Menengok Taru Martani Pabrik Cerutu di Jogja, Konon Tertua se-Asia Tenggara

Menengok Taru Martani Pabrik Cerutu di Jogja, Konon Tertua se-Asia Tenggara

Mahendra Lavidavayastama dan Galardialga Kustanto - detikJogja
Jumat, 01 Des 2023 11:37 WIB
Pabrik cerutu Taru Martani 1918. Foto diambil Kamis (30/11/2023).
Pabrik cerutu Taru Martani 1918. konon disebut tertua se-Asia Tenggara (Foto: Mahendra Lavidavayastama/detikJogja)
Jogja -

Taru Martani merupakan pabrik cerutu yang berada di Jogja dan telah beroperasi sejak tahun 1918 dan disebut pabrik tertua se-Asia Tenggara. Pabrik ini mulanya berada di Jalan Magelang dan dimiliki oleh warga berkebangsaan Belanda.

Pantauan detikJogja, Kamis (30/11/2023), ada beberapa ruangan di pabrik cerutu tertua yang beralamat di Jl Komol Bambang Suprapto, Gondokusuman, Jogja ini. Ruangan pertama berisi beberapa lukisan dan foto mulai dari pendiri pabrik yakni Adolphe Antoine Louis Marie Mignot. Ada juga sederet foto kunjungan tamu ke Taru Martani, di antaranya ada potret pejuang revolusi Kuba Ernesto 'Che' Guevara dan beberapa tokoh Indonesia.

Di area pabrik itu juga terlihat aktivitas pegawai yang sedang menjemur daun tembakau di bagian belakang pabrik dan proses pemisahan daun tembakau dari tulang daunnya. Lalu juga terlihat para perempuan yang sibuk melinting cerutu dengan alat linting manual.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Aroma tembakau menyeruak pekat di ruangan besar tersebut. Di ruangan lainnya, tampak beberapa cerutu yang sudah dikemas dan siap diedarkan.

ADVERTISEMENT

Diinisiasi Warga Belanda Keturunan Prancis

Kepala Divisi Produksi Taru Martani 1918, Adam Santosa menjelaskan jika perusahaan ini mulanya berada di Jalan Magelang, Jogja, pada tahun 1918. Perusahaan ini dulunya dimiliki oleh seseorang berkebangsaan Belanda keturunan Perancis.

"Jadi berdirinya (Taru Martani) tahun 1918 dulu dimiliki oleh pribadi bukan company. Awalnya di Jalan Magelang itu, pemiliknya bernama Adolphe Antoine Louis Marie Mignot, dia berkebangsaan Belanda tapi punya keturunan Perancis juga," kata Adam saat ditemui di Taru Martani, pada Kamis (30/11/2023).

Seiring berkembangnya waktu, pabrik cerutu ini mengalami perkembangan yang pesat dan Adolphe memutuskan untuk membeli tanah di daerah Baciro yang menjadi lokasi saat ini. Di kawasan Baciro inilah, Adolphe memutuskan untuk mendirikan perusahaan yang lebih besar pada 1921 dan diberi nama N.V. Negresco.

"Kemudian 1921 (pabrik) dipindahkan, dia (Adolphe) merasa bahwa perlu mendirikan perusahaan yang cukup besar maka dia beli tanah di daerah sini, Baciro dari dulu tanah itu seluas ini. Karena usahanya berkembang dengan baik, waktu itu (nama) perusahaan N.V. Negresco waktu itu," jelasnya.

Namun, pada masa penjajahan Jepang pada 1942 perusahaan ini diambil alih. N.V. Negresco ini pun berganti nama menjadi Jawa Tobacco Kojo.

"Ketika Jepang menduduki Indonesia saat itu tahun 1942, maka otomatis perusahaan ini direbut oleh Jepang kemudian diganti lah namanya menjadi Jawa Tobacco Kojo. (Mereka) Kemudian mengeluarkan produk-produk, kalau dulu ada namanya merek Panther dan lain sebagainya, oleh Jepang produknya diubah namanya menjadi ada Mizuho, Momo Taro, Koa," ujar Adam.

Pabrik cerutu Taru Martani 1918. Foto diambil Kamis (30/11/2023).Aktivitas pelintingan cerutu di Taru Martani 1918. Foto diambil Kamis (30/11/2023). Foto: Mahendra Lavidavayastama/detikJogja

Berganti Jadi Taru Martani di Masa Sultan HB IX

Peristiwa bom atom di Nagasaki dan Hiroshima membuat semua perusahaan yang di bawah kendali Jepang saat itu tidak bertahan lama. Pada 1945, pabrik ini diambil alih oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan diberi nama Taru Martani.

"Perusahaan ini dinamakan Taru Martani yang filosofi dari itu adalah Taru (artinya) daun, Martani (artinya) yang memberi kehidupan. Jadi dimaksudkan bahwa perusahaan yang mengolah daun tembakau ini diharapkan bisa memberikan kehidupan kepada pekerja maupun masyarakat di sekitar DIY tahun 1946," jelas Adam.

Meskipun sudah bertahan selama satu abad lebih, nyatanya perjalanan pabrik Taru Martani tidak selalu berjalan mulus. Pada 1961, pemerintah Indonesia melalui Bank Industri Negara menghidupkan kembali pabrik cerutu ini dengan melakukan kerja sama.

Namun, upaya tersebut kurang membuahkan hasil. Akhirnya, Taru Martani di bawah kepemilikan Sri Sultan Hamengku Buwono IX melakukan kerja sama dengan perusahaan Belanda yaitu Douwe Egberts. Semenjak saat itu, mulai ada peningkatan penjualan yang pesat, bahkan karyawan pada saat itu mencapai 1.000 orang.

Masa Kejayaan Taru Martani di 1997

Setahun setelahnya, pada 1986, Belanda melepaskan usaha tersebut dan menghibahkan semua peralatan pabrik kepada Pemerintah Provinsi DIY. Puncak kejayaan cerutu Taru Martani terjadi pada 1997.

"Saya pertama masuk tahun 1997 itu pas gemilangnya, saat itu cerutunya lho sangat gemilang. Dulu di tahun 1997 satu bulan hanya Amerika saja itu 1,2 juta batang per bulannya," kenang Adam.

Namun, saat ini terjadi penurunan penjualan cerutu baik dalam negeri maupun luar negeri. Hal tersebut karena adanya aturan dari WHO yang menerapkan pembatasan merokok.

"Kalau sekarang penjualan kita satu tahun kurang lebih 1,4 juta batang. Itu diakibatkan karena memang peraturan dari WHO yang semakin ketat untuk mengatur kepada semua negara di seluruh dunia untuk melakukan pembatasan merokok, lebih-lebih di Amerika ternyata kampanye antirokok sangat kuat akhirnya turun-turun sampai tinggal 500 ribu turun-turun terus lama-lama tinggal 100 ribu turun lagi itu," keluh Adam.

Di sisi lain, faktor cuaca juga mempengaruhi kualitas cerutu Taru Martani. Hal ini juga berdampak pada komplain pelanggan.

"Cerutu dan tembakau sak kalau kita kirim sangat memiliki risiko. Kalau lewat laut ya perjalanan 2-3 bulan kalau cuacanya kurang bagus keluar jamurnya karena masuk geladak kapal. Jadi akhirnya mereka komplain," cerita pria asli Jawa Barat tersebut.

Perjalanan Taru Martani Jadi PT

Saat ini Taru Martani ini telah menjadi perusahaan milik Pemda Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun, kepemilikan saham dipegang oleh dua pihak yaitu Koperasi Bhakti Martani dan saham terbesarnya dimiliki Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sejak 2013, Taru Martani sudah berbentuk Perseroan Terbatas atau PT. Adam menjelaskan kepentingan perubahan bentuk badan hukum dari perusahaan daerah menjadi PT dengan tujuan agar perusahaan lebih fleksibel. Hal ini juga akan mempermudah urusan terkait kerja sama dengan perusahaan lain.

"Kepentingan perubahan bentuk badan hukum dari perusahaan daerah menjadi PT itu karena PT lebih luwes dalam usahanya. Kalau kita masih perusahaan daerah otomatis single handlenya dari otoritasnya kan Pemda," ucapnya.

"Jadi ketika kita melakukan kerja sama dengan pihak luar maka izinnya kepada Pak Gubernur. Nah kita izin bulan Februari nanti keluar izinnya bulan September misalnya. Partner yang mau diajak kerja sama sudah pergi, kan gitu, jadi kan terkendala," bebernya.

Artikel ini ditulis oleh Mahendra Lavidavayastama dan Galardialga Kustanto Peserta program magang bersertifikat kampus merdeka di detikcom.

Halaman 2 dari 2
(ams/sip)

Hide Ads