Bioskop Indra yang kini menjadi Teras Malioboro I dulu dikenal sebagai layar lebar pertama di Kota Jogja. Konon, bioskop ini menjadi pusat hiburan dan tempat nongki para elite Eropa pada masa kolonial.
Bioskop ini pun menjadi salah satu saksi berkembangnya dunia perfilman Indonesia. Simak selengkapnya di bawah ini.
Bioskop Pertama di Jogja
Bioskop Indra didirikan pada tahun 1917 oleh pengusaha Belanda bernama Helland Muller. Dulu Bioskop Indra terbagi menjadi dua bagian yakni Gedung Al Hambra untuk kalangan elite Eropa dan Tionghoa, lalu Gedung Mascot yang khusus untuk pribumi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ketika listrik masuk ke Jogja tahun 1917, ada pengusaha Belanda namanya Helland Muller, membuka bioskop pertama namanya Al Hambra. Itu memang tidak terlepas dari perkembangan kota Jogja karena banyaknya orang-orang Eropa yang tinggal di Jogja," jelas Dosen Departemen Sejarah UGM, Baha Uddin, saat diwawancarai detikJogja di FIB UGM, Senin (16/10/2023).
Baha menyebut pada masa itu para elite Eropa merasa butuh hiburan yang sesuai dengan kelas mereka. Oleh karena itu, dibangunlah Bioskop Indra pada abad ke-20. Bioskop ini pun menjadi ikon rekreasi modern bagi masyarakat Jogja saat itu.
"Jadi mereka (orang-orang Eropa) adalah para administratur. Pada waktu itu ada sekitar 19 pabrik gula di Jogja dan itu banyak sekali karyawannya yang terdiri dari orang Eropa. Mereka membutuhkan hiburan yang modern dan masuk dalam masyarakat kalangan mereka. Karena itu sebenarnya di Jogja banyak sekali Societeit, tempat untuk biliar, tempat untuk dansa, dan sebagainya. Nah salah satunya bioskop itu," terang Baha.
Lebih lanjut, klasifikasi kelas sosial masih sangat kentara pada masa itu. Hal itu terlihat dari tempat pembelian tiket Bioskop Indra, harga tiket masuk, dan juga fasilitas bioskop itu sendiri.
Gedung Al Hambra kala itu sudah menggunakan kursi empuk, lain halnya dengan gedung Mascot yang masih menggunakan kursi biasa. Tiket masuk untuk Al Hambra sendiri disebut tiga kali lipat lebih mahal dari harga tiket gedung Mascot.
"Kalau orang pribumi beli tiketnya di depan Pasar Beringharjo. Kalau Al Hambra itu beli tiketnya di Hotel Merdeka, yang sekarang jadi Garuda," tuturnya.
"Kursinya juga berbeda, semuanya (fasilitas) berbeda. Karena memang kelasnya waktu itu dibedakan kelas sosialnya. Jadi fasilitasnya memang yang pribumi kursi biasa, kalau yang Alhambra itu sudah empuk (kursinya). Harga tiketnya juga berbeda. Yang Al Hambra itu sekitar 3 gulden, kalau yang Mascot itu 1 gulden. Genre (film) sama karena awalnya masih film bisu, film silent," tambah Baha.
Sempat Jadi Media Propaganda Jepang
Industri bioskop di Jogja sempat terhenti ketika era kolonial Belanda usai, lalu digantikan dengan Jepang. Film dari luar negeri pun dilarang masuk, serta gedung bioskop diambil alih untuk memutar film-film yang berisi propaganda Jepang.
"Perbioskopan Jogja itu mati pada masa Jepang karena Jepang menghentikan semua impor film dari luar negeri dan diganti dengan film propaganda. Semua gedung bioskop juga diambil alih oleh Jepang untuk menayangkan film-film propaganda Jepang," ujar Baha.
"Jadi praktis tidak ada lagi film-film hiburan, adanya film-film Jepang yang digunakan untuk (menayangkan) kepahlawanan Jepang, bahwa Jepang itu hero-nya Asia," sambungnya.
Selengkapnya di halaman berikut.
Industri Film Bergeliat Lagi di 1948
Baru di tahun 1948 saat Jogja menjadi Ibu kota Indonesia, industri bioskop di Jogja mulai bergerak kembali. Namun di lain sisi, terdapat kebijakan berupa penggalangan dana revolusi sebesar 25-30% yang diambil dari penetapan harga tiket film bioskop. Dana itu digunakan untuk biaya perang pemerintah Indonesia.
"Baru kemudian (bioskop) bangkit lagi ketika tahun 1948, ketika pada waktu itu Jogja menjadi ibu kota RI. Di situlah kemudian ada lembaga namanya PPBI dan
PERFEBI (Peredaran Film dan Eksploitasi Bioskop Indonesia,red). Itu lembaga yang mengimpor film-film barat ke Indonesia. Oleh karena itulah mulai tahun 1948 gedung bioskop tidak murni untuk hiburan karena juga digunakan pemerintah untuk menggalang dana revolusi," kata Baha.
"Jadi ketika orang membeli tiket (bioskop), 25-30 persennya menyumbang dana revolusi untuk perang. Itu sampai tahun 1950 ketika revolusi berhenti," imbuhnya.
Di sisi lain, pada tahun 1950-an industri bioskop di Jogja semakin menjamur. Dibangunnya sejumlah sekolah dan universitas, serta potongan pajak hiburan serta pembebasan impor film turut menyumbang pesatnya perkembangan industri Bioskop di Jogja pada tahun 1950 dan 1960-an.
"Tahun 1950-an mulai banyak berdiri bioskop-bioskop baru. Mulai muncul bioskop-bioskop yang dimiliki oleh pribumi, kayak (bioskop) Permata, Indra, Pathuk. Plus karena di Jogja pada saat itu sebagai Kota Pelajar. UGM didirikan, universitas-universitas lain didirikan, itu mereka butuh hiburan. Kemudian berkembang pesat bioskop-bioskop di Jogja," jelasnya.
Namun, geliat bisnis bioskop itu meredup sejak adanya CD player dan televisi. Kemudahan akses membuat masyarakat mulai meninggalkan bioskop.
"Puncaknya CD akhir tahun 90-an, ketika kemudian film bisa dikopi, dimiliki sendiri dalam bentuk CD dan di situ CD player menjadi barang yang sangat laris. Itu menghadirkan bioskop di rumah sendiri," kata Baha.
Kenangan Warga Tentang Bioskop Indra
Gedung bioskop yang telah berubah fungsi menjadi tempat pedagang Malioboro ini menyimpan banyak kenangan bagi masyarakat sekitar. Salah satunya Andriyanto (47), satpam di area Teras Malioboro 1. Dia mengenang masa ketika berkunjung ke Bioskop Indra pada saat ia masih kecil.
"Pernah nonton beberapa kali sekitar tahun 1985. Dulu waktu saya sekitaran umur 8 tahun ke sana. Nonton filmnya anak-anak, judulnya Nakalnya Anak-anak. Itu udah lama banget, film jadul tapi yang paling berkesan. Kisah seorang duda punya anak tiga, saya lupa-lupa ingat, tapi bisa bikin nangis," kisah Andri.
Seorang tukang becak yang sudah menarik pelanggan di daerah tersebut sejak tahun 1990, Sulis (69), mengenang film-film beken yang pernah ditayangkan di bioskop tersebut.
"Harganya masih murah, cuma Rp. 1.500 tahun 1990-an. Kalau (film) barat sukanya Norris, Bruce Lee. Kalau Indonesia lihatnya dulu kan Rano Karno itu waktu saya muda, misalnya Buah Terlarang," kenang Sulis.
Pengemudi becak lainnya, Tumilan (63), mengenang ada tempat karaoke serta beberapa resto dan warung di sekitar Bioskop Indra.
"Dulu di samping bioskop ada karaoke, tahun '70 ada. Dulu nggak kayak gini, dulu ini resto-resto (bangunan di utara Teras Malioboro 1). Terus itu penjual emas (gedung di selatan Teras Malioboro 1) sampingnya itu terus sana-sana (bangunan menghadap jalan utama) itu ada warung-warung kecil," kenang Tumilan.
Artikel ini ditulis oleh Mahendra Lavidavayastama dan Jihan Nisrina Khairani Peserta program magang bersertifikat kampus merdeka di detikcom.
Simak Video "Cantiknya Permainan Seni Video Mapping di Cagar Budaya Jogja"
[Gambas:Video 20detik]
(ams/ams)
Komentar Terbanyak
Komcad SPPI Itu Apa? Ini Penjelasan Tugas, Pangkat, dan Gajinya
Ternyata Ini Sumber Suara Tak Senonoh yang Viral Keluar dari Speaker di GBK
Pengakuan Lurah Srimulyo Tersangka Korupsi Tanah Kas Desa