Profil Sultan HB IX dan Peran Pentingnya dalam Serangan Umum 1 Maret 1949

Profil Sultan HB IX dan Peran Pentingnya dalam Serangan Umum 1 Maret 1949

Hanan Jamil - detikJogja
Jumat, 01 Mar 2024 11:28 WIB
Monumen Serangan Umum 1 Maret di kompleks Benteng Vredeburg, Kota Yogyakarta, Sabtu (26/2/2022).
Monumen Serangan Umum 1 Maret Foto: Ristu Hanafi/detikJateng
Jogja - Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 merupakan bagian dari perjalanan rakyat Indonesia mempertahankan kemerdekaan. Peristiwa ini merupakan perlawanan Indonesia memukul mundur Belanda dalam Agresi Militer di Jogja.

Selama peristiwa tersebut, ada sosok yang sangat berperan penting dalam mundurnya penjajahan Belanda. Sosok yang sangat berjasa dalam peristiwa tersebut adalah Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Sri Sultan Hamengku Buwono IX memiliki peran besar dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949. Lantas bagaimana profil dan peran pentingnya dalam peristiwa tersebut?

Profil Sri Sultan HB IX

Dikutip detikJogja pada Kamis (29/2/2024) dari buku Yogyakarta dan Kisah Silam Perubahan dari Keraton, Gusti Raden Mas Dorojatun, nama kecil Sri Sultan Hamengku Buwono IX, lahir pada tanggal 12 April 1912 di Ngasem, Yogyakarta. Ia merupakan anak kesembilan dari Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dari istri kelimanya, Raden Ajeng Kustilah atau Kanjeng Ratu Alit.

Semenjak usia empat tahun, GRM. Dorojatun sudah hidup di luar lingkungan keraton. Ia sejak kecil telah dititipkan di rumah keluarga Mulder, kepala sekolah NHJJS (Neutrale Hollands Javanesche Jongen School), oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Di keluarga ini, ia hidup mandiri tanpa didampingi bangsawan keraton.

Ia memulai sekolah dari Frobei School (taman kanak-kanak). Kemudian ia lanjut ke Eerste Europe Lagere School B dan pindah ke Neurale Europese Lagere School, setingkat dengan pendidikan dasar. Lalu ia melanjutkan pendidikan ke Hogere Burgerschool (HBS) di Semarang dan Bandung.

Namun, ketika di HBS ia belum menuntaskan pendidikannya karena diminta oleh ayahnya untuk ke Belanda. Setelah menyelesaikan Gymnasium ia menlanjutkan pendidikan di Rijkuniversitet di Laiden. Di sana, ia mendalami ilmu hukum tata negara sembari ikut klub debat yang dipimpin oleh Profesor Schrieke.

Pada tahun 1939, Sri Sultan HB IX diminta pulang ke Tanah Air oleh Sri Sultan HB VIII karena peta politik yang tidak stabil di Jogja. Pada 18 Maret 1940, ia dinobatkan sebagai putra mahkota dengan gelar Pangeran Adipati Anom Hamengku Negra Subidja Radja Putra Narendra Mataram dan dilanjutkan penobatan sebagai Raja dengan gelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kandjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah Kaping IX.

Sri Sultan HB IX meninggal dunia pada 2 Oktober 1988 ketika berkunjung ke Amerika Serikat di George Washington University Medical Centre. Ia lantas dimakamkan di Kompleks Pemakaman Raja-Raja di Imogiri.

Atas jasa-jasa yang telah Sri Sultan HB IX kepada Indonesia, berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia Nomor 053/TK/Tahun 1990 pada 30 Juli 1990, beliau dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.

Peran Penting Sri Sultan HB IX dalam Serangan Umum 1 Maret 1949

Sebagai informasi, Serangan Umum 1 Maret 1949 merupakan titik balik bagi bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan sekaligus kedaulatan negara. Pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda melancarkan Agresi Militer II dengan menyerang sekaligus menduduki Jogja.

Dikutip dari jurnal berjudul PERANAN SULTAN HAMENGKU BUWONO IX DALAM MENGHADAPI AGRESI MILITER BELANDA I DAN II oleh Rudi Hariyanto dkk, Sri Sultan HB IX berperan penting sebagai inisiator dalam Serangan Umum 1 Maret 1949. Beliau berjasa dalam diplomasi dan penghubung antara Pemerintah RI dan Kerajaan Belanda pada saat pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda 1949.

Pada 12 dan 17 Januari 1949, Sri Sultan HB IX mengecam tindakan agresi militer Belanda. Ia secara diam-diam membantu secara moril dan materil kepada para pejuang, pejabat Pemerintah RI, dan Republiken dengan dana pribadi. Di lingkungan keraton ia memberikan perlindungan kepada kesatuan-kesatuan TNI sekaligus sebagai markas pejuang.

Pada awal Februari 1949, Sri Sultan mendengarkan berita radio BBC yang memberitakan bahwa masalah Indonesia akan dibicarakan dalam forum PBB pada Maret 1949. Pasca mendengar berita tersebut, Sri Sultan lantas segera menghubungi Jenderal Sudirman untuk melancarkan serangan umum terhadap Belanda di Jogja. Setelah memperoleh izin dari Sudirman, Sri Sultan segera menjalin kontak dengan Letkol Suharto selaku Komandan Wehrkreise III.

Komunikasi antara Sri Sultan HB IX dengan Letkol Soeharto dilakukan secara sembunyi-sembunyi agar tidak diketahui Belanda. Dalam pertemuan tersebut, Sri Sultan dan Letkol Soeharto menyepakati bahwa lama waktu persiapan untuk melakukan serangan adalah dua minggu dan waktu pelaksanaan serangan tersebut adalah pada 1 Maret 1949.

Pada 1 Maret 1949 pukul 06.00 pagi, suara sirene tanda berakhirnya jam malam berbunyi dan pasukan TNI langsung menyerang Jogja dari segala penjuru. Melalui serangan ini, pasukan Indonesia berhasil menduduki Jogja selama 6 jam. Berita keberhasilan Serangan Umum 1 Maret selanjutnya disebarkan melalui siaran radio stasiun PHB AURI PC-2 Playen, Gunungkidul dan diteruskan ke Sumatera, New Dehi, hingga Washington.

Pada 24 Juni 1948 Presiden Syafrudin, sebagai pemimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), melantik Sri Sultan HB IX sebagai Menteri Pertahanan guna memulihkan keamanan sebelum pemerintah kembali di Jogja. Setelah Jogja dikuasai TNI di bawah kendali Sri Sultan, presiden dan wakil presiden kembali ke Jogja pada tanggal 6 Juli 1949.

Pada tanggal 27 Desember 1949, penyerahan kedaulatan Indonesia dilakukan oleh Ratu Belanda kepada Muhammad Hatta dan selanjutnya diserahkan kepada Menteri Pertahanan Sri Sultan HB IX.

Artikel ini ditulis oleh Hanan Jamil, peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom


(par/apu)

Hide Ads