Kisah Buruh Gendong Wanita di Pasar Giwangan, Pikul Beban Setinggi Badan

Kisah Buruh Gendong Wanita di Pasar Giwangan, Pikul Beban Setinggi Badan

Dayinta Ayuning Aribhumi, Mutiara Zalsabilah Ridwan - detikJogja
Minggu, 21 Apr 2024 07:00 WIB
Emak-emak buruh gendong di Pasar Giwangan Jogja pikul beban nyaris setinggi badan. Foto diambil Rabu (17/4/2024).
Emak-emak buruh gendong di Pasar Giwangan Jogja pikul beban nyaris setinggi badan (Foto: Dayinta Ayuning Aribhum/detikJogja)
Jogja -

Suasana Pasar Giwangan Jogja yang menjadi sentra sayur mayur dan buah pagi itu sudah ramai. Tampak para emak-emak buruh gendong sudah sibuk memikul beberapa peti buah di punggungnya.

Pantauan detikJogja, Rabu (17/4/2024), pagi terlihat beberapa perempuan yang memikul beban besar yang diikatkan dengan kain lurik. Bahkan saking besarnya ukuran peti buah yang mereka pikul hampir sebesar badan.

Salah satu emak-emak buruh gendong itu adalah Ngatiyem (49) yang sudah dua dekade melakoni pekerjaan ini. Ngatiyem memikul satu peti buah jeruk yang beratnya hampir 60 kilogram dengan kain bermotif lurik berjalan di Pasar Giwangan menuju salah satu truk pengangkut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya 20 tahun ada jadi buruh gendong, semenjak pasarnya masih di shopping yang di taman pintar. Dulu kan ada toh pasar induk disana," ujar Ngatiyem ketika berbincang dengan detikJogja.

Ngatiyem bercerita setiap harinya dia mulai bekerja sejak pukul 05.30 WIB sampai pukul 23.00 WIB bahkan sampai tengah malam. Dia pun beristirahat pada pukul 12.00-16.00 WIB.

ADVERTISEMENT

Ngatiyem mengungkap selama bekerja sebagai buruh gendong, penghasilannya tak menentu. Tergantung dengan banyaknya peti buah atau sayur yang bisa dia gendong di punggungnya.

"Ada yang Rp 4.000 ada yang Rp 5.000 (sekali angkut). Kalau semangka yang gede-gede itu Rp 7.000. Saya pernah kok ngangkat beban 1 kuintal, biasanya semangka. Kalo jeruk gitu pol nya 60 kilo per-peti," ucapnya.

Emak-emak buruh gendong di Pasar Giwangan Jogja pikul beban nyaris setinggi badan. Foto diambil Rabu (17/4/2024).Ngatiyem saat memikul peti buah berisi jeruk Foto: Dayinta Ayuning Aribhum/detikJogja

Selama berbincang, Ngatiyem tampak sesekali memainkan selendang lurik yang menjadi senjatanya mengangkut peti buah.

"Kebanyakan selendang lurik kayak gini yang dipakai, soalnya tenunannya lebih kuat to. Biasanya pada beli di langganannya masing-masing," jelas Ngatiyem masih sembari memainkan kain tersebut.

Dia pun ramah menjawab pertanyaan detikJogja. Ngatiyem hanya tertawa ketika ditanya tentang keluh kesahnya sebagai buruh gendong di Pasar Giwangan.

"Apa ya, kalo gini biasanya kaki sakit, pegel, dulu saya juga pernah jatuh. Kalau kecetit untungnya nggak pernah," jelas Ngatiyem.

Meski lelah, Ngatiyem mengaku senang bekerja sebagai buruh gendong. Dia mengaku suka dengan kebebasan mengatur waktunya bekerja.

"Seneng e yo nggak terikat toh. Kan bebas nggak kayak di pabrik. Jam makan e terbatas, kalau ini kan bebas sak wayah-wayahe (sewaktu-waktu) pulang nggak apa-apa mau istirahat juga gapapa," lanjutnya.

Ngatiyem mengaku sebagai perantau dari Sukoharjo, Jawa Tengah. Selama bekerja di Jogja, dia dan temannya mengontrak satu kamar untuk ditinggali bertiga.

"Ngontrak di sini, bertiga sama kakak. 1 kamar itu 1 bulan e Rp 325.000. Nanti per orang bayar Rp 110.000," jelas Ngatiyem.

Dia mengungkap buruh gendong di Pasar Giwangan semula bekerja individu. Namun, pada 2008, ada Yayasan Annisa Swasti (Yasanti) yang mengajak mereka untuk membuat paguyuban.

"Nek dulu sebelum dibentuk paguyuban, ya asal gendong. Terus tahun 2008 ada Yasanti dan bikin paguyuban. Di paguyuban itu dibantu untuk membaca dan nulis, baca tulis Al-Qur'an juga," ucap wanita yang didapuk sebagai bendahara paguyuban ini.

Artikel ini ditulis oleh Dayinta Ayuning Aribhumi dan Mutiara Zalsabilah Ridwan peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.




(ams/ahr)

Hide Ads