Pegiat Sejarah dari Komunitas Begandring Surabaia, TP Wijoyo mengatakan bahwa Wiyung diambil dari nama sebuah pohon yaitu pohon Wiyu. Berdasarkan ilmu toponimi (ilmu yang mempelajari asal usul nama tempat), ia menduga dulunya di wilayah tersebut banyak tumbuh pohon Wiyu, sehingga menjadi tetenger atau penanda wilayah bagi warga sekitar.
"Toponimi Wiyung berakar dari pohon yang bernama Wiyu," terang pria yang akrab disapa Cak TP tersebut kepada detikJatim, Kamis (24/4/2024).
"Wiyu dan ditambahi akhiran -ng, itu menunjukkan keberadaan dan bentuk jamak (dari pohon wiyu di wilayah tersebut)," imbuhnya.
Wiyu sendiri merupakan pohon kuno mirip dengan pohon jati. Tingginya bahkan bisa mencapai 40 meter.
Dugaan nama Wiyung berasal dari pohon Wiyu makin diperkuat saat dirinya membuka peta lawas Surabaya tahun 1915. Dalam peta tersebut terlihat ada dua nama Wiyung dalam ejaan lama, Wioeng dan Karanganwioeng.
"Hal ini dibuktikan pada peta 1915 ada toponimi Karanganwioeng, yang bermakna pekarangan yang banyak tumbuh pohon Wiyu," kata Cak TP.
"Dikarenakan banyak, jamak, akhirnya membentuk suatu sebutan, Wiyung yang artinya pohon wiyu yang banyak," tegasnya.
Cak TP juga memberikan pembanding yang memiliki nama serupa dengan Wiyung. Menurutnya, penamaan tersebut diperoleh dari adanya pohon Wiyu yang menjadi tetenger warga setempat.
"Di Mojokerto, Pacet, juga ada Desa Wiyu,"
"Di sana ada juga makam di daerah Genting, Ngoro, Penanggungan itu (bernama) makam Mbah Wiyu, karena (berada) di bawahnya pohon Wiyu," ujar Cak TP.
Namun saat ini, banyak beredar kisah tentang asal mula penamaan Wiyung yang konon katanya berasal dari gabungan kata Dewi dan Wuyung dengan makna dewi yang dicintai. Nama ini diberikan oleh Ki Sukmo Jati karena dikisahkan cintanya tak dibalas Dewi Sekar Arum sebab ada orang ketiga.
Cak TP sendiri tidak menyangkal bahwa kisah tersebut bisa dengan mudah dibaca di internet. Namun ia sendiri belum bisa membenarkan hal tersebut karena belum ada bukti kuat yang ia temukan.
Berdasarkan tinjauan toponimi, ia mengatakan tidak mungkin pada zaman dahulu suatu daerah berasal dari gabungan dua kata. Cak TP juga memberi contoh legenda penamaan Tengger di Lereng Gunung Bromo sebagai persamaan.
"Toponimi itu dari dua kata itu nggak mungkin. Podo karo (sama seperti) Tengger dari kata Roro Anteng dan Joko Seger, itu legenda. Zaman dulu tidak mengenal singkatan," jelas Cak TP.
(irb/iwd)