Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bantul menyebut hingga bulan November ada temuan ribuan kasus aktif tuberkulosis (TBC) di Bumi Projotamansari. Dari jumlah tersebut ada 21% pasien berpenghasilan rendah, sehingga Pemkab menyebut penghasilan rendah juga memicu penyebaran TBC.
Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Bantul, Agus Budi Raharja menjelaskan, bahwa di Kabupaten Bantul DIY, dari kurun waktu bulan Januari hingga November terdapat 1.144 kasus aktif TBC, atau terdapat 1 kasus TBC per 1.000 penduduk di Kabupaten Bantul. Jumlah tersebut masih 58,67% dari estimasi 1.950 kasus TBC tahun 2023 yang ada di Bantul.
"Berarti kan ada yang belum ketemu. Nah, inilah masalah kita dari waktu ke waktu soal temuan kasus tidak bisa mencapai 100%. Dampaknya apa, kalau kasus tidak ditemukan berarti pasti tidak diobati, wong yang ditemukan saja belum pasti 100% diobati," katanya kepada wartawan di Kapanewon Banguntapan, Kabupaten Bantul, Jumat (24/11/2023).
"Sehingga masih sekitar 42% belum bisa diketemukan dan kemungkinan bisa menularkan ke orang lain karena belum ada intervensi obat dari kita. Tapi Bantul bertekad kalau ada temuan kasus TB harus diobati sampai tuntas dan jangan sampai dropout atau putus pengobatan," lanjut Agus.
Agus melanjutkan, dari 1.144 kasus terdapat 420 pasien TBC yang masuk kategori usia produktif. Rinciannya, 122 pasien berstatus sebagai pelajar/mahasiswa.
Sedangkan berdasarkan jenis pekerjaan, tertinggi bekerja sebagai buruh dengan 11%, pelajar/mahasiswa 10,6%, ibu rumah tangga (IRT) 7%, wiraswasta 6,5% serta pegawai swasta 3%. Selain itu, sekitar 20 persen pasien TBC di Bantul masuk ketegori berpenghasilan rendah.
"Nah, dari 1.144 kasus tadi sekitar 21,24% tercatat memiliki penghasilan rendah. Tapi belum tentu ini penyebab utama bahwa orang miskin itu menjadi TB," ucapnya.
Meski bukan penyebab utama, Agus menilai masyarakat dengan penghasilan rendah berpotensi terkena TBC. Karena rendahnya penghasilan, membuat masyarakat enggan memeriksakan diri ke fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat (Fasyankes) dan kebanyakan menunggu sampai kondisinya parah seperti batuk berdarah.
"Tapi kenyataannya bahwa kasus TB itu ditemukan juga cukup banyak di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah. Ya memang penghasilan rendah otomatis kemungkinan akan meningkatkan risiko penularan TB," ucapnya.
Selain itu, Agus menilai rendahnya penghasilan membuat tempat tinggal menjadi lembab. Mengingat masyarakat dengan penghasilan rendah belum bisa memastikan rumahnya sehat.
"Orang berpenghasilan rendah pasti rawan akan kesehatan khususnya TB, apalagi TB ini penularannya juga tergantung terhadap kelembapan rumah. Kalau rumah semakin tidak sehat, ventilasi kurang, pencahayaan kurang dan alat-alat rumah tangga tidak dicuci dengan baik tentu dan itu sering digunakan berganti itu pasti meningkatkan risiko penularan TB," katanya.
"Karena apa? Kemungkinan orang yang penghasilan rendah itu rumahnya kurang sehat, karena kurang sehat itu kurang pencahayaan, ventilasi, lantainisasi dan lain-lain sehingga menjadi lembap. Dan bagaimana pencucian perabotnya sehingga membuat hidup kuman-kuman TB dan berisiko terjadi penularan," imbuh Agus.
Selain itu, tidak urung masyarakat berpenghasilan rendah tidak memiliki piring yang cukup untuk anggota keluarganya. Semua itu terkadang membuat mereka bergantian piring tanpa dicuci dahulu.
"Bahkan kalau hanya punya piring satu kan berarti gantian yang pakai, kalau orang tidak mampu kan keluarga jumlahnya enam terus piringnya hanya dua, kadang-kadang setelah makan tidak dicuci dan bilang sudah ini pakai punyaku saja," katanya.
Meski belum memenuhi capaian temuan kasus TBC, Agus menyebut Kabupaten Bantul telah melebihi target nasional terkait pemeriksaan terhadap terduga TBC.
"Oleh nasional sudah dihitung, bahwa target kita memeriksa terduga TB itu 9.477 orang. Alhamdulillah kita sampai saat ini memeriksa 12.576 ribu orang atau 132 persen," katanya.
(cln/ahr)