Orasi Ilmiah, Profesor UMY Usul Open Centralistic Model pada Seleksi Hakim MK

Orasi Ilmiah, Profesor UMY Usul Open Centralistic Model pada Seleksi Hakim MK

Jalu Rahman Dewantara - detikJogja
Sabtu, 03 Agu 2024 19:48 WIB
Guru besar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Prof Iwan Satriawan saat orasi ilmiah di UMY, Sabtu (3/8/2024).
Guru besar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Prof Iwan Satriawan saat orasi ilmiah di UMY, Sabtu (3/8/2024). Foto: dok. UMY
Bantul -

Guru besar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Prof Iwan Satriawan mengusulkan adanya revisi dalam proses seleksi hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Hal ini menyusul kinerja MK yang disorot sejak beberapa tahun terakhir.

Usulan tersebut disampaikan Iwan dalam orasi ilmiah saat pengukuhan gelarnya sebagai Guru Besar UMY di bidang Ilmu Hukum Tata Negara, Sabtu (3/8/2024). Mulanya Iwan mengatakan bahwa independensi hakim MK semakin dipertanyakan, menyusul rekam jejak 14 hakim yang melakukan pelanggaran sejak 2010 hingga 2023.

Padahal putusan hakim MK haruslah netral dan tidak dilatarbelakangi oleh dinamika politik serta tekanan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dia mengusulkan rekonstruksi dalam sistem penyeleksian dan pemilihan hakim MK.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Salah satu model yang ia rekomendasikan yaitu Open Centralistic Model. Model ini memungkinkan semua kandidat hakim MK melalui tahap uji kelayakan dan kepatutan oleh DPR sebagai lembaga legislatif.

"Setelah hasil uji diterima oleh 3 lembaga pengusul, mereka dapat mengajukan masing-masing 3 nama kandidat kepada Presiden untuk diangkat sebagai hakim MK melalui keputusan presiden," ucap Iwan dalam rilis resmi yang diterima detikJogja, Sabtu (3/8/2024).

ADVERTISEMENT

Dekan Fakultas Hukum UMY ini menyebut Open Centralistic Model memungkinkan semua kandidat akan melalui proses uji secara terpusat oleh DPR dan harus terbuka untuk umum. Walhasil ada partisipasi publik untuk mengetahui informasi dan rekam jejak serta kualitas dari para kandidat calon hakim MK.

Iwan juga mengusulkan agar ada pembatasan calon hakim MK yang berasal dari kalangan politisi, serta memperkuat orientasi profesi sekaligus menyosialisasikan kode etik hakim MK. Hal ini penting untuk meminimalisir pelanggaran etik dan pelanggaran pidana, mengingat hakim MK yang pernah bermasalah merupakan hakim MK non-karir.

"Penelitian yang saya lakukan menemukan bahwa pengaturan kode etik itu sudah cukup, namun penegasan hukumnya masih belum maksimal. Salah satu penyebabnya adalah pengawasan hakim MK hanya dilakukan secara internal sehingga ranah hukumnya sangat terbatas. Permasalahan kita adalah memberikan keleluasaan yang banyak kepada hakim MK tanpa pengawasan yang ketat, di mana semakin besar kekuasaan seharusnya semakin dibatasi," ujarnya.




(apu/apu)

Hide Ads