuk warisan budaya dunia ternyata belum semua Fix datanya. Jadi data seperti kepemilikan Subak, batasnya, belum lagi sekarang pengalihan lahan, makanya dua tahun terakhir kami masih melakukan mapping," jelasnya.
Sementara itu, ketua kelompok tani atau Pekaseh Subak Pulagan, Sang Nyoman Astika menyampaikan jika lahan yang dipunyai warga di subak merupakan lahan turun temurun diwariskan dari leluhur dan tak tidak akan pernah dijual.
Selengkapnya baca halaman berikutnya
Komentar Terbanyak
Amerika Minta Indonesia Tak Balas Tarif Trump, Ini Ancamannya
Pengakuan Lurah Srimulyo Tersangka Korupsi Tanah Kas Desa
Catut Nama Bupati Gunungkidul untuk Tipu-tipu, Intel Gadungan Jadi Tersangka