Bioskop Soboharsono merupakan salah satu bioskop yang pernah hits di Kota Jogja. Lokasinya pun cukup strategis, berada di timur Alun-alun Utara yang kini menjadi gedung Jogja Gallery.
Saat ditemui detikJogja, Kamis (12/10/2023) di kompleks Jogja Gallery, salah satu mantan penjaga Bioskop Soboharsono, Kuat (56) berbagi kenangan tentang bioskop tersebut ketika masih beroperasi. Dia mengenang harga tiket bioskop pada masa itu Rp 500 dan selalu ramai saat penayangan midnight show.
"(Harga tiket) Rp 500, kalo midnight yang mahal Rp 2.500, itu kalau tahun baru midnight-nya (tayang) 2 film sampai pagi, rame terus. Tapi ya cuma sepeda-sepeda, apalagi kalau pasar malem, 40 hari itu paling banyak film Indonesia. Karena orang-orang desa, waktu 80-90 an ini buat dateng dari orang mana-mana kebak (penuh)," kenang Kuat.
Sama seperti bioskop-bioskop yang lain, film midnight menjadi jam tayang favorit masyarakat. Menurut Kuat, Bioskop Soboharsono memiliki empat kali jadwal tayang, yakni mulai pukul 10.00 WIB, pukul 19.00 WIB, pukul 21.00 WIB, dan tengah malam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Banyak pengunjung yang menantikan film midnight. Khususnya pada saat malam Minggu atau ketika ada hari libur nasional.
"Pasti ada (film midnight) malam Minggu. Ada misalnya Tahun Baru terus bodo (Hari Raya Idul Fitri) itu pasti ada, pokoke ada pas mau libur tanggal merah. Selain itu nggak ada," jelas Kuat yang kini menjadi petugas parkir di Jogja Gallery.
Putar Film Lokal dan India
Dia menceritakan suasana di bioskop tersebut yang ramai dikunjungi masyarakat, terutama dari kalangan mahasiswa. Mayoritas film yang diputar merupakan film lokal dan film India.
"Yang nonton dari mana-mana, mahasiswa banyak. Kecuali midnight, itu paling banyak Indonesia sama India. Jaringan terlarang, Dono Indro, Chips. Itu sampai tiga bulan penontonnya ratusan. India itu bintangnya paling banyak Amitabh Bachchan, Mithun Chakraborty, Sridevi," kenangnya.
Bangunan eks Bioskop Soboharsono sendiri tidak banyak berubah seiring waktu berlalu. Meski sekarang digunakan sebagai Jogja Gallery, gedung tersebut masih terawat dan terlihat sama seperti dahulu.
"Gedungnya nggak berubah. Yang tambahan itu cuma gazebonya itu tok, masih bangunan asli, cuma ganti kulit. Ya seperti ini depannya, tapi dulu ada kuncungnya," ujarnya.
Gedung eks Bioskop Soboharsono ini dulunya merupakan Yayasan Hiburan Mataram. Sebelumnya, bioskop ini bernama Senisono yang berlokasi di sebelah Gedung Agung, baru pada tahun 70-an bioskop pindah ke lokasi yang saat ini menjadi Jogja Gallery.
"Dulunya pertama ini yayasan, Yayasan Hiburan Mataram. Kalau bioskop yang nyewa lain, itu yang punya Borobudur Plaza. Sebelumnya (lokasi bioskop) di sebelah Gedung Agung di situ (bioskop) Senisono, terus pindah ke sini (menjadi) Soboharsono. Pindah itu tahun 70-an," ujar pria tersebut.
Gedung ini berubah menjadi Jogja Gallery sejak tahun 2006, sebelum itu gedung ini kosong setelah tidak difungsikan sebagai bioskop lagi.
"(Tahun) 2006 (jadi Jogja Gallery), (sebelum itu) kosong, dari 2001-2006 kosong," tutur Kuat kepada detikJogja.
Selengkapnya di halaman selanjutnya.
Bioskop Jadi Sumber Hiburan Masyarakat
Belum munculnya televisi menjadi salah satu penyebab pesatnya perkembangan bioskop di Jogja pada sekitar tahun 1980-an. Dosen Sejarah FIB UGM, Baha Uddin menjelaskan bioskop menjadi tempat utama untuk melepas penat sebelum adanya kemajuan teknologi.
"Antusiasme tinggi karena belum ada televisi. Hiburan satu-satunya bagi kelas pekerja, mahasiswa, sama pelajar itu ya bioskop. Jadi ramai dari semua tingkatan itu. Orang kemudian tinggal milih saja mau di mana, dari semua kelas bioskop pada waktu itu," tutur Baha saat ditemui di FIB UGM, Senin (16/10).
Saat itu, informasi jadwal tayang film di bioskop masih menggunakan media koran. Koran zaman dulu memiliki satu bagian yang menampilkan daftar seluruh bioskop di Jogja, berikut dengan judul film dan jam tayangnya.
"Kalau lihat koran tahun 80-90-an itu satu halaman full adalah iklan bioskop. Jadi di sini sedang muter apa, itu ada satu halaman khusus. Kalau awalnya kan pakai kendaraan terbuka membagi-bagi, tapi kemudian tidak efektif. Mulai tahun 1980-an sudah berubah ke koran," papar Baha.
Banyaknya bioskop yang ada di Jogja menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat pada saat itu. Bahkan, masing-masing bioskop di Jogja punya kelas dan target pasarnya sendiri-sendiri.
"Dulu memang bioskop itu menjadi rohnya hiburan masyarakat. Jadi satu-satunya hiburan masyarakat untuk kalangan Jogja ya bioskop itu. Jadi, hampir setiap bioskop ada kelas-kelasnya, orang sudah terkotak-kotak sendiri mau nonton di mana, (kalau) pelajar ya di bioskop rendah, murah meriah. Senopati atau Soboharsono itu kan terkenal tahun 1990 muter film-film hot panas, kaya Eva Arnaz macam-macam gitu, orang-orang sudah tahu lah, kelasnya sudah terkotak-kotak," kata dosen sejarah ini.
Artikel ini ditulis oleh Mahendra Lavidavayastama dan Jihan Nisrina Khairani Peserta program magang bersertifikat kampus merdeka di detikcom.
Komentar Terbanyak
Mahasiswa Amikom Jogja Meninggal dengan Tubuh Penuh Luka
Mahfud Sentil Pemerintah: Ngurus Negara Tak Seperti Ngurus Warung Kopi
UGM Sampaikan Seruan Moral: Hentikan Anarkisme dan Kekerasan