Biografi YB Mangunwijaya 'Romo Mangun' dan Perjuangan Kemanusiaannya

Biografi YB Mangunwijaya 'Romo Mangun' dan Perjuangan Kemanusiaannya

Ulvia Nur Azizah - detikJogja
Minggu, 20 Jul 2025 18:15 WIB
Kampung Kali Code di Yogyakarta yang artistik
Kampung Kali Code yang sempat jadi tempat tinggal Romo Mangun. Foto: Bagus Kurniawan
Jogja -

Biografi YB Mangunwijaya tak hanya mencatat perjalanan seorang rohaniwan Katolik, tetapi juga menggambarkan kiprah seorang budayawan, arsitek, dan pembela kaum kecil. Sosok yang akrab disapa Romo Mangun ini dikenal luas karena komitmennya terhadap kemanusiaan dan pendidikan.

Semasa hidupnya, Romo Mangun hadir di altar serta turun langsung ke tengah masyarakat. Ia tinggal bersama warga miskin, memperjuangkan ruang hidup mereka, dan mendirikan sekolah yang mengedepankan nilai keadilan sosial.

Pada kesempatan ini, detikJogja menyajikan sebuah biografi YB Mangunwijaya yang ditulis berdasarkan tulisan M Arief Hakim dalam buku YB Mangun Wijaya: Rohaniawan Pembela Kaum Tertindas, Keutamaan dalam Karya-karya Kemanusiaan YB Mangunwijaya tulisan CB Mulyanyo, artikel Memahami Ruang YB Mangunwijaya karya Yenny Gunawan, serta Pedagogi Ajrih Asih Sebuah Pemikiran Indigenous dalam Pengembangan Diri Siswa Siswi SD Mangunan oleh Budi Sarwono. Mari kita simak!

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kehidupan Awal YB Mangunwijaya

Yusuf Bilyarta Mangunwijaya yang lebih dikenal sebagai YB Mangunwijaya atau Romo Mangun lahir pada 6 Mei 1929 di Ambarawa, Jawa Tengah. Ia merupakan sulung dari 12 bersaudara dalam keluarga guru. Ayahnya, Yulianus Sumadi Mangunwijaya, adalah seorang guru sekolah dasar. Sementara ibunya, Serafin Kamdaniyah, juga berasal dari latar belakang pendidikan.

'Bilyarta' merupakan nama kecilnya, sedangkan 'Yusuf' adalah nama baptis. Sementara itu, 'Mangunwijaya' diambil dari nama kakeknya, seorang petani tembakau yang hidup sederhana.

ADVERTISEMENT

Sejak muda, Mangunwijaya menunjukkan ketertarikan pada banyak bidang. Ia dikenal sebagai sosok yang kelak akan menyandang beragam peran, mulai dari rohaniawan, sastrawan, arsitek, budayawan, kolumnis, hingga aktivis sosial. Lebih dari itu, ia dikenal sebagai pekerja kemanusiaan yang tulus.

Pendidikan formalnya dimulai di HIS Fransiscus Xaverius Muntilan pada 1936 hingga 1943. Ia lalu melanjutkan ke STM Jetis Jogja dan kemudian ke SMU Santo Albertus Malang. Setelahnya, ia memutuskan masuk seminari di Seminari Menengah Kotabaru dan kemudian di Seminari Santo Petrus Kanisius Mertoyudan. Pendidikan ini menjadi fondasi penting dalam perjalanan spiritual dan intelektualnya di kemudian hari.

Namun hidup Mangunwijaya tidak hanya berkutat di dunia belajar. Saat masa kemerdekaan bergolak, ia ikut dalam berbagai gerakan perjuangan. Ia pernah tergabung dalam aksi-aksi bawah tanah, seperti pencurian mobil tentara Jepang, dan aktif sebagai prajurit Tentara Keamanan Rakyat (TKR).

Ia bahkan terjun langsung dalam berbagai pertempuran di Ambarawa, Magelang, dan Mranggen. Pada masa Agresi Militer Belanda I, ia menjabat sebagai komandan dalam Kompi Kedu Tentara Pelajar. Selain itu, ia juga pernah menjadi sopir Panglima Perang Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan ikut memeriksa pasukan.

Pengalaman sebagai tentara muda membentuk kesadaran sosialnya sejak dini. Ia menyaksikan langsung bagaimana rakyat kecil menjadi korban dari pergolakan politik dan militer. Bagi Mangunwijaya, masa perjuangan bukan hanya soal keberanian, tetapi juga tragedi. Ia menyadari bahwa mereka yang paling banyak berkorban justru jarang tercatat dalam sejarah resmi. Pandangan inilah yang kelak menjadi napas utama dalam karya-karya dan perjuangannya sebagai pembela mereka yang sering disingkirkan.

YB Mangunwijaya sebagai Sastrawan

Bakat sastra YB Mangunwijaya mulai terlihat sejak ia menjalani pendidikan sebagai calon imam di Seminari Kotabaru. Dalam masa pendidikan itu, ia sudah aktif menulis dan menyutradarai drama. Salah satu yang paling dikenang adalah naskah berjudul Tikus Wirok yang dipentaskan bersama para calon pastor. Sejak awal, tulisan-tulisan Mangunwijaya sudah mengangkat isu-isu sosial yang dekat dengan kehidupan masyarakat bawah.

Perjalanan kesusastraannya terus berkembang. Pada 1975, cerpennya berhasil meraih penghargaan dalam sayembara Cerpen Kincir Emas dari Radio Nederland Program Bahasa Indonesia. Tiga tahun kemudian, ia menulis cerpen Kopral Tohir, disusul buku Ragawidya yang berisi renungan fenomenologis dan religius tentang kehidupan sehari-hari. Buku ini diterbitkan oleh Kanisius dan sempat dicetak ulang hingga empat kali pada 1992.

Selama dekade 1980-1990-an, Mangunwijaya semakin produktif menulis karya sastra. Ia menghasilkan sejumlah novel penting yang kini dianggap sebagai karya sastra modern Indonesia yang khas dan berkarakter. Beberapa di antaranya adalah:

  • Romo Rohadi (1981)
  • Burung-Burung Manyar (1981)
  • Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa (1983)
  • Balada Becak (1985)
  • Roro Mendut (1987)
  • Genduk Duku (1987)
  • Lusi Lindri (1987)
  • Burung-burung Rantau (1992)
  • Balada Dara-dara Mendut (1993)
  • Durga Umayi (1994)
  • Rumah Bambu (1999)
  • Pohon-pohon Sesawi (1999).

Salah satu karya paling berpengaruh, Burung-Burung Manyar, bahkan mendapat pengakuan internasional dan dianugerahi Southeast Asian Writers Award (SEA Write Award). Novel ini tidak hanya dikenal karena kualitas sastranya, tetapi juga karena daya reflektif dan kemanusiaannya yang kuat.

Bagi Mangunwijaya, menulis bukan sekadar kegiatan intelektual, tetapi merupakan bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan dan upaya membela martabat manusia. Sastra baginya adalah jalan spiritual yang selaras dengan keyakinannya, bahwa hidup adalah panggilan ilahi untuk membangun persaudaraan dan merawat kehidupan bersama, termasuk dengan alam. Ia memandang karya sastra sebagai wahana untuk memperjuangkan nilai-nilai universal seperti kasih, kesetaraan, dan solidaritas.

Di dalam karyanya terdapat misi sosial dan spiritual yang mendalam. Romo Mangun percaya bahwa sastra dan religiositas tidak bisa dipisahkan. Keduanya berakar pada pengalaman hidup yang dijalani dalam relasi yang utuh dengan sesama, Tuhan, dan semesta.

Sosok Romo Mangun sebagai Imam Katolik

Keputusan YB Mangunwijaya untuk menjadi imam Katolik lahir dari dorongan nurani. Pidato Mayor Mas Isman pada 1950 di Malang yang menyanjung pengorbanan rakyat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia menjadi titik balik kesadaran YB Mangun. Ia merasa perlu membalas kebaikan rakyat dengan mengabdi penuh sebagai pelayan umat.

Setelah menjalani pendidikan di seminari, ia ditahbiskan menjadi imam oleh Mgr Albertus Soegijapranata pada 8 September 1959. Menariknya, alih-alih ditugaskan di paroki seperti kebanyakan imam, ia justru diarahkan untuk studi arsitektur di ITB dan kemudian di Jerman. Bagi Romo Mangun, arsitektur adalah jalan untuk melayani lebih luas terutama bagi mereka yang miskin, terpinggirkan, dan tak bersuara.

Sekembalinya ke Indonesia, ia melayani umat di Paroki Salam dan Jetis, Jogja. Saat melihat kondisi kumuh di bantaran Kali Code, hatinya tergugah. Ia lalu meminta izin kepada uskup untuk tinggal di sana. Dari 1980 hingga 1986, ia hidup bersama masyarakat miskin di lembah tersebut. Ketika pemerintah berencana menggusur kawasan itu, Romo Mangun dengan tegas menolak. Ia bahkan sempat mogok makan sebagai bentuk protes.

Perjuangannya berhasil. Rencana penggusuran dibatalkan dan Romo Mangun mengajak warga menata kampung secara gotong royong. Ia menggambar desain rumah sederhana, memadukan nilai lokal dan kebutuhan dasar. Kampung Code pun berubah menjadi lingkungan yang bersih, manusiawi, dan penuh warna. Upayanya ini mendapat apresiasi internasional lewat Agha Khan Award pada 1992.

YB Mangunwijaya Sang Bapak Arsitektur Modern Indonesia

YB Mangunwijaya dikenal luas sebagai sastrawan, rohaniwan, dan arsitek. Dalam dunia arsitektur, ia menempati posisi yang istimewa karena berhasil menyatukan nilai-nilai budaya, kemanusiaan, dan spiritualitas ke dalam rancangannya. Bakat tekniknya sudah tampak sejak kecil, saat ia senang merancang rumah dari pasir dan tanah. Meski sempat meninggalkan dunia teknik demi menempuh pendidikan imam, ketertarikannya tak benar-benar padam.

Setelah ditahbiskan sebagai imam pada 1959 oleh Mgr Soegijapranata, ia justru kembali diberi kesempatan untuk mendalami arsitektur di ITB, lalu melanjutkan ke Aachen, Jerman. Di sana, ia tidak hanya belajar, tetapi juga mengalami hidup sederhana, jauh dari kenyamanan, agar bisa bertahan sambil tetap mengejar ilmu. Pendidikan di Jerman membentuk visinya tentang arsitektur yang kontekstual dan berpihak pada masyarakat.

Karya-karya arsitektur YB Mangunwijaya tidak mengejar kemegahan visual, melainkan makna ruang dan kebermanfaatan sosial. Ia tidak sekadar meniru bentuk arsitektur tradisional, tetapi mentranslasikannya agar tetap relevan dengan perkembangan zaman. Ia memadukan tektonika, material lokal, dan fungsi ruang secara kreatif tanpa kehilangan roh budaya setempat. Baginya, arsitektur Jawa tidak sebatas bentuk bangunan, melainkan soal pemahaman ruang dan cara manusia hidup di dalamnya.

Visi arsitekturalnya terlihat jelas dalam proyek-proyek seperti Sendangsono, rumah-rumah di Lembah Code, Gereja Jetis, dan Gedung Bentara Budaya. Karyanya untuk masyarakat miskin di bantaran Kali Code bahkan memperoleh penghargaan internasional Agha Khan Award pada 1992. Semua itu mencerminkan semangat solidaritas, keberpihakan kepada yang tertindas, dan penghargaan terhadap budaya lokal.

Melalui buku Wastu Citra, ia menuangkan pandangannya bahwa arsitektur adalah bentuk perjuangan nilai, mewujudkan kebaikan, keindahan, dan kebenaran dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pandangannya, membangun adalah soal bagaimana ruang bisa menghadirkan martabat bagi manusia, terutama mereka yang tersisih oleh pembangunan.

Sebagai arsitek, YB Mangunwijaya tidak hanya menghasilkan bentuk bangunan tetapi juga menyampaikan pesan. Arsitek baginya harus siap menyerahkan sebagian keahliannya demi menciptakan karya yang berpihak pada rakyat. Hingga kini, ia tetap dikenang sebagai tokoh penting dalam arsitektur modern Indonesia, seorang rohaniwan yang memilih membangun bukan hanya bangunan, tetapi juga harapan.

Kiprah YB Mangunwijaya dalam Dunia Pendidikan

Tak banyak yang menyangka bahwa di tengah reputasinya yang cemerlang, ia memilih menjadi guru Sekolah Dasar di sebuah dusun terpencil bernama Mangunan, Sleman, DI Yogyakarta. Keputusan ini bukan sekadar panggilan jiwa, tetapi sebuah bentuk kritik tajam terhadap sistem pendidikan yang kering makna dan jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.

Melalui SD Kanisius Mangunan yang nyaris tutup pada awal 1990-an, Romo Mangun mewujudkan cita-cita pendidikannya. Ia tak hanya ingin mengajar, tetapi membangun sebuah sistem pendidikan dasar yang humanis dan membebaskan. Maka lahirlah Sekolah Dasar Kanisius Eksperimen (SDKE) Mangunan pada 1994. Sekolah ini menjadi ladang pengabdiannya hingga akhir hayat, dan perlahan berkembang menjadi model pendidikan alternatif yang mendapat perhatian luas.

Salah satu kontribusi khas Romo Mangun dalam pendidikan adalah gagasan pedagogik ajrih asih, yaitu pendidikan yang menumbuhkan rasa hormat dan cinta kasih dalam suasana belajar. Bagi Romo Mangun, pendidikan seharusnya tidak mematikan imajinasi dan kreativitas anak. Maka dari itu, pendekatan belajar di SDKE pun mendorong siswa untuk aktif, kreatif, dan terlibat penuh dalam proses belajar. Kurikulum dirancang tidak hanya untuk mengejar nilai, tetapi juga untuk membentuk karakter dan keberanian berpikir.

Romo Mangun juga menempatkan sekolah sebagai rumah kedua. Suasana belajar dibuat menyenangkan dan bersahabat, guru diposisikan sebagai sahabat anak, bukan sekadar pengajar. Ia bahkan mengembangkan pola action research di lingkungan sekolah, di mana guru secara rutin merefleksikan praktik belajar-mengajar dan memperbaikinya secara berkelanjutan. Praktik ini membentuk budaya pembelajaran yang hidup dan terus berkembang.

Romo Mangun dengan Perjuangan Kemanusiaannya

YB Mangunwijaya adalah sosok yang tak hanya dikenal sebagai imam, sastrawan, dan arsitek, tetapi juga sebagai pejuang kemanusiaan sejati. Ia memperlihatkan komitmen nyata terhadap kaum tertindas, terutama mereka yang terpinggirkan oleh pembangunan dan ketidakadilan sistemik.

Pilihannya untuk meninggalkan kenyamanan hidup di pastoran dan tinggal di lembah Kali Code dari tahun 1980 hingga 1986 menjadi bukti nyata. Ia hidup bersama warga miskin, berjuang dari dalam untuk menata pemukiman mereka secara lebih manusiawi. Ketika masyarakat mulai mandiri, ia pun melangkah ke medan perjuangan berikutnya.

Perhatian Romo Mangun kemudian beralih ke masyarakat korban proyek Waduk Kedung Ombo di Jawa Tengah. Di sana, ia mendampingi warga yang digusur dan kehilangan hak hidupnya karena proyek pembangunan. Bagi Romo Mangun, kemiskinan bukan semata takdir, tapi hasil dari sistem yang tidak adil dan pembangunan yang berpihak pada segelintir elite. Suaranya lantang dalam menolak penggusuran paksa dan dalam membela hak hidup orang miskin yang sering kali diabaikan oleh negara.

Tak hanya di Kedung Ombo, Romo Mangun juga terlibat aktif membantu warga miskin di Grigak, Gunungkidul, salah satu daerah yang kerap dilanda kekeringan. Ia mencari cara agar air bisa diakses warga, sekaligus melindungi sumber air dari potensi penguasaan oleh pemodal. Kepeduliannya tidak berhenti pada persoalan fisik, tapi juga menyentuh akar struktural kemiskinan, yaitu pendidikan. Bersama para relawan muda, ia memberikan pendidikan bagi anak-anak miskin, dengan harapan mereka bisa membangun masa depan yang lebih baik.

Kepergian Romo Mangun

Romo YB Mangunwijaya berpulang pada 10 Februari 1999 akibat serangan jantung saat menjadi pembicara dalam sebuah simposium di Jakarta. Sejak 1990, ia telah menggunakan alat pacu jantung dan mulai membatasi aktivitas publiknya pada tahun 1994. Namun, karena banyaknya permintaan, ia tetap hadir di berbagai forum, termasuk simposium terakhir yang menjadi akhir pengabdiannya.

Kepergian Romo Mangun meninggalkan duka mendalam. Ribuan pelayat dari berbagai agama dan latar belakang hadir dalam pemakamannya di Seminari Tinggi St Paulus Kentungan Jogja. Ini menjadi bukti betapa besar cinta dan hormat masyarakat terhadap sosok imam yang selalu berpihak pada kaum kecil. Bahkan di akhir hayatnya, ia tetap menunjukkan kepedulian dengan mewasiatkan matanya untuk didonorkan kepada yang membutuhkan.

Sebagai imam Katolik, Romo Mangun bukan hanya pemimpin rohani, tetapi juga pelayan kemanusiaan. Ia hidup bersama kaum miskin, memperjuangkan keadilan, serta mewujudkan cinta kasih dalam tindakan nyata. Perjuangannya dalam dunia pendidikan pun begitu kuat. Ia mendirikan Yayasan Dinamika Edukasi Dasar dan merintis SD Mangunan sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem pendidikan yang menyingkirkan anak-anak miskin.

Sayangnya, saat Romo Mangun meninggal, perjuangannya dalam bidang pendidikan belum selesai. Sekolah yang dirintisnya baru berjalan lima tahun, belum cukup waktu untuk melihat hasil dari gagasan pendidikan dasar sembilan tahun yang ia rancang. Meski begitu, warisan pemikiran dan nilai-nilai kemanusiaan Romo Mangun tetap hidup. Ia telah menjadi suara nurani bangsa, sosok langka yang memperjuangkan martabat manusia hingga akhir hayatnya.

Itulah tadi biografi YB Mangunwijaya, sosok humanis yang namanya terus dikenang hingga kini. Semoga bermanfaat dan dapat menginspirasi.




(par/par)

Hide Ads