Ritual Manten Kucing, Tradisi Memohon Hujan di Tulungagung

Ritual Manten Kucing, Tradisi Memohon Hujan di Tulungagung

Savira Oktavia - detikJatim
Rabu, 18 Okt 2023 13:33 WIB
Ritual manten kucing.
Ritual manten kucing/Foto: Kemdikbud
Tulungagung - Terdapat banyak tradisi memohon hujan di Indonesia. Salah satunya ritual manten kucing yang dilakukan warga Desa Pelem, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung.

Indonesia memang memiliki beragam budaya. Perbedaan kondisi sosial budaya membuat perkembangan kebudayaan masyarakat mengalami akulturasi yang menghasilkan corak dan bentuk dengan unsur budaya yang bervariasi.

Nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh nenek moyang diturunkan melalui kebudayaan dalam bentuk adat istiadat atau upacara ritual. Upacara ritual adalah aktivitas yang dilakukan secara rutin oleh sekelompok masyarakat menggunakan hukum adat yang berlaku.

Ritual ini menjadi salah satu tindakan nyata yang berkaitan dengan sistem kepercayaan masyarakat, yang mengatur hubungan antarmanusia dengan yang gaib. Oleh karena itu, aktivitas ini diakui kesakralannya.

Ritual Manten Kucing

Bagi kamu yang belum tahu, berikut penjelasan mengenai ritual manten kucing di Kabupaten Tulungagung.

1. Perkembangan Ritual Manten Kucing

Dalam jurnal Pergeseran Fungsi Ritual Manten Kucing di Desa Pelem, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung Tahun 2001-2003 karya Nur Asiyah, ritual Manten Kucing mengalami beberapa kali perubahan.

Ritual ini mengalami pergeseran fungsi karena perkembangan zaman yang menyebabkan perubahan kondisi sosial masyarakat setempat. Berikut perkembangan ritual Manten Kucing dari masa ke masa.

Sebelum Tahun 2001

Istilah Manten Kucing diperkenalkan oleh Demang Sutomedjo yang pada saat itu mendapatkan wangsit untuk melakukan ritual Ngadus Kucing bersama perangkat desa dan masyarakat Desa Pelem. Ritual ini terus berlanjut ketika kemarau panjang melanda desa tersebut.

Tahun 2001-2003

Ritual minta hujan Manten Kucing mengalami perkembangan setelah beberapa periode. Perkembangan paling pesat terjadi pada tahun 2001.

Saat itu Kepala Desa Nugroho Agus melakukan ritual Manten Kucing dalam bentuk pertunjukan kesenian. Hal ini merujuk pada festival kebudayaan di Kabupaten Tulungagung maupun Provinsi Jawa Timur.

Bentuk ritual yang semulanya bersifat sakral berubah menjadi sebuah pertunjukan yang dikemas dalam bentuk kesenian. Ritual ini dipadukan dengan kesenian tari, sehingga menarik perhatian masyarakat.

Tahun 2003-2013

Pergeseran fungsi ritual manten kucing di Desa Pelem terjadi pada 2009-2010. Keberadaan tradisi ini mulai difestivalkan dalam rangka memperingati Hari Jadi Kabupaten Tulungagung.

Hal tersebut menjadikan ritual ini sebagai ciri khas dari perayaan HUT Tulungagung. Bukan tanpa alasan, ritual Manten Kucing difestivalkan untuk memperkenalkan tradisi lama kepada generasi muda.

2. Tata Cara Ritual Manten Kucing

Ritual Manten Kucing yang bersifat sakral biasanya hanya dilakukan di Desa Pelem, tepatnya di Coban Krama. Alkisah, Coban Krama merupakan tempat pemandian leluhur Eyang Sangkrah bersama kucing condromowo, kucing berwarna hitam legam. Tak lama kemudian, hujan turun dengan derasnya.

Melansir situs Kemendikbud, ritual diawali dengan sepasang kucing condromowo jantan dan betina dimasukkan ke dalam keranji. Kucing tersebut diarak mengelilingi desa oleh seorang lelaki dan wanita yang telah mengenakan pakaian pengantin bersama tokoh desa berbusana adat Jawa.

Kedua kucing tersebut dimandikan menggunakan air telaga yang ditaburi kembang. Setelah proses pemandian, kedua kucing kembali diarak menuju lokasi pelaminan yang telah dilengkapi dengan berbagai sesajen.

Sepasang lelaki dan wanita berbusana pengantin akan duduk di pelaminan sembari memangku kucing tersebut. Upacara pernikahan dimulai dengan pelaksanaan pembacaan doa-doa yang dilakukan oleh sesepuh setempat. Proses pelaksanaan manten kucing pun berakhir.

Masyarakat akan berkumpul untuk mengadakan upacara selamatan, dilanjutkan dengan pembacaan ujub atau bacaan doa dalam bahasa Jawa. Dan diakhiri Tiban, yaitu tarian yang dilakukan dua orang lelaki bertelanjang dada dan saling mencambuk satu sama lain menggunakan lidi aren.

Artikel ini ditulis oleh Savira Oktavia, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.


(irb/sun)


Hide Ads