Sosok Sartono dan Maramis: Berperan dalam Proses Bergabungnya Jogja dengan NKRI

Sosok Sartono dan Maramis: Berperan dalam Proses Bergabungnya Jogja dengan NKRI

Ulvia Nur Azizah - detikJogja
Jumat, 05 Sep 2025 14:15 WIB
Tugu Pal Putih Jogja.
Ilustrasi Jogja. Foto: dok. detikcom
Jogja -

Sejarah bergabungnya Jogja dengan NKRI tidak lepas dari dinamika awal kemerdekaan. Pada masa itu, kabar Proklamasi 17 Agustus 1945 akhirnya sampai ke Jogja dan menumbuhkan semangat rakyat. Di tengah kisah besar ini, tercatat pula nama sosok Sartono dan Maramis yang hadir dalam sejarah, meski sering kali luput dari perhatian.

Kala itu, dukungan terhadap republik datang dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan KGPAA Paku Alam VIII. Melalui telegram pada 18 Agustus 1945 dan kemudian Amanat 5 September 1945, keduanya menegaskan bahwa Jogja dan Pakualaman resmi berdiri di belakang Republik Indonesia. Sikap ini dianggap berani, terutama karena banyak penguasa daerah lain masih ragu atau memilih berpihak kepada Belanda.

Keputusan penting tersebut menandai babak baru hubungan Jogja dengan Republik. Namun, di balik peristiwa bersejarah itu, tersimpan kisah menarik tentang kehadiran Sartono dan Maramis. Siapa sebenarnya kedua tokoh ini dan mengapa nama mereka tercatat dalam proses penting tersebut?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mengenal Sosok Sartono dan Maramis

Penasaran seperti apakah sosok Sartono dan Maramis itu? Mari simak ulasan singkat mengenai profil keduanya!

ADVERTISEMENT

1. Sartono

Menurut penjelasan dalam buku 10 Orang Indonesia Terbesar Sekarang oleh Tamar Djaja dan artikel In Memoriam: R. M. Sartono tulisan Daniel S Lev, Mr Sartono lahir di Wonogiri pada 5 Agustus 1900. Ia adalah tokoh nasionalis kiri yang kalibernya sejajar dengan Soekarno dan Hatta.

Bukan orator ulung seperti Soekarno, kekuatan Sartono justru ada pada keuletan dan kecakapannya dalam menata organisasi politik. Setelah lulus sekolah hukum di Jakarta pada 1922, ia melanjutkan studi ke Universitas Leiden hingga tamat pada 1926 dan aktif di Perhimpunan Indonesia bersama Mohammad Hatta.

Sekembalinya ke tanah air, Sartono langsung terjun dalam pergerakan nasional. Pada 1927 ia ikut mendirikan Partai Nasional Indonesia bersama Soekarno dan menjadi wakil ketua. Ketika pimpinan PNI ditangkap, ia mengambil langkah taktis dengan membubarkan partai lalu membentuk Partindo yang mendorong gerakan Swadeshi atau penggunaan produk dalam negeri. Setelah Partindo juga ditekan, ia ikut mendirikan Gerindo pada 1937 yang menandai perubahan strategi dari non-kooperasi menjadi kooperasi.

Setelah kemerdekaan, Sartono diangkat menjadi Menteri Negara dalam kabinet pertama Republik Indonesia. Kariernya kemudian mencapai puncak saat ia menjabat sebagai Ketua Parlemen, baik pada masa Republik Indonesia Serikat maupun setelah kembali ke bentuk Negara Kesatuan. Sebagai seorang yang sangat percaya pada sistem parlementer, ia dikenal tenang dan cakap memimpin sidang.

Namun, masa jaya itu meredup ketika Presiden Soekarno membubarkan Parlemen pada 1960. Sartono kecewa dan menarik diri dari politik, meski akhirnya ia sempat menjadi Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung. Setelah peristiwa G30S PKI, ia mencoba menyatukan kembali PNI agar bisa berperan di era Orde Baru, tetapi gagal. Mr Sartono wafat pada Oktober 1968. Ia pun dikenang sebagai organisator yang jujur, berintegritas, dan teguh pada keyakinan akan supremasi hukum.

2. AA Maramis

Dirangkum dari buku Pejambon 1945 tulisan Osa Kurniawan Ilham, Menegosiasi Ulang Indonesia oleh Abdul Gaffar Karim, dan laman resmi Kementerian Keuangan, Mr Alexander Andries Maramis lahir di Manado, Sulawesi Utara, pada 20 Juni 1897 dari keluarga berada sub-etnik Tonsea. Ia masih berkerabat dengan Pahlawan Nasional Maria Walanda Maramis.

Sejak kecil, ia sudah menempuh pendidikan yang baik, mulai dari Europeesche Lagere School di Manado, lalu Hogere Burgerschool di Batavia. Akhirnya, AA Maramis meraih gelar Meester in de Rechten di Universitas Leiden, Belanda, tahun 1924.

Setelah kembali ke tanah air, Maramis bekerja sebagai pengacara dan kemudian terjun ke dunia politik. Ia aktif di Perhimpunan Indonesia saat di Belanda, lalu dipercaya menjadi anggota BPUPKI pada 1945. Dalam badan itu, ia masuk Panitia Sembilan yang merumuskan Piagam Jakarta, cikal bakal Pancasila. Perannya dalam proses ini membuat namanya dikenang sebagai salah satu tokoh penting perumus dasar negara.

Karier politiknya berlanjut setelah proklamasi. Maramis dipercaya menjadi menteri dalam beberapa kabinet, termasuk Menteri Keuangan yang menandatangani Oeang Republik Indonesia (ORI) sebagai bukti kedaulatan negara. Ia juga sempat menjabat sebagai Menteri Luar Negeri dalam masa Pemerintah Darurat RI, serta mewakili Indonesia sebagai duta besar di beberapa negara.

Maramis wafat pada 31 Juli 1977 di Jakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Atas jasa-jasanya, pada 8 November 2019 Presiden Joko Widodo menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Mr AA Maramis.

Peran Sartono dan Maramis dalam Proses Bergabungnya Jogja dengan NKRI

Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Jogja segera menunjukkan dukungan terhadap Republik. Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan KGPAA Paku Alam VIII mengeluarkan Amanat 5 September 1945 yang menegaskan bahwa Jogja dan Pakualaman menjadi bagian dari Republik Indonesia dengan kedudukan sebagai Daerah Istimewa. Keputusan ini memperkuat posisi negara yang baru berdiri.

Sebagai tindak lanjut, Presiden Soekarno mengutus dua Menteri Negara, yaitu Mr. Sartono dan Mr. A.A. Maramis, untuk datang ke Jogja pada 6 September 1945. Mereka membawa Piagam Penetapan yang telah ditandatangani Presiden sebagai bentuk pengakuan resmi pemerintah pusat kepada Sultan dan Paku Alam. Kehadiran keduanya menjadi simbol penting bahwa keputusan politik Jogja mendapat legitimasi dari Jakarta.

Peran Mr. Sartono dan Mr. A.A. Maramis tidak sekadar menyampaikan piagam, tetapi juga memastikan jembatan komunikasi antara pemerintah pusat dan Jogja berjalan baik. Misi diplomatis ini menegaskan bahwa integrasi Jogja ke dalam NKRI bukan hanya keputusan lokal, melainkan bagian dari strategi nasional dalam memperkuat persatuan Indonesia.

Langkah tersebut sekaligus menandai awal hubungan erat antara pemerintah pusat dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dengan penghubung seperti Sartono dan Maramis, keputusan bersejarah itu tidak hanya tercatat sebagai sikap politik para pemimpin Jogja, tetapi juga sebagai kesepahaman nasional yang memberi dasar kuat bagi kelangsungan Republik Indonesia.

Jadi, itulah tadi penjelasan lengkap mengenai sosok Sartono dan Maramis yang berperan di proses bergabungnya Jogja dengan NKRI. Semoga bermanfaat!




(par/par)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads