Bioskop Senopati merupakan salah satu bioskop lawas yang berdiri di jantung Kota Jogja. Kini lokasi tersebut menjadi wahana edukasi, Taman Pintar. Seperti apa kisahnya?
Dulu, gedung serbaguna yang terletak di Jalan Panembahan Senopati ini merupakan tempat pusat kegiatan warga sekitar karena tidak hanya mencakup bioskop saja, melainkan juga terdapat pasar, toko baju, hingga toko buku. Salah satu pedagang buku di Shopping Center Jogja, Wardi (56), mengenang pada saat ia masih berjualan di area tersebut.
"Ada pasar campur. Yang di bawahnya gedung itu ada sepatu, ada baju-baju. Sampingnya itu ada yang jual makanan, sampingnya lagi agen bus. Toko bukunya itu di selatan bioskop sama di timurnya gedung bioskop," kenang Wardi kepada detikJogja, Jumat (13/10/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai informasi, lokasi tepat gedung eks Bioskop Senopati berada di gedung oval Taman Pintar. Letaknya berada di seberang Yogya Theater yang dulu juga masih berada di kompleks tersebut.
"Sekarang jadi gedung Taman Pintar, yang gedung oval. Itu bioskop bercampur dengan pasar. Karena bioskopnya itu paling pojok. Di dalam gedung gini. Dulu kan paling laris Senopati itu, karena mungkin faktor murah dan enak tempatnya," lanjut Wardi.
Langganan Mahasiswa Pada Zamannya
Terpisah, Hafni (60) turut membagikan pengalamannya saat berjualan buku di sekitar Gedung Serbaguna Senopati. Kala itu, suasana Bioskop Senopati ramai dikunjungi pengunjung mahasiswa.
"Bioskopnya ya ramai. Tapi setelah pindah ya wis bubar. Terus mulai ada kobongan. Dulu pernah terbakar (gedung bioskop). Di bioskop sini kan ada atas sama bawah, itu pernah terbakar. Padahal saya di bawahnya," kenang Hafni kepada detikJogja.
"(Penonton) Biasanya dari mahasiswa," tuturnya melanjutkan.
Hafni mengaku sebagai salah satu mahasiswa yang gemar menonton film bersama teman-temannya. Film yang sering diputar kala itu bertemakan film-film perjuangan, seperti Janur Kuning dan G30S. Tiket masuknya sendiri berkisar dari Rp 25 hingga Rp 100.
"Sama temen-temen kalau kosong 'yok nonton'. Dulu kuliah saya ya sering bolos terus nonton film ke bioskop. Filmnya macem-macem, (kebanyakan) film Indonesia. Film perjuangan, Serangan Umum 1 Maret itu lho," kenang Hafni.
"Itu paling booming. Harganya paling cuma Rp 100, Rp 75, Rp 25. Ya murah. Kalau perlu gratis. Kan yang jaga kita kenal," sambungnya.
Ketua Paguyuban Pedagang Buku di Shopping Center, Asar menggambarkan suasana Bioskop Senopati yang memiliki kapasitas tempat duduk lebih besar jika dibandingkan dengan bioskop-bioskop yang lain. Asar menyebut meski berstatus bioskop kelas dua, fasilitas Bioskop Senopati terbilang bagus.
"Kalau Bioskop Senopati itu sebenarnya nggak beda jauh dengan bioskop-bioskop sekarang, misal penomorannya. Cuma yang mungkin berbeda itu jumlah kursi. Kalau dulu lebih banyak. Seingat saya tempatnya itu lebih lebar dibandingkan dengan bioskop yang sekarang. Senopati itu banjarnya panjang-panjang, kalau nggak salah sampai 15 itu satu banjar," terangnya.
Bioskop Senopati Meredup
Tahun 1980-an menjadi kejayaan bagi film-film Indonesia. Hal ini ditandai dengan banyak bioskop yang menampilkan film Indonesia. Namun seiring perubahan regulasi terkait pengurangan bea masuk untuk film asing, mulai banyak film asing yang ditayangkan di Indonesia sehingga membuat film Indonesia tersingkir.
"Sebenarnya dulu itu kan di era '80-an film Indonesia istilahnya baru jaya-jayanya. Itu biasanya banyakan menampilkan film-film indonesia. Tapi kemudian seingat saya ada perubahan regulasi, mengurangi bea masuk pajak untuk film-film asing, mulai itu serbuan film asing masuk ke indonesia. Akhirnya film indonesia banyak tersingkirkan," ujar Asar.
Bioskop Senopati pun mulai meredup setelah banyak bioskop modern hadir di Jogja. Bioskop ini kehilangan pamor karena kehadiran bioskop lain dengan kualitas yang lebih unggul pada masa itu.
"Itu udah lama banget. Sejak kita masih jualan di sana (Bioskop Senopati), bioskopnya udah mulai sepi. Kalau di sini kan cuma bioskop biasa ya. Itu kan ada di Jalan Solo (Empire), suaranya lebih dung, dung, dung. Kalau di sini kan (suaranya) biasa. Jadinya yang laris sana, do mlayu ke sana," kata Hafni.
Sementara itu, dosen sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, Baha' Uddin menyebut kemunculan televisi turut membuat bioskop lokal di Jogja lesu. Selain itu, berbagai program televisi pun juga menayangkan film sehingga masyarakat lebih memilih untuk menonton dari rumah.
"Setelah televisi tahun 90-an ke sini, televisi swasta terutama mulai berkembang di Indonesia. Nah mereka di hari-hari tertentu punya program layar perak layar emas yang memutar film-film barat box office, itu awalnya yang mengalihkan hiburan dari outdoor ke domestik. Orang menunggu itu dan gratis," kata Baha saat ditemui detikJogja, Senin (16/10).
Setelah Bioskop Senopati dan beberapa bioskop lokal di Jogja tergantikan dengan bioskop modern. Dia pun menyoroti hilangnya forum sosial, karena dulu bioskop ini selain menjadi tempat hiburan bagi masyarakat juga menjadi tempat berkumpul dan berdialog di masa nya.
"Tapi memang kemudian hilangnya forum sosial di Jogja. Dulu sekitar bioskop, orang nongkrong, ngemil, interaksi sosial ada di situ. Sekarang nggak ada. Itu konsekuensi logis dari kemajuan teknologi. (Dulu) itu kan nontonnya bareng-bareng nggak hanya sendiri, ada nuansa kebersamaan istilahnya egaliter ada di situ. Suasana itu yang terus terang hilang," pungkas Baha penuh prihatin.
Artikel ini ditulis oleh Mahendra Lavidavayastama dan Jihan Nisrina Khairani Peserta program magang bersertifikat kampus merdeka di detikcom.
(ams/aku)
Komentar Terbanyak
Ternyata Ini Sumber Suara Tak Senonoh yang Viral Keluar dari Speaker di GBK
Komcad SPPI Itu Apa? Ini Penjelasan Tugas, Pangkat, dan Gajinya
Pengakuan Lurah Srimulyo Tersangka Korupsi Tanah Kas Desa