Sejarah Berdirinya Kadipaten Pakualaman Jogja

Sejarah Berdirinya Kadipaten Pakualaman Jogja

Talita Leilani Putri - detikJogja
Rabu, 02 Agu 2023 12:21 WIB
Puro Pakualaman, Jumat (4/1/2019).
Sejarah Berdirinya Kadipaten Pakualaman Jogja. (Foto: Puro Pakualaman, Jumat (4/1/2019). - dok. detikcom)
Jogja -

Dulunya Kadipaten Pakualaman merupakan sebuah negara dependen yang berbentuk kerajaan. Namun pada tahun 1950, status negara dependen Kadipaten Pakualaman diturunkan menjadi daerah istimewa setingkat provinsi dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dikutip dari laman Dinas Kebudayaan Kota Jogja, Kadipaten Pakualaman berdiri pada tahun 1813, pada masa kekuasaan Inggris dengan penyerahan kekuasaan oleh Hamengku Buwono II kepada adiknya, Pangeran Natakusuma dengan status Pangeran Merdika. Pangeran Natakusuma kemudian mendapatkan gelar sebagai KGPAA Paku Alam I dengan kediaman di Puro Pakualaman yang berada di sisi timur Kasultanan Ngayogyakarta.

Sejarah Awal Kadipaten Pakualaman

Dikutip dari laman Pemerintah Provinsi Jogja, sejarah berdirinya Pakualaman bermula dari pertikaian Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat di bawah Sri Sultan Hamengku Buwono II (HB II) melawan pemerintahan Gubernur Jenderal Belanda (di bawah pengaruh Perancis semasa Raja Lodewijk Napoleon dari Perancis) Herman Willem Daendels.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Daendels mengirim pasukannya untuk menyerang Keraton Jogja pada Desember 1810 untuk memadamkan pemberontakan Raden Ronggo yang akhirnya berakibat penurunan paksa HB II dari tahta. Kemudian kekuasaan diberikan kepada GRM Soerojo yang diangkat sebagai wali raja dengan gelar Sultan Hamengku Buwono III.

Kemudian pada 1811, kekuasaan kolonial Belanda-Perancis di Pulau Jawa direbut oleh Inggris dengan Kapitulasi Tuntang 11 Agustus 1811, dan Inggris mengutus Sir Thomas Stamford Raffles untuk memimpin koloni ini dengan jabatan Letnan Gubernur Jenderal. Raffles kemudian berusaha mendapat dukungan dari para penguasa lokal, salah satunya adalah Sultan HB II. Ia kemudian mengutus Captain Robinson ke Jogja untuk mengembalikan HB II ke tahtanya dan menurunkan HB III kembali menjadi putra mahkota dengan gelar Kanjeng Pangeran Adipati Anom pada 10 Desember 1811.

ADVERTISEMENT

Terdapat 2 versi yang berbeda mengenai peran Pangeran Notokusumo di Kasultanan Yogyakarta. Berikut merupakan penjelasan dari 2 versi tersebut.

Versi Pertama

Pada versi ini dijelaskan bahwa BPH Notokusumo menemui HB II untuk menyampaikan proposal dari pemerintah kolonial Inggris untuk menyerahkan tahta kepada Adipati Anom dan meminta maaf kepada Inggris atas insiden pembunuhan Danurejo II yang dilakukan menurut perintahnya dengan kompensasi Inggris memberi amnesti kepada Sultan. Sultan juga meminta agar sikapnya jangan dipublikasikan. Dan ia menyambut sendiri kedatangan Raffles ke Jogja dan mengadakan jamuan negara.

Namun konflik tidak dapat terhenti dan turut menyeret Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran. Setelah ibunya ditahan oleh Sultan HB II karena dianggap ikut mempengaruhi Adipati Anom, Adipati Anom kemudian bekerja sama dengan Kapten Tan Jin Sing menemui John Crawford, seorang residen Inggris untuk Jogja. Dari hasil pertemuan tersebut, Crawford menuliskan surat untuk Raffles dan mengusulkan agar Adipati Anom diangkat lagi menjadi Sultan. Dalam surat itu juga Notokusumo diusulkan menjadi Pangeran Merdika. Lalu akhirnya Raffles diusulkan datang ke Jogja dengan membawa pasukannya untuk berperang.

Versi Kedua

Setelah penyerahan kekuasaan dari Belanda-Perancis kepada Inggris, HB II kembali mengambil alih tahta dari putranya. Kepada pemerintah Inggris, Sultan mengusulkan beberapa tuntutannya, seperti membayar kembali uang ganti rugi daerah pesisiran yang diambil Belanda, penyerahan makam-makam leluhur, dan diserahkannya Pangeran Natakusuma dan putra Natadiningrat.

Oleh Raffles, HB II dibiarkan dalam kedudukannya dan bahkan diperkuat kedudukannya. Tuntutan Sultan untuk membebaskan kedua kerabatnya dipenuhi. Sebaliknya HB II diminta untuk membubarkan Angkatan Bersenjata Kasultanan. Akibat campur tangan Inggris terlalu jauh dalam urusan istana, HB II segera mengadakan perundingan dengan Sunan Pakubuwono IV untuk melepaskan diri dari Inggris. HB II secara terang-terangan menentang Inggris dengan menolak pembubaran pasukannya dan justru memperkuat pertahanan di istana serta menambah jumlah milisi bersenjata. Natakusuma dan Kapten Tan Djiem Sing-lah yang memberi tahu kepada Inggris segala rencana Sultan.

Hal tersebut berakibat pasukan Inggris bersenjata lengkap dipimpin Admiral Gillespie mengepung Keraton Jogja dibantu oleh Legiun Mangkunegaran di bawah komando Pangeran Prangwadana. Gillespie segera mengirim ultimatum kepada HB II untuk segera menyerahkan tahta pada Adipati Anom dan menjadikan BPH Natakusuma menjadi Pangeran Mardika. Sultan HB II dengan tegas enggan memenuhi ultimatum. Sebuah versi lain mengemukakan mulai 18 Juni 1812 istana mulai dihujani meriam. Setelah mengepung tiga hari dan mengadakan serangan kilat pada hari terakhir, istana dapat ditaklukkan pada 20 Juni 1812. Versi lain berpendapat mulai 20 Juni 1812 keraton mulai diserang dan pada 28 Juni 1812 istana sepenuhnya dapat dikuasai Inggris. Pada tanggal itu pula Sultan HB II untuk kedua kalinya diberhentikan dan sekali lagi HB III dinobatkan sebagai Sultan Jogja.

Berdirinya Kadipaten Pakualaman

Akibat dari pertempuran tersebut, Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat diharuskan menerima konsekuensi salah satunya adalah untuk menyerahkan sebagian daerah kekuasaan kepada Pangeran Notokusumo, saudara tiri HB II yang berjasa mendukung Inggris, kemudian ia diangkat menjadi Pangeran Adipati Paku Alam I pada 29 Juni 1813.

Ia juga diberikan tanah dan tunjangan, tentara kavaleri, hak memungut pajak, dan tahta turun-temurun. Tanah yang diberikan kepadanya meliputi sebuah kemantren di dalam kota Jogja (sekarang menjadi wilayah kecamatan Pakualaman) dan daerah Karang Kemuning (yang selanjutnya disebut Kabupaten Adikarto) yang terletak di bagian selatan Kabupaten Kulon Progo.

Kemudian setelah memerintah selama 16 tahun, tepatnya pada tahun 1829, Paku Alam I wafat dan dimakamkan di Kotagede. Tahtanya kemudian digantikan oleh putranya RT Notodiningrat (Pangeran Suryadiningrat), dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Suryadiningrat pada 18 Desember 1829. Kemudian setelah menandatangani Politiek Contract dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda, ia dikukuhkan menjadi Kanjeng Gusti Pangeran Adipati (KGPA) Paku Alam II.
Demikian sejarah lengkap mengenai berdirinya Kadipaten Pakualaman. Semoga bermanfaat detikers!

Artikel ini ditulis oleh Talita Leilani Putri peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.




(dil/rih)

Hide Ads