Tanggal 5 September adalah tanggal bersejarah bagi Jogja. Tepat 80 tahun lalu di tanggal ini, Keraton Jogja resmi bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk mengetahui lebih lengkap mengenai sejarahnya, mari kita simak kilas balik 5 September 1945.
Keputusan ini bukanlah peristiwa biasa. Di tengah situasi negara yang baru saja merdeka dan masih rapuh, dukungan dari Kasultanan Jogja yang dipimpin oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX menjadi penopang yang sangat krusial. Deklarasi ini menjadi tonggak penting yang memperkuat kedaulatan Republik Indonesia di mata dunia.
Sudah penasaran dengan sejarah 5 September 1945 ketika Jogja bergabung dengan NKRI, detikers? Yuk, simak penjelasan lengkap berikut ini yang dihimpun dari buku KGPAA Paku Alam VIII tulisan Baha Uddin dkk serta Sejarah Indonesia dari Proklamasi sampai Pemilu 2009 tulisan A Kardiyat Wiharyanto.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Keraton Jogja Mendukung Kemerdekaan Indonesia
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 di Jakarta, berita tentang peristiwa besar itu segera menyebar ke Jogja. Meskipun awalnya pihak Jepang berusaha menghalangi, kabar proklamasi akhirnya sampai ke masyarakat melalui khotbah Jumat di masjid-masjid, di antaranya Masjid Gede Kauman dan Masjid Pura Pakualaman. Ki Hadjar Dewantara dan murid-murid Taman Siswa juga berkeliling kota dengan sepeda untuk mengabarkan bahwa bangsa Indonesia telah merdeka.
Namun pada saat itu banyak rakyat masih ragu karena pasukan Jepang masih berkuasa. Keraguan itu pelan-pelan sirna setelah surat kabar Sinar Matahari terbit pada 19 Agustus 1945 yang memuat berita Proklamasi dan UUD 1945. Pada waktu bersamaan, Sri Sultan Hamengkubuwono IX bersama KGPAA Paku Alam VIII melakukan musyawarah untuk menentukan sikap politik Jogja.
Hanya sehari setelah proklamasi, tepatnya 18 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan KGPAA Paku Alam VIII sepakat untuk memberikan dukungan penuh kepada Republik Indonesia. Dukungan itu disampaikan melalui telegram resmi kepada Soekarno, Hatta, dan tokoh lain, yang menegaskan bahwa Jogja berdiri di belakang kepemimpinan republik yang baru lahir. Keputusan ini dianggap sangat berani, mengingat banyak raja daerah lain memilih mendukung Belanda yang sudah lebih mapan secara politik.
Langkah tegas Sultan dan Paku Alam memperlihatkan keberanian sekaligus visi jauh ke depan. Tidak hanya secara pribadi, keduanya juga mengajak seluruh rakyat Jogja untuk bersatu mempertahankan kemerdekaan. Sikap ini menjadi fondasi penting sebelum akhirnya pada 5 September 1945, Jogja secara resmi menyatakan diri bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kilas Balik 5 September 1945: Bergabungnya Jogja dengan NKRI
Berikut ini adalah kilas balik peristiwa 5 September 1945 ketika Jogja secara resmi bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
1. Prakarsa Awal dan Dukungan Rakyat
Menyusul Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, semangat untuk menjadi bagian dari negara yang baru lahir ini bergelora di berbagai daerah, tidak terkecuali di Jogja. Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan KGPAA Paku Alam VIII, sebagai pemimpin Kasultanan Jogja dan Kadipaten Pakualaman, telah menunjukkan dukungan pribadi mereka melalui telegram yang dikirimkan kepada Sukarno dan Hatta pada 18 Agustus 1945. Namun, dukungan ini perlu dilembagakan secara lebih formal dan melibatkan partisipasi rakyat secara luas.
Sebagai tindak lanjut, pada 24 Agustus 1945, dengan dukungan penuh dari kedua pemimpin tersebut, rakyat membentuk Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID). Pembentukan ini terjadi hanya dua hari setelah Presiden Sukarno mengeluarkan maklumat tentang pendirian Komite Nasional Indonesia (KNI) di tingkat pusat. Anggota KNID berasal dari berbagai lapisan masyarakat, menjadikannya sebuah badan perwakilan rakyat yang diakui secara sah oleh Sri Sultan dan Paku Alam.
Setelah KNID terbentuk, Sri Sultan Hamengku Buwono IX melakukan serangkaian diskusi intensif dengan KGPAA Paku Alam VIII, Ki Hadjar Dewantara, dan tokoh-tokoh penting lainnya. Dari pembicaraan tersebut, disimpulkan bahwa rakyat Jogja menyambut kemerdekaan dengan antusiasme yang luar biasa. Atas dasar kenyataan ini, serta desakan dari rakyat dan persetujuan KNID, kedua pemimpin memutuskan untuk mengeluarkan sebuah maklumat bersejarah yang dikenal sebagai Amanat 5 September 1945.
2. Amanat 5 September 1945
Amanat 5 September 1945 yang dikeluarkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan KGPAA Paku Alam VIII pada dasarnya memuat tiga pokok pikiran yang sangat fundamental. Pertama, Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman dinyatakan sebagai Daerah Istimewa yang menjadi bagian tak terpisahkan dari Republik Indonesia. Ini adalah pernyataan tegas yang mengubah status kedua wilayah dari daerah swapraja di bawah Hindia Belanda menjadi bagian integral dari negara baru.
Kedua, amanat tersebut menegaskan bahwa segala kekuasaan dalam negeri dan urusan pemerintahan berada di tangan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan KGPAA Paku Alam VIII. Poin ini menunjukkan bahwa meskipun bergabung dengan RI, struktur pemerintahan lokal tetap dipertahankan di bawah kepemimpinan penguasa tradisional.
Ketiga, hubungan antara Jogja dengan Pemerintah Pusat RI bersifat langsung, di mana Sri Sultan dan Paku Alam bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI. Hal ini membangun sebuah relasi unik dan langsung antara pusat dan daerah.
Amanat ini memiliki cakupan yang jauh lebih luas daripada telegram sebelumnya. Jika telegram dukungan bersifat pribadi, amanat ini diumumkan atas nama segenap rakyat Jogja. Ini merupakan sebuah pilihan politik sadar yang diambil oleh para pemimpin Jogja, bukan sebuah status yang diberikan oleh pemerintah pusat. Keputusan ini juga mencerminkan filosofi Jawa jumbuhing kawula lan gusti, yaitu bersatunya pemimpin dengan rakyatnya dalam satu kehendak.
3. Respons Pemerintah Pusat dan Peneguhan Status Istimewa
Pemerintah RI di Jakarta menyambut positif Amanat 5 September 1945. Sebagai bentuk pengakuan dan penghargaan, keesokan harinya, pada 6 September 1945, Presiden Soekarno mengutus dua Menteri Negara, Mr Sartono dan Mr AA Maramis, ke Jogja. Mereka datang untuk menyerahkan Piagam Penetapan Kedudukan yang telah ditandatangani oleh Presiden Soekarno pada tanggal 19 Agustus 1945.
Piagam untuk Sri Sultan Hamengku Buwono IX berbunyi:
"Kami, Presiden Republik Indonesia, menetapkan: Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono, Senopati Ing Ngalogo, Abdurrahman Sayidin Panotogomo, Kalifatullah Ingkang Kaping IX Ing NgaJogja Hadiningrat, pada kedudukannya. Dengan kepercayaan bahwa Sri Paduka Kanjeng Sultan akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa dan raga, untuk keselamatan Daerah Jogja sebagai bagian daripada Republik Indonesia."
Sementara itu, piagam untuk KGPAA Paku Alam VIII menyatakan:
"Kami, Presiden Republik Indonesia, menetapkan: Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario KGPAA Paku Alam VIII Ingkang Kaping VIII, pada kedudukannya. Dengan kepercayaan bahwa Sri Paduka Kanjeng Gusti akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa dan raga, untuk keselamatan Daerah Pakualaman sebagai bagian daripada Republik Indonesia."
Kedua piagam ini secara resmi mengukuhkan posisi Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan KGPAA Paku Alam VIII sebagai penguasa Dwitunggal di Daerah Istimewa. Atas kesadaran demokrasi dan untuk menghilangkan dualisme pemerintahan, kedua pemimpin kemudian mengeluarkan amanat bersama pada 30 Oktober 1945 yang menyatukan kedua daerah dalam satu Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dengan adanya amanat dari Jogja dan piagam dari pusat, status hukum Jogja berubah secara fundamental dari zelfbesturende landschappen (daerah swapraja) menjadi Daerah Istimewa sesuai amanat Pasal 18 UUD 1945.
Jogja Menjadi Ibu Kota NKRI
Setelah Jogja resmi bergabung dengan NKRI pada 5 September 1945, dukungan itu segera diwujudkan dalam tindakan nyata. Keraton bersama rakyatnya berdiri di belakang republik yang baru lahir. Dalam situasi penuh ketidakpastian, keberanian Jogja memberi arti besar bagi kelangsungan Indonesia yang baru merdeka.
Beberapa bulan kemudian, kondisi Jakarta semakin kacau. Pasukan Sekutu mulai mendarat, tentara Jepang belum sepenuhnya pergi, dan konflik politik di ibu kota kian menajam. Bahkan ancaman terhadap keselamatan para pemimpin republik membuat jalannya pemerintahan tidak lagi lancar. Dalam keadaan itu, Sri Sultan Hamengku Buwono IX menawarkan Jogja sebagai tempat yang lebih aman untuk pusat pemerintahan.
Pada 4 Januari 1946, ibu kota pun resmi dipindahkan ke Jogja. Selama hampir empat tahun kota ini menjadi pusat politik dan perjuangan, sekaligus saksi lahirnya peristiwa penting seperti Serangan Umum 1 Maret 1949 dan pendirian Universitas Gadjah Mada. Baru setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949, ibu kota kembali ke Jakarta.
Demikian tadi penjelasan lengkap mengenai bergabungnya Jogja dengan NKRI pada 5 September 1945. Semoga bermanfaat!
(par/dil)
Komentar Terbanyak
Mahasiswa Amikom Jogja Meninggal dengan Tubuh Penuh Luka
Mahfud Sentil Pemerintah: Ngurus Negara Tak Seperti Ngurus Warung Kopi
UGM Sampaikan Seruan Moral: Hentikan Anarkisme dan Kekerasan