Warga Mojokerto patut bangga mempunyai KH Mochammad Nawawi. Selain ulama yang dihormati, pria kelahiran 1886 ini juga dikenal sebagai pejuang pemberani yang selalu di garis depan pertempuran. Ia rela mengorbankan nyawanya demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Ayuhanafiq dalam bukunya berjudul Medan Bhakti Sang Kyai: Perjuangan Kyai Muhammad Nawawi menjelaskan Kiai Nawai lahir di keluarga sederhana di Dusun Lespadangan, Desa Terusan, Gedeg, Kabupaten Mojokerto. Ayahnya, Munadi adalah tukang kayu sekaligus bangunan yang terkenal terampil dan jujur. Sedangkan sang ibu, Khalimah ibu rumah tangga biasa.
Orang tua KH Nawawi berasal dari Pati, Jateng. Mereka diperkirakan hijrah ke Bumi Majapahit sekitar tahun 1895. Ia diyakini keturunan Kiai Ahmad Mutamakkin yang makamnya di Kajen, Pati. Kiai Mutamakkin merupakan ulama besar pada masa pemerintahan Sunan Amangkurat IV dari Kerajaan Mataram Islam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kiai Nawawi lahir tahun 1886. Pak Munadi hanya ingin anaknya berbakti kepada orang tua dan agamanya, bisa berguna bagi orang lain dengan mengajarkan ilmu agama," tulis Ayuhanafiq dalam bukunya yang dikutip detikJatim, Kamis (15/12/2022).
Pendidikan ilmu tauhid dan akhlak diterima Kiai Nawawi sejak usia dini. Jika Khalimah mengajari putranya mengaji, Munadi menempanya dengan ilmu ketuhanan dan budaya malu. Ya, Nawawi kecil sudah diajari malu untuk gagal, malu melanggar aturan dan etika di masyarakat, serta malu bersikap sombong sehingga selalu rendah hati.
Pesantren menjadi tempat Nawawi menimba ilmu sejak usianya baru 7 tahun. Munadi menitipkannya ke pesantren yang diasuh Kiai Ilyas alias Kiai Sholeh di Penarip gang 2, Kelurahan/Kecamatan Kranggan, Kota Mojokerto sekitar tahun 1893. Di pesantren ini, Nawawi mempelajari Al-Qur'an dan kitab-kitab klasik, mendapatkan doktrin melawan penjajah, bekal ilmu bela diri aliran Cirebonan, Jabar dari Kiai Ilyas.
Setelah dirasa cukup dan usianya sudah belasan tahun, Nawawi diarahkan Kiai Ilyas melanjutkan pendidikan di Ponpes Tebuireng, Desa Cukir, Diwek, Jombang. Kala itu, Tebuireng masih diasuh teman Kiai Ilyas, KH Hasyim Asy'ari yang merupakan kakek Gus Dur. Munadi pun menemui langsung Kiai Hasyim untuk menitipkan putranya tersebut.
Nawawi remaja kian tekun menimba ilmu di Tebuireng. Ia memilih tetap belajar di pesantren ketika teman-temannya pulang selama libur Ramadhan. Oleh sebab itu, ia tak pernah absen mengikuti diskusi Ramadan di pesantren yang pesertanya para santri senior pilihan. Forum diskusi ini membahas berbagai persoalan sosial di masyarakat sekaligus dasar hukum agama sebagai solusinya.
"Forum diskusi semacam itu mengasah kemampuannya berbicara menyampaikan pendapat di hadapan orang lain, berlogika meyakinkan orang lain. Proses belajarnya di Tebuireng ditempuh dalam waktu yang tidak terlalu lama. Dia diperkenankan untuk melanjutkan belajar bersama para kiai di pesantren lain," terang Ayuhanafiq.
Selama berkelana menimba ilmu, lanjut Ayuhanafiq, Kiai Nawawi belajar di 3 pesantren ternama di Jatim dan Madura. Pertama, di Pesantren Siwalan Panji Buduran, Sidoarjo. Pesantren yang didirikan Kiai Hamdani tahun 1787 ini juga tempat belajar guru Nawawi, Kiai Hasyim dan Kiai Ilyas. Ketika Nawawi 'nyantri', pesantren ini diasuh Kiai Khozin Khoirudin dan Kiai Hasyim Abdurrahim.
![]() |
Selanjutnya Nawawi berguru ke Kiai Zainuddin di Pesantren Mojosari, Desa Ngepeh, Loceret, Nganjuk. Kiai Zainuddin merupakan waliullah yang mempunyai banyak karamah. Ponpes Mojosari didirikan Kiai Ali Imron tahun 1710. Nawawi lantas merantau ke Madura untuk menimba ilmu dari Syaikhona Kholil di Kademangan, Bangkalan.
Di pesantren ini, Nawawi ingin mendalami ilmu nahwu dan shorof atau ilmu tata bahasa agar bisa membaca dan mengartikan semua kitab berbahasa Arab sekaligus mengerti maknanya. Konon ia hanya sebentar diajari ilmu tersebut. Sebab ia lebih banyak disuruh Kiai Kholil mengisi air kamar mandi dan tempat wudu.
"Sampai Nawawi dipanggil Kiai Kholil yang menyatakan sudah cukup dan menyuruhnya pulang. Perintah sudah cukup itu juga diartikan sebagai perintah untuk mengakhiri pengembaraannya. Nawawi harus balik ke rumahnya di Lespadangan. Sekurangnya 20 tahun waktu yang dia habiskan menimba ilmu agama," jelasnya.
Di lain sisi, Munadi mempunyai teman akrab seorang guru mengaji atau kiai kampung, Syafi'i, warga Balongsari I, Kelurahan Balongsari, Magersari, Kota Mojokerto. Kiai Syafi'i pun berniat menjodohkan putrinya, Nafisah dengan Nawawi. Gayung pun bersambut, Munadi menyetujui niat mulia tersebut sebab ia sudah memahami akhlak Nafisah.
kiai Nawawi mojokertoTetenger KH Nawawi di Mojokerto (Foto: Enggran Eko Budianto)
Nawawi dan Nafisah akhirnya menikah di tahun 1914. Kala itu, usia Nawawi sudah 28 tahun. Pasangan pengantin baru ini tinggal serumah dengan Kiai Syafi'i. Buah pernikahan ini, mereka dikaruniai 9 anak, yaitu Siti Amnah, Mardiyah, Ismail, Mansur, Marzuki, Yahya, Ubaidah, Wasiah, dan Badriyah. Nafisah wafat setelah 20 tahun menjadi istri KH Nawawi.
"Kiai Nawawi menyunting istri keduanya, Nyai Bannah dari Pesantren Gayam dan dikaruniai 5 putra-putri, yaitu, Muhaimin, Ahmad Chumaidi, Malikhatin, Mohammad Sonhadji, serta Anik Ukhuwah," ungkapnya.
Sejak menjadi kepala keluarga, Nawawi bergaul dengan semua kalangan. Pekerjaan pun ia peroleh buah pergaulannya itu, yaitu menjadi tukang jahit busana. Kala itu, penjahit hanya ada 2 di Kota Mojokerto. Nawawi belajar menjahit dari salah satunya. Ia lantas membuka kios jasa jahit busana di Jalan Kediri yang sekarang menjadi Jalan Majapahit.
Profesi ini ia tekuni dengan maksimal. Kiai Nawawi dikenal sebagai penjahit yang detail dan rapi, serta menyelesaikan garapan tepat waktu. Sehingga bisnisnya berkembang cepat. Tak ayal Nawawi mampu membeli tanah di Jalan Gajah Mada nomor 118, Kelurahan Jagalan, Kranggan, Kota Mojokerto.
Di tempat inilah ia membangun rumah sekaligus musala. Di sela kesibukannya menjadi penjahit, ia tetap meluangkan waktu mengajar mengaji masyarakat di sekitarnya. Kini tempat tinggal KH Nawawi menjadi Ponpes Tarbiyah Tahfidhul Qur'an An Nawawy yang didirikan putranya, Kiai Ismail Nawawi. Sedangkan musala sudah dijadikan satu dengan masjid pesantren, Masjid As Syuhada'.
"Agar semua orang bisa berbahagia saat Lebaran Idul Fitri, Kiai Nawawi sering membebaskan ongkos jahit jika yang datang orang tidak mampu," ujar Ayuhanafiq.
![]() |
KH Nawawi wafat di usia 60 tahun. Ia dikenang selamanya sebagai syuhada dan ulama pemberani di masanya. Sebab ia gugur dalam sebuah pertempuran sengit dengan serdadu Belanda di Dusun Sumantoro, Desa Plumbungan, Sukodono, Sidoarjo 22 Agustus 1946. Ketika itu ia menjabat Komandan Barisan Sabilillah Karesidenan Surabaya di Mojokerto. Jenazahnya dimakamkan Makam Lingkungan Mangunrejo di Dusun Simpang Baru, Desa Sidoharjo, Gedeg.
Cucu Kiai Syafi'i, Muhammad Zaini (76) mengatakan musala tempat KH Nawawi membantu mertuanya mengajar mengaji masih eksis di Balongsari I nomor 15. Rumah induk Kiai Syafi'i persis di belakang musala KH Syafi'i tersebut.
"Rumah induk sekarang ditempati cicit dari Kiai Syafi'i. Musala sekarang direhab karena rusak atapnya," cetusnya.
Informasi tentang KH Nawawi keturunan Kiai Ahmad Mutamakkin, ulama kondang di Pati, rupanya pernah didengar langsung oleh cucu KH Nawawi yang lain, Ahmad Wahid (63), dari orang tuanya. Wahid adalah cucu Kiai Nawai Kiai Ismail Nawawi dan Siti Maisaroh.
"Cerita abah ke ibu saya, Kiai Nawawi keturunan Kiai Mutamakkin di Kajen, Pati. Namun, beliau tidak pernah cerita karena tidak mau anak turunnya sombong. Kiai Mutamakkin seorang ulama besar," terangnya.
Wahid mempunyai versi lain ihwal tempat tinggal KH Nawawi. Menurutnya rumah kakeknya di Lingkungan Jagalan 2, Kelurahan Jagalan. Rumah berbahan kayu jati itu terletak di sebelah selatan Ponpes Tarbiyah Tahfidhul Qur'an An Nawawy. Sayangnya, rumah itu sudah dijual kepada orang lain. Sedangkan musala Kiai Nawawi kini menjadi satu bangunan dengan masjid pesantren tersebut.
"Lahan pondok itu dulu musala, di sekitanya banyak pohon mangga dan bambu. Mbah Nawawi dulu kaya, banyak tanahnya. Beliau dulu mengajar mengaji di musala itu," tuturnya.
Cucu Menantu KH Nawawi, M Qodri menjelaskan selain berprofesi sebagai penjahit busana, kakeknya juga pedagang tembakau. "Beliau seorang penjahit baju dan pedagang tembakau di pasar, jualannya pindah-pindah pasar sesuai hari pasaran dalam kalender Jawa," jelasnya.
Isno Woeng Sayun dalam bukunya berjudul Biografi Kiai Mojokerto menyampaikan KH Nawawi mengenyam pendidikan dasar di Hollandsch inlansche School Partikelir (HIS-P). Ketika itu usia Nawawi baru sekitar 7 tahun. Nawawi kecil lantas menimba ilmu di Ponpes Tebuireng yang diasuh KH Hasyim Asy'ari setelah lulus dari HIS-P.
"Di usia anak-anak, Nawawi mendapat pendidikan ilmu tauhid dari ayahnya sendiri. Begitu memasuki usia sekitar tujuh tahunan, Nawawi dimasukkan sekolah HIS-P," tandas Ketua PC Lembaga Ta'lif wan Nasyr (LTN) NU Kabupaten Mojokerto ini.
Siasat KH Nawawi Ngajar di Zaman Penjajahan, Ubah Lagu Indonesia Raya Berbahasa Arab
Ponpes An-Nawawi di Mojokerto (Foto: Enggran Eko Budianto)
|
Nawawi lahir dari pasangan Munadi dan Khalimah di Dusun Lespadangan, Desa Terusan, Gedeg, Kabupaten Mojokerto tahun 1886. Ia mengenyam pendidikan di beberapa pondok pesantren sejak berusia 7 tahun. Setidaknya 21 tahun ia habiskan untuk menimba ilmu.
KH Nawawi baru menikah dengan Nafisah, putri Kiai Syafi'i ketika usianya sudah 28 tahun sekitar 1914. Kiai Syafi'i merupakan sahabat ayahnya. Kala itu, Nawawi muda berprofesi sebagai tukang jahit busana. Kualitas kerja dan kejujurannya membuat bisnis jasa jahit yang ia buka di Jalan Majapahit, Kota Mojokerto cepat berkembang.
Sehingga ia mampu membuat rumah dan musala sendiri. Salah seorang cucunya, Ahmad Wahid (63) mengatakan dulu rumah Kiai Nawawi di Jagalan 2, Kelurahan Jagalan, Kranggan terbuat dari kayu. Sedangkan musalanya di sebelah utara rumahnya, yakni di Jalan Gajah Mada nomor 118, Kota Mojokerto.
"Beliau (Kiai Nawawi) dulu mengajar mengaji di musala itu," kata Wahid kepada wartawan di rumahnya, Kelurahan Wates, Magersari, Kota Mojokerto, Kamis (15/12/2022).
Musala tempat Kiai Nawawi mengamalkan ilmunya, lanjut Wahid kini menjadi bagian dari Masjid As Syuhada' di Ponpes Tarbiyah Tahfidhul Qur'an An Nawawy. Pesantren ini didirikan putranya, KH Ismail Nawawi sekitar tahun 1968, jauh setelah ia wafat tahun 1946. Sedangkan kediamannya sudah berpindah tangan ke orang lain.
"Rumahnya sudah dijual kepada almarhum Pak Sukarno, dulu rumah itu dijual abah saya," terangnya.
Semasa hidupnya, Kiai Nawawi mengajarkan Al-Qur'an kepada masyarakat Jagalan dan sekitarnya. Ia juga berdakwah tentang ajaran Islam. Cucu Menantu KH Nawawi, M Qodri menjelaskan kala itu, kakeknya harus kucing-kucingan dengan pemerintah kolonial Belanda untuk mengajarkan ilmu agama.
"Zaman sebelum kemerdekaan, namanya pesantren luar biasa ketatnya. Dulu orang mengajar ngaji sudah dibidik atau diawasi penjajah, orang mengaji sembunyi-sembunyi," ungkapnya.
![]() |
Isno Woeng Sayun dalam bukunya berjudul Biografi Kiai Mojokerto menguraikan KH Nawawi mengajari anak-anak Jagalan dan sekitarnya membaca Al-Qur'an di musala pribadinya. Komandan Barisan Sabilillah Karesidenan Surabaya di Mojokerto ini tak jarang menyelipkan syair-syair Jawa yang sarat ajaran moral, etika dan budi pekerti dalam pengajiannya.
"Kiai Nawawi juga sering mengundang para Kiai yang merupakan teman mondoknya dulu untuk mengisi pengajian-pengajian di tengah masyarakat, seperti KH Khusaeri dan KH Naser dari Damean, Gresik," jelasnya.
Ketua PC Lembaga Ta'lif wan Nasyr (LTN) NU Kabupaten Mojokerto ini menjelaskan ketika menjadi pengurus NU Mojokerto, Kiai Nawawi mengusulkan pendirian madrasah untuk mengentaskan umat dari kebodohan. Sehingga berdirilah sebuah sekolah Islam di Kauman 3, Kelurahan Kauman, Prajurit Kulon, Kota Mojokerto.
Menurut Isno, KH Nawawi juga ikut mengajar di Madrasah Kauman ini. Sekolah di belakang Masjid Agung Al Fattah ini diubah namanya menjadi MI Al Muhsinun tahun 1976. Sebab madrasah ini berdiri di tanah Haji Muhsinun yang diwakafkan kepada Yayasan Pendidikan Ma'arif Mojokerto.
"Di dalam dirinya terpendam semangat perjuangan anti penjajah. Cara Nawawi menanamkan rasa cinta tanah air dan bangsa kepada murid-murid cukup kreatif. Teks lagu Indonesia Raya dia terjemahkan ke dalam Bahasa Arab. Selanjutnya murid-murid diajari untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya dalam Bahasa Arab," ujarnya.
Sedangkan Ayuhanafiq dalam bukunya Medan Bhakti Sang Kyai: Perjuangan Kyai Muhammad Nawawi menuturkan sepak terjang Kiai Nawawi di dunia pendidikan dimulai sejak menikah dengan istri pertamanya, Nafisah. Ketika itu Kiai Nawawi masih tinggal serumah dengan mertuanya. Sehingga ia membantu mengajar mengaji di musala milik mertuanya. Musala di Balongsari I nomor 15 ini tetap eksis dengan nama Langgar Wakaf KH Syafi'i.
"Para santri itu tidak hanya diberi pelajaran membaca Al Qur'an, tapi juga pelajaran kitab terkait tata cara beribadah dan juga pelajaran akhlak atau moral. Sebutan kiai mulai sering dilekatkan pada namanya. Santri kian banyak dari luar lingkungan, tapi tak punya asrama. Sehingga Nawawi membeli tanah di Jalan Gajah Mada, Kelurahan Jagalan untuk rumah dan musala," terangnya.
Pengajian Kiai Nawawi pun berpindah ke musala pribadinya bernama Langgar Jagalan. Ia kian fokus mengamalkan ilmunya. Sampai-sampai ia harus merekrut 2 pegawai untuk mengelola bisnis jasa jahit busana. Muridnya pun kian banyak hingga membuat musalanya penuh. Selain menimba ilmu agama, mereka juga ingin mendapatkan ilmu kanuragan dari Kiai Nawawi.
Oleh sebab itu, KH Nawawi ingin mendirikan madrasah atau sekolah Islam. Keinginannya tersebut ia diskusikan dengan temannya, Kiai Zainal Alim, pedagang kain keturunan Arab. Gayung pun bersambut, sebab Kiai Zainal mempunyai cita-cita yang sama. Rencana mendirikan madrasah lantas mereka bahas dengan kiai lainnya karena membutuhkan banyak biaya dan tenaga pendidik.
![]() |
"Beberapa kiai berkumpul untuk membahas kondisi pendidikan bagi anak-anak orang Islam. Mereka sadar bahwa bila dibiarkan maka anak-anak muslim akan tergusur zaman. Pemerintah kolonial secara sistematis berusaha mengkooptasi rakyat lewat pendidikan yang diskriminatif. Pertemuan itu yang mengawali pendirian madrasah pertama di Mojokerto di tahun 1926," cetus Ayuhanafiq.
Sebelum mempunyai gedung sendiri, lanjut Ayuhanafiq madrasah menempati musala Kiai Zainal di Suronatan, Magersari, Kota Mojokerto. Ilmu agama diajarkan para kiai lulusan pesantren. Para santri juga membantu mengajar ilmu pengetahuan umum. Kala itu, para siswa belajar dengan lesehan di musala dan teras rumah Kiai Zainal tanpa meja maupun kursi.
"Para kiai Mojokerto terbukti mampu mengelaborasi pentingnya pendidikan formal bagi generasi penerus Islam agar tidak tertinggal zaman," jelasnya.
Minat masyarakat untuk menyekolahkan anaknya di madrasah kian tinggi. Musala maupun teras rumah Kiai Zainal tak mampu menampung murid yang berdatangan dari berbagai penjuru Kota Mojokerto. Gedung sekolah pun dibangun bergotong-royong di tanah wakaf Haji Muhsin, yakni di Kamuan 3. Tidak hanya itu, Haji Muhsin juga menanggung sebagian besar biaya pendirian gedung madrasah.
KH Nawawi dipercaya menjadi kepala sekolah pertama Madrasah Kauman tersebut. Sekolah Islam ini berganti nama menjadi MI Al Muhsinun untuk mengenang jasa Haji Muhsin. Menurut Ayuhanafiq madrasah menjadi wadah untuk menebar benih anti-kolonialisme kepada anak-anak. Misalnya mengajari para siswa menyanyikan Lagu Indonesia Raya. Kiai Nawawi mengubah lirik lagu ini dalam Bahasa Arab untuk mengelabuhi penjajah.
"Agar kegiatan di sekolah tak dibubarkan penjajah. Lagu itu kemudian diberi judul Indonesiya Adhim. Dengan cara itu penanaman benih nasionalisme kepada murid madrasah tetap dapat dilakukan. Aparat penjajah tidak bisa melarang karena mereka tidak paham Bahasa Arab," ungkapnya.
Menjelang 1929, resesi melanda tanah air. Tingginya pengangguran akibat kemerosotan ekonomi membuat banyak anak putus sekolah. Begitu pula siswa-siswa Madrasah Kauman. Para kiai pun memutuskan untuk menurunkan biaya sekolah dengan risiko honor para pendidik berkurang. Pembayaran biaya sekolah juga dilonggarkan. Untuk menutupi operasional madrasah, penggalangan dana dari para orang kaya dilakukan. Sehingga madrasah tidak sampai gulung tikar.
"Tahun 1925 pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan aturan pengawasan sekolah tidak berizin atau sekolah liar. Dalam aturan Wild Schoolen ini, sekolah yang mau mengajukan izin, diberi subsidi. Namun, Madrasah Kauman memilih mandiri," tandas Ayuhanafiq.
Hingga kini MI Al Muhsinun tetap eksis dan banyak peminatnya. Madrasah di Kauman 3 nomor 27 ini mempunyai 398 siswa yang dibagi menjadi 13 rombongan belajar (rombel). Kelas 1, 2, 3, 5 dan 6 masing-masing mempunyai 2 rombel. Hanya kelas 4 yang mencapai 3 rombel. Sedangkan jumlah pendidiknya mencapai 26 orang.
Perjuangan KH Nawawi Masa Pergerakan: Dirikan NU, PETA, Djawa Hokokai di Mojokerto
Papan nama Jalan KH Nawawi (Foto: Enggran Eko Budianto)
|
Penulis Sejarah Mojokerto Ayuhanafiq menjelaskan sejak berdiri 1926, NU di bawah kepemimpinan KH Hasyim Asy'ari membuka cabang di berbagai daerah memanfaatkan jaringan pesantren dan kaum santri lulusan pesantren. Tak terkecuali di Mojokerto. Kiai Nawawi yang notabene santri KH Hasyim di Ponpes Tebuireng, Jombang menunaikan tugas mulia tersebut.
Kala itu, Kiai Nawawi mendiskusikan rencana pendirian NU di Mojokerto dengan para kiai. Salah satunya yang paling intensif dengan Kiai Zainal Alim, pedagang kain keturunan Arab warga Suronatan, Magersari, Kota Mojokerto. Rupanya Kiai Zainal mempunyai minat yang sama.
NU Mojokerto akhirnya lahir dalam sebuah rapat para kiai pada 28 Mei 1929. Seperti yang dimuat dalam Buletin Swara Nahdlatoel Oelama edisi nomor 7 tahun kedua, rapat tersebut dihadiri KH Wahab Hasbullah dan KH Bisri Syamsuri. Kiai Wahab kala itu menjadi Pemred Swara Nahdlatoel Oelama, sedangkan Kiai Bisri Katib Syuriyah NU Cabang Jombang.
"Kiai Wahab dan Kiai Bisri menjelaskan tentang pentingnya ikatan di antara umat Islam untuk menjaga syiar li i'laa kalimatillah dalam menghadapi tantangan gerusan puritanisasi beragama (Wahabi) maupun kristenisasi oleh penjajah. Yaitu bergabung dan membentuk NU cabang Mojokerto," terang Ayuhanafiq dalam bukunya berjudul Medan Bhakti Sang Kyai: Perjuangan Kyai Muhammad Nawawi yang dikutip detikJatim, Kamis (8/12/2022).
Dalam rapat itu pula, lanjut Ayuhanafiq pengurus NU Mojokerto disusun. Kiai Zainal didapuk sebagai Rais Syuriah. Ketua Tanfidziyah dijabat Kiai Muhammad Rozihan. Sedangkan Kiai Nawawi sebagai pembantu (A'wan) Rais Syuriah. Ia lantas menggantikan kedudukan Kiai Zainal yang wafat tahun 1941. Pembinaan terhadap ranting-ranting NU rutin dilakukan Kiai Nawawi.
Ulama yang lahir di Lespadangan, Desa Terusan, Gedeg, Kabupaten Mojokerto 1886 ini paling sering berkunjung ke ranting. Dalam setiap kunjungannya, ia selalu mengendarai dokar pinjaman Kiai Zainal yang dijadikan kendaraan dinas para pengurus NU Mojokerto. Ia senantiasa mengajarkan tertib administrasi ke para pengurus ranting, seperti buku kas, buku anggota dan buku notulen rapat.
Keberadaan NU Mojokerto terendus pemerintah kolonial Belanda sekitar 2 tahun kemudian. Beruntung para pengurusnya piawai berkamuflase sehingga organisasi kebanggaan warga Nahdliyin ini terus berkembang tanpa dikekang penjajah. Terbukti dalam catatan serah terima jabatan (Memorie van Overgave) yang ditulis Resident Mojokerto, CA Schnitzle tahun 1931, tidak ditemukan unsur fanatisme Islam dalam NU Mojokerto.
Salah satu strategi yang digunakan adalah setiap rapat organisasi digelar di masjid dan musala. Praktis intelijen polisi kolonial tidak optimal melakukan pengawasan sebab risih dan tak terbiasa berada di tempat ibadah umat Islam. Selain itu, mudah mengidentifikasi orang tak dikenal yang sengaja menyusup. NU Mojokerto pun terus berkembang pesat kala itu.
"Sosok sentral dalam NU Mojokerto adalah Kiai Nawawi yang memiliki dedikasi kuat membesarkan organisasi. Dia didampingi anak-anak muda yang mempunyai loyalitas mengurus organisasi. Dari tangan dingin Kiai Nawawi, NU Mojokerto dirintis hingga eksistensinya terjaga hingga saat ini," jelasnya.
Menjelang 1942, jelas Ayuhanafiq pemerintah kolonial Belanda dibuat resah kabar kedatangan pasukan Jepang. Gubernur Jatim kala itu, CH Van der Plass berupaya merebut simpati rakyat Indonesia memanfaatkan primordial keagamaan. Ia mencetak kitab suci Al-Qur'an dalam jumlah besar untuk dibagikan ke pesantren, masjid dan musala. Tujuannya hanya satu, agar pribumi muslim mau menyokong persiapan menghadapi gempuran Jepang.
Bantuan Al-Qur'an juga disalurkan ke Langgar Jagalan, musala milik KH Nawawi tempatnya mengajar mengaji di Jalan Gajah Mada nomor 118, Kelurahan Jagalan, Kranggan, Kota Mojokerto. Putra pasangan Munadi dan Khalimah ini mempunyai pendirian yang teguh. Ia membakar kitab-kitab tersebut. Tidak hanya itu, ia juga memberikan instruksi ke masjid dan musala lainnya di Mojokerto untuk melakukan hal yang sama.
"Sekitar satu truk kitab suci yang dibagikan Van der Plas untuk wilayah Mojokerto habis terbakar. Di Jombang juga sama, dibakar oleh Kyai Dahlan Kholil," ungkapnya.
Kebijakan militer Jepang yang berhasil menguasai Mojokerto 6 Maret 1942 ternyata lebih keras. Mereka membubarkan semua organisasi dengan mengeluarkan Undang-undang nomor 2 tahun 2602 tanggal 8 Maret 1942. Bahkan, militer dari Negeri Matahari Terbit juga mewajibkan rakyat melakukan seikirei, yakni membungkuk ke matahari setiap pagi sebagai penghormatan kepada Kaisar Jepang yang diyakini keturunan Dewa Matahari. Tentu saja umat Islam dibuat gaduh sebab ritual itu tergolong musrik.
Barulah setelah memegang kendali penuh di tanah air, militer Jepang menelurkan UU baru nomor 23 pada 15 Juni 1942. Isinya mencabut sebagian larangan berkumpul. Perkumpulan dan pertemuan yang diizinkan bersifat pelesiran dan kesenangan, gerak badan, pengetahuan, kesenian, pendidikan, derma dan pertolongan, serta distribusi barang. Kala itu Mojokerto dipimpin Bupati atau Kencho sekaligus Shico atau Wali Kota RAA Rekso Amiprodjo.
Menurut Ayuhanafiq, Kiai Nawawi pun mengatur strategi untuk menyiasati kekejaman intelijen polisi Jepang. Ia memanfaatkan kesenian hadrah, diba', manakiban, yasinan dan ritus lainya yang berkembang di warga nahdliyin Mojokerto. Menantu Kiai Syafi'i Balongsari ini mengajukan permohonan ke militer Jepang untuk menggelar pertemuan seni dan budaya. Kegiatan tersebut pun diizinkan.
"Kiai Nawawi lantas mengubah NU Mojokerto untuk sementara sebagai lembaga seni budaya untuk menyiasati aturan yang berlaku, yakni bernama Lembaga Budaya Ahlussunah wal Jamaah. Sehingga Nawawi leluasa melakukan silaturrahmi," cetusnya.
Strategi ini terbukti jitu. Kiai Nawawi selalu menyampaikan pesan agar umat muslim tetap teguh melawan penjajah dan menegakkan kebenaran. Hal-hal yang bersifat politik tak jarang dibahas dalam pertemuan seni budaya. Ia menyampaikan pesan-pesannya menggunakan Bahasa Arab yang tak dipahami militer Jepang. Tak pelak KH Nawawi dan pengurus NU lainnya tetap mampu menjangkau semua wilayah Mojokerto.
"Sehingga informasi organisasi atau perkembangan sosial masyarakat dapat diketahui oleh semua kompoenen NU di masing-masing tingkatan. Dengan demikian kesamaan gerak dapat terwujud," ujarnya.
Ketika banyak kalah di Perang Pasifik, militer Jepang sedikit melunak. Sebab mereka membutuhkan dukungan rakyat Indonesia untuk memenangkan perang itu. Larangan berkumpul dan berbicara pun dicabut. Mereka membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA) dengan mengeluarkan Osamu Seirei nomor 44 pada 3 oktober 1943. Personilnya direkrut dari Jawa, Madura dan Bali.
Di Mojokerto sendiri, Panitia Persiapan Propaganda Tentara PETA dibentuk akhir Oktober 1943 dalam rapat di Gedung Baitoel Mal, Jalan Jagalan nomor 15. Panitia ini diketuai pegawai pemerintah Mas Ngabehi Rediono. Sedangkan Kiai Nawawi menjadi anggotanya. Para pemuda dari berbagai penjuru Bumi Majapahit mendaftarkan diri. Sedikitnya 127 pemuda bergabung dengan PETA. Event penggalangan dana untuk menyokong PETA Mojokerto pun digelar pertengahan November 1943.
"Kiai Nawawi menjadi salah satu pembicara di event tersebut. Dalam pidatonya, ia menyinggung kewajiban membela tanah air dalam kaca mata agama Islam. Karena opsir PETA yang dinyatakan lulus pendidikan, terdapat banyak santri. Mereka mendapatkan kedudukan sebagai komandan pasukan di daerah-daerah," terang Ayuhanafiq.
PETA lantas dibubarkan pada 18 Agustus 1945 pasca Jepang menyerah kepada Sekutu 14 Agustus 1945. Tidak hanya itu, Kiai Nawawi juga terlibat aktif di Himpunan Kebaktian Rakyat atau Djawa Hokokai yang dibentuk menggantikan Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA). Djawa Hokokai dibentuk militer Jepang pada 1 Maret 1944. Di Mojokerto, organisasi ini dipimpin Bupati Rekso Amiprodjo dan wakilnya, dr Soedomo seorang dokter gigi. Menurut Ayuhanafiq, Kiai Nawawi menjadi anggota mewakili para ulama.
"Dengan bergabung dalam Djawa Hokokai, interaksi Kiai Nawawi semakin luas. Strukturnya berjenjang hingga tingkat desa yang dipimpin lurah. Sehingga Kiai Nawawi tidak hanya bekerja dengan kalangan santri, dia berhubungan dengan kalangan priyayi yang kebanyakan menjadi aparat pemerintahan," tegasnya.
Isno Woeng Sayun dalam bukunya berjudul Biografi Kiai Mojokerto menyebut KH Nawawi bersama pengurus NU Mojokerto rutin menggelar pengajian keliling ke musala-musala. Melalui NU pula, ulama pemberani itu mengusulkan pendirian madrasah untuk mengentaskan umat dari kebodohan. Sehingga sekolah Islam pertama bercokol di Bumi Majapahit. Kiai Nawawi juga menjadi pendidik di madrasah tersebut.
Madrasah di Kauman 3, Kelurahan Kauman, Prajurit Kulon, Kota Mojokerto itu tetap eksis sampai sekarang. Namanya berubah dari Madrasah Kauman menjadi MI Al Muhsinun sejak 1976. "Karena menempati pekarangan milik Haji Muhsinun yang dihibahkan kepada Yayasan Pendidikan Ma'arif Mojokerto," tandasnya.
Teladan Perjuangan KH Nawawi yang Selalu Maju di Garis Depan Pertempuran
Makam KH Nawawi (Foto: Enggran Eko Budianto)
|
Dalam bukunya berjudul Medan Bhakti Sang Kyai: Perjuangan Kyai Muhammad Nawawi, Ayuhanafiq menjelaskan tentara Inggris mulai berdatangan di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya pada Oktober 1945. Pasukan Sekutu itu ditumpangi Netherlands Indies Civil Administration (NICA) atau otoritas sipil dan militer Belanda. Kala itu NICA dipimpin Van Mook.
Kondisi ini membuat KH Hasyim Asy'ari, pendiri NU sekaligus Ponpes Tebuireng di Desa Cukir, Diwek, Jombang menggelar rapat di kantor pusat Ansor Nahdlatul Oelama (ANO) di Jalan Bubutan, Surabaya 22 Oktober 1945 malam. ANO kini menjadi Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor). Rapat tersebut melibatkan para ketua NU dari berbagai daerah di Jawa dan Madura.
Kakek Gus Dur itu membuka rapat dengan khotbah iftitah. KH Hasyim menyampaikan kewajiban umat Islam, pria maupun wanita, dalam berjihad mempertahankan kemerdekaan bangsa dan tanah airnya. Selanjutnya rapat dipimpin Kiai Wahab Hasbullah, Ketua Besar Hoofdbestuur Nahdlatul Oelama (HBNO) atau PBNU untuk membahas khotbah Mbah Hasyim. Selanjutnya Kiai Wahab merumuskan fatwa yang dihasilkan para kiai dalam bentuk Resolusi Jihad.
"Keesokan harinya (23 Oktober 1945), semua peserta rapat yang kembali ke daerahnya masing-masing membawa teks Resolusi Jihad untuk diperbanyak dan disebarkan," terang Ayuhanafiq dalam bukunya yang dikutip detikJatim, Kamis (15/12/2022).
Kiai Nawawi pun memerintahkan KH Achyat Chalimi menyosialisasikan Resolusi Jihad sekaligus merekrut pasukan di Mojokerto. Kala itu Kiai Achyat menjabat Ketua ANO sekaligus Pembantu Umum Laskar Hizbullah Mojokerto. Ia memobilisasi para santri anggota Ansor agar bergabung dengan Hizbullah di masing-masing kecamatan. Latihan fisik pun digelar. Selanjutnya KH Moenasir Ali dari Pekukuhan, Mojosari, Mojokerto dipercaya menjadi koordinator pengiriman Laskar Hizbullah ke Surabaya.
"Meskipun jihad hukumnya wajib, Kiai Nawawi melihat tidak bisa disamaratakan begitu saja. Kewajiban itu utamanya berlaku bagi yang mampu, dalam hal ini mereka yang memiliki fisik yang baik," jelas Ayuhanafiq.
Situasi di Kota Pahlawan kian memanas karena datangnya pasukan tambahan dari Inggris, Brigade ke-49 Divisi India. Pasukan yang dipimpin Brigadir Jenderal AWS Mallaby ini terdiri dari 3 batalyon infanteri yang mayoritas personilnya orang Gurkha, India. Menurut Ayuhanafiq, keesokan harinya, 26 Oktober 1945, Inggris mengeluarkan ultimatum pengambilalihan pemerintah RI yang baru diproklamirkan 17 Agustus 1945. Mereka meminta para pejuang menyerahkan senjatanya atau ditembak mati.
"Tanggal 27 Oktober 1945, matahari Surabaya baru saja muncul di timur, sinar matahari itu beriringan dengan bunyi tembakan ke arah kubu pertahanan tentara Inggris. Pertempuran meletus di Surabaya," cetusnya.
Situasi di Surabaya yang tak terkendali, memaksa Wali Kota Radjamin Nasution menggalang bantuan sampai ke Bupati Mojokerto, dr Soekandar. Para tokoh dan ulama pun dikumpulkan di markas Laskar Hizbullah Mojokerto di bekas markas Garnisun Jepang. Kini gedung di sebelah utara alun-alun tersebut menjadi Markas Kodim 0815 Mojokerto. KH Nawawi yang ikut hadir di pertemuan itu menjadi teladan para pejuang.
"Permintaan bantuan itu disambut Kiai Nawawi dengan berdiri menyatakan diri siap maju perang ke Surabaya. Pada akhirnya muncul kesediaan dari kekuatan yang ada di Mojokerto untuk membantu sepenuhnya perjuangan di Surabaya," ungkapnya.
Semangat warga Mojokerto untuk ikut bertempur di Surabaya kala itu, lanjut Ayuhanafiq sangat luar biasa. Mereka berkumpul di alun-alun untuk diberangkatkan ke Kota Pahlawan. Mayoritas para pejuang hanya membawa senjata tajam dan bambu runcing. Pemberangkatan Laskar Hizbullah Mojokerto diatur KH Moenasir Ali. Selain itu, Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang dipimpin R Soemardjo juga ikut ke Surabaya.
Kiai Nawawi berangkat bertempur di hari yang sama bersama Kiai Mansur, Kiai Abdul Jabbar, Kiai Ridwan, dan lainnya. Ulama yang lahir di Lespadangan, Desa Terusan, Gedeg, Kabupaten Mojokerto tahun 1886 itu menjadi Komandan Barisan Sabilillah Karesidenan Surabaya di Mojokerto. Ketua Hizbullah Mojokerto Mansyur Sholikhi mengawal para kiai. Selanjutnya mereka bergabung dengan Barisan Sabilillah dari daerah lainnya yang sudah berkumpul di Surabaya.
"Sejak saat itu Kiai Nawawi senantiasa hadir dalam berbagai kesempatan ikut bertempur di garis depan. Keberadaannya membawa dampak naiknya semangat juang para santri yang mendapatkan serangan dan terdesak hujan peluru lawan," terangnya.
Di medan pertempuran, menurut Ayuhanafiq para kiai asal Mojokerto selalu dikawal Kompi IV Hizbullah Mojokerto yang dipimpin KH Achyat Chalimi, warga Kelurahan Mentikan, Prajurit Kulon, Kota Mojokerto. Masing-masing kiai didampingi satu regu yang terdiri dari 10 anggota Hizbullah. Begitu pula dengan Kiai Nawawi. Di tengah kesibukannya berperang, putra pasangan Munadi dan Khalimah ini pulang setiap petang untuk mengajar mengaji di Langgar Jagalan.
Musala tersebut kini sudah menjadi satu dengan Masjid As Syuhada' di Ponpes Tarbiyah Tahfidhul Qur'an An Nawawy di Jalan Gajah Mada nomor 118, Kelurahan Jagalan, Kranggan, Kota Mojokerto. Pesantren ini didirikan KH Ismail Nawawi, putra KH Nawawi sekitar tahun 1968.
"Kiai Nawawi memberi contoh dengan ikut terjun ke garis depan bersama pejuang lainnya. Beliau menjalaninya sendiri menghadapi musuh yang bersenjata api. Keberanian yang tentu saja membuat santri yang menyertai ikut terangkat semangatnya," jelasnya.
Ayuhanafiq menuturkan Kiai Nawawi selalu berada di garis depan pertempuran. Ulama pemberani tersebut hanya bersenjatakan pistol, payung dan serban. Ia mampu menembak sambil berlari layaknya penembak handal. Payung dan serban ia gunakan untuk menangkis peluru dari senapan musuh. Ketika diberondong tembakan, ia memerintahkan para santri berlindung di belakangnya.
Meski dibekali senjata modern, kata Ayuhanafiq, tentara Inggris nyaris binasa di tangan para pejuang dalam pertempuran 3 hari, 27-29 Oktober 1945. Kedatangan Ir Soekarno, Presiden RI pertama ke Surabaya yang menyelamatkan mereka. Tak dapat dipungkiri para santri berbondong-bondong bertempur di Surabaya karena efek Resolusi Jihad. Berada di gadis depan pertempuran terus dilakoni Kiai Nawawi sampai akhir hanyatnya.
"Akhir November 1945 ketika para pejuang memutuskan meninggalkan Kota Surabaya dalam keadaan luluh lantak, Kiai Nawawi tetap setia di garis pertahanan untuk menghambat gerak maju musuh di selatan Surabaya, dari Kedamean-Sepanjang dan Waru. Setelah Surabaya jatuh, basis utama perjuangan dipindahkan ke Mojokerto," tegasnya.
Sementara Isno Woeng Sayun dalam bukunya berjudul Biografi Kiai Mojokerto menjelaskan Wali Kota Surabaya menggalang bantuan dari para kiai di Mojokerto. Para kiai diajak berjuang di garis depan untuk mendampingi para pemuda yang sedang berjuang agar mereka tetap semangat, tabah dan ulet menghadapi gempuran tentara Sekutu atau Inggris. Kiai Nawawi pun menyatakan kesiapannya bertempur di garis paling depan melawan pasukan Belanda dan Sekutu.
"Makin hari kota Surabaya semakin kacau akibat pengeboman tentara Inggris melalui darat, laut dan udara. Penduduk yang selamat berbondong-bondong mengungsi meninggalkan Surabaya. Sedangkan mereka yang bernasib naas, mayatnya bergelimpangan di mana-mana. Gedung-gedung dan rumah-rumah hancur dan terbakar," tandas Ketua PC Lembaga Ta'lif wan Nasyr (LTN) NU Kabupaten Mojokerto ini.
Kisah Kesaktian KH Nawawi di Medan Pertempuran, Kebal Peluru-Kerikil jadi Bom
Tetenger Jalan KH Nawawi di Mojokerto (Foto: Enggran Eko Budianto)
|
"Mbah Nawawi itu kebal, ditembak tidak mempan. Kalau perang, santrinya dibawai kerikil. Ternyata kerikil itu ketika dilemparkan menjadi bom," kata Cucu Menantu KH Nawawi, M Qodri saat berbincang dengan detikJatim di rumahnya, Jagalan 2, Kelurahan Jagalan, Kranggan, Kota Mojokerto, Kamis (8/12/2022).
Ketika bertempur di Surabaya bersama Laskar Hizbullah untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Kiai Nawawi menjabat Komandan Barisan Sabilillah Karesidenan Surabaya di Mojokerto. Namun, sebagai cucu menantu, Qodri tak tahu persis bagaimana kakeknya itu mencapai ilmu karamah.
"Mungkin beliau tirakat sendiri, orang dulu kan pintar tirakat. Karamahnya beliau tinggi. Beliau tokoh yang sangat disegani, beliau sangat berani. Di samping seorang kiai, beliau pejuang dan pekerja keras," jelasnya.
Kesaktian KH Nawawi juga dikisahkan cucunya, Ahmad Wahid (63). Putra Kiai Ismail Nawawi ini menuturkan kakeknya itu kebal peluru. "Ditembaki tidak mempan. Karena peluru kan panas, hanya jubahnya yang berlubang," cetusnya.
Kisah karamah Kiai Nawawi juga didengar Wahid dari mantan anak buah kakeknya, almarhum Sueb. Menurutnya pejuang asal Desa Bicak, Trowulan, Mojokerto itu pernah dibekali 7 kerikil oleh Kiai Nawawi ketika akan berangkat ke medan pertempuran. Rupanya kerikil itu bisa meledak saat dilemparkan.
"Ketika di garis pertempuran, beliau memakai payung sebagai tameng dari tembakan Belanda," cetusnya.
Penulis Sejarah Mojokerto Ayuhanafiq menjelaskan Kiai Nawawi sosok yang santun. Perawakannya kecil dan tidak berotot. Gaya bicaranya kalem, wajahnya penuh senyum. Namun, beliau berkharisma sehingga disegani. Pendiri NU Mojokerto ini juga mempunyai kesaktian.
"Sebab Kiai Nawawi telah menjadi murid Kiai Zainuddin Mojosari dan sekaligus berguru pada Kiai Kholil Kademangan, dua kiai yang dikenal sakti," jelas Ayuhanafiq dalam bukunya berjudul Medan Bhakti Sang Kyai: Perjuangan Kyai Muhammad Nawawi.
Ketika pertempuran 3 hari pecah di Surabaya pada 27 Oktober 1945, Walikota Surabaya Radjamin Nasution meminta bantuan para kiai atau Barisan Sabilillah. Tanpa ragu, KH Nawawi menyatakan kesiapannya untuk bertempur di garis depan. Ia pun berangkat ke medan perang dikawal regu dari Kompi IV Laskar Hizbullah Mojokerto. Begitu juga kiai lainnya.
"Saat berada di garis depan, senjata Kiai Nawawi hanya sepucuk pistol, payung dan serban," terangnya.
Menurut Ayuhanafiq, Kiai Nawawi mampu menembakkan pistol sambil berlari layaknya penembak ulung. Payung dan serban hanya ia putar-putar untuk menangkis peluru dari moncong senjata serdadu Belanda. "Saat menerima serangan tembakan, santri diminta berlindung di belakangnya yang sedang memutar payung atau mengibas-kibaskan serban hingga proyektil peluru tertangkis jatuh ke tanah," ungkapnya.
Tidak hanya itu, lanjut Ayuhanafiq, Kiai Nawawi dengan kesaktiannya juga membekali para santri yang ikut berperang dengan jimat keselamatan. Sehingga semangat juang mereka kian melejit. Pasukan Hizbullah Mojokerto yang diberangkatkan ke Surabaya oleh KH Moenasir Ali lebih dulu dibaiat siap gugur sebagai syuhada. Sebab mayoritas para santri itu hanya membawa senjata tajam. KH Nawawi lantas memberikan kain rajah kepada para santri.
"Dengan membawa kain yang diikatkan pada tubuhnya itu, seseorang bisa terlepas dari bahaya, termasuk tembakan peluru. Memang terbukti santri yang diberi kain rajah itu tidak ada yang gugur di medan pertempuran," ujarnya.
Selama ikut berperang, terang Ayuhanafiq, Kiai Nawawi selalu pulang dari garis depan pertempuran ketika petang. Sebab ia mengajar mengaji anak-anak di Langgar Jagalan, sebuah musala yang ia bangun sendiri di Jalan Gajah Mada nomor 118, Kelurahan Jagalan, Kranggan, Kota Mojokerto. Keesokan harinya setelah salat subuh, ia mengajak para santri mengaji di musala itu.
Selanjutnya, Kiai Nawawi membagikan kerikil kepada para santri di teras musala. Setiap santri yang akan berperang diberi 7 kerikil agar dikantongi di saku celana masing-masing. Pada suatu saat, ia mengajak regu pengawalnya ke garis pertempuran di Sepanjang, Sidoarjo.
Santri bernama Akhmad Syueb berpisah dengan rombongan Kiai Nawawi. Ia dan rombongannya berjalan kaki dari Stasiun Perning menuju Krian, lalu ke Sepanjang. Di tengah perjalanan, rombongan ini istirahat sejenak melepas lelah. Kala itu Syueb iseng mengeluarkan satu kerikil dari saku celananya, lalu melemparkannya begitu saja. Ternyata kerikil itu meledak layaknya sebuah granat ketika menyentuh tanah.
"Setelah tahu ledakan itu berasal dari kerikil, baru mereka (Syueb dan rombongannya) sadar bila kerikil di kantongnya itu bukan kerikil biasa," tandasnya.
Cerita Pertempuran Terakhir KH Nawawi Wafat Sebagai Syuhada di Tangan Penjajah
Makam KH Nawawi di Lingkungan Mangunrejo, Dusun Simpang Baru, Desa Sidoharjo, Gedeg, Kabupaten Mojokerto (Foto: Enggran Eko Budianto)
|
Pertempuran 3 hari di Surabaya pecah 27 Oktober 1945 pasca militer Inggris mengeluarkan ultimatum sehari sebelumnya. Pasukan Sekutu bersikeras mengambil alih pemerintah Republik Indonesia yang telah memproklamasikan kemerdekaan 17 Agustus 1945. Selain itu, mereka meminta para pejuang menyerahkan senjata jika tak ingin ditembak mati.
Keadaan yang kacau di Kota Pahlawan akibat pertempuran itu, memaksa Wali Kota Surabaya Radjamin Nasution menggalang bantuan. Salah satunya dari Mojokerto. Ia meminta para kiai ikut maju ke garis depan pertempuran setidaknya untuk melecut semangat juang para pemuda. Tanpa ragu, Kiai Nawawi dan ulama lainnya memutuskan ikut bertempur di front paling depan. Padahal, kala itu usianya sudah 59 tahun.
Tidak hanya itu, ulama kelahiran Lespadangan, Desa Terusan, Gedeg, Kabupaten Mojokerto ini tetap menunaikan tugasnya mengajar mengaji anak-anak di Langgar Jagalan. Ya, suami Nyai Nafisah ini mendirikan sebuah musala di Jalan Gajah Mada, Kelurahan Jagalan, Kranggan, Kota Mojokerto untuk mengamalkan ilmunya.
Kiai Nawawi menghabiskan sekitar 20 tahun menimba ilmu di sejumlah pesantren Jatim dan Madura. Setiap petang ia pulang dari garis depan pertempuran. Perjuangannya terhenti pada 22 Agustus 1946. Ia wafat di tangan serdadu Belanda di Dusun Sumantoro, Desa Plumbungan, Sukodono, Sidoarjo.
"Beliau langsung menuju front Kletek, Sidoarjo. Tatkala terjadi pertempuran sengit di Dukuh Sumantoro, belasan tentara Belanda membentuk tapal kuda, mengepung KH Nawawi dan pasukannya. Begitu tentara Belanda berhasil mendekati KH Nawawi, mereka langsung menghujamkan pisau bayonet hingga berujung ke syuhadanya KH Nawawi," terang Isno Woeng Sayun dalam bukunya berjudul Biografi Kiai Mojokerto yang dikutip detikJatim, Jumat (9/12/2022).
Ketua PC Lembaga Ta'lif wan Nasyr (LTN) NU Kabupaten Mojokerto ini menjelaskan pasukan Hizbullah dan Sabilillah mengevakuasi jenazah Kiai Nawawi ke Stasiun Krian, Sidoarjo. Selanjutnya jenazah syuhada itu dinaikkan kereta api menuju Stasiun Mojokerto. Ulama pemberani itu dimakamkan di Makam Lingkungan Mangunrejo di Dusun Simpang Baru, Desa Sidoharjo, Gedeg, Kabupaten Mojokerto.
"Untuk menghormati dan mengenang darmabaktinya, Pemkot Mojokerto mengabadikan perjuangan KH Nawawi menjadi nama sebuah jalan. Jalan ini menghubungkan Jalan Residen Pamudji dengan Jalan Bhayangkara pada 30 Maret 1967," jelas Isno.
Cucu Menantu KH Nawawi, M Qodri menuturkan kakeknya itu menggunakan karomahnya untuk berperang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Putra pasangan Munadi dan Khalimah itu terkenal kebal peluru. Kiai Nawawi juga membekali para santrinya yang ikut berperang dengan kerikil yang bisa meledak ketika dilempar layaknya granat. Penghianatan yang menurutnya membuat ulama pemberani itu bisa terbunuh.
"Ketika itu katanya menurut cerita ada teman seperjuangannya yang tahu kelemahan Mbah Nawawi, berhianat menyampaikan kelemahan Kiai Nawawi ke Belanda," cetusnya.
Di usianya yang sudah 60 tahun, Kiai Nawawi menjadi Komandan Barisan Sabilillah Karesidenan Surabaya di Mojokerto, yaitu barisan pejuang dari unsur kiai. Dalam pertempuran di Dusun Sumantoro, ia berhasil dikepung serdadu Belanda hingga terbunuh. Menurut Qodri, penyebab wafatnya Kiai Nawawi masih simpang siur. Namun, Sang Kiai mampu membunuh ratusan tentara penjajah sebelum ajalnya tiba.
"Ada yang bilang Mbah Nawawi ditembak dengan peluru emas, ditembak telapak kakinya, versi lain ditusuk bayonet. Yang jelas menurut cerita warga setempat, beliau bisa membunuh sekitar 200 serdadu Belanda sebelum meninggal," ungkapnya.
Sedangkan Ayuhanafiq dalam bukunya Medan Bhakti Sang Kyai: Perjuangan Kyai Muhammad Nawawi menjelaskan Kiai Nawawi merupakan tokoh yang paling dicari serdadu NICA atau Belanda. Sebab setelah Maret 1946, militer Inggris sudah ditarik dari Indonesia. Bantuan persenjataan modern dari Amerika Serikat membuat militer penjajah mampu mendesak para pejuang ke Krian dan Sukodono, Sidoarjo sekitar Mei 1946. Kiai Nawawi pun terpaksa memilih bertahan di Sukodono.
Di usianya yang tergolong senja, Kiai Nawawi masih kuat berjalan kaki setiap hari dari kediamannya di Kota Mojokerto menuju Sukodono melalui Tarik. Karena setiap petang ia pulang untuk mengajar mengaji. Kala itu, Laskar Hizbullah Mojokerto yang dipimpin Amir Efendi dan Hizbullah Sidoarjo yang dipimpin Sami'un Somadi mempertahankan Krian dan Sukodono. Sedangkan wilayah Buduran di bawah kendali Hizbullah Malang yang dipimpin Muchlas Rowi dan Saiful Islam.
Usai mengisi pengajian di Langgar Jagalan 22 Agustus 1946 pagi, Kiai Nawawi bertolak ke garis depan pertempuran di Sukodono dengan berjalan kaki. Ia dikawal satu regu berjumlah 7 orang dari Kompi IV Hizbullah Mojokerto. Yaitu Ahmad Syueb dari Bicak, Trowulan, Abdul Rokhim dari Banjarsari Jetis, Zainal Mahmud dari Miji, Kota Mojokerto, Kusnan Itek dari Brangkal, Sooko, Kusnan Tuwek dari Mojosari, Arbi dari Miji, Kota Mojokerto, serta Iskhaq dari Nglinguk, Trowulan.
Sekitar pukul 07.00 WIB, Kiai Nawawi dan pengawalnya mendekati simpang 4 Sukodono. Ketika itu di lokasi, pertempuran sengit terjadi antara pasukan Amir dengan serdadu Belanda yang datang dari arah utara. Melihat kedatangan Kiai Nawawi, Laskar Hizbullah memberikan perlindungan dengan menggencarkan serangan ke musuh dari sisi selatan Jembatan Sukodono.
"Selanjutkan Amir berteriak meminta Kiai Nawawi berlindung dari tembakan dan bersiap untuk mundur. Jarak keduanya terpisah puluhan meter. Namun, dijawab Kiai Nawawi, 'Jangan mundurβ¦.jangan mundur'," terangnya.
Kondisi itu dimanfaatkan pasukan Belanda menjauhkan Kiai Nawawi dari Laskar Hizbullah Mojokerto. Mereka terus mendesak Amir dan pasukannya menjauh dari Kiai Nawawi. Pasukan lainnya memberondong Kiai Nawawi dan pengawalnya di sebelah barat Jembatan Sukodono dengan tembakan. Ulama kelahiran 1886 itu mampu menangkis peluru musuh menggunakan payung dan serban. Sedangkan pasukan pengawalnya yang juga terdesak harus mencari tempat berlindung.
Sehingga mereka semakin menjauh dari Kiai Nawawi. Meski tak terluka, ia kian terdesak oleh rentetan tembakan serdadu Belanda. Ia pun mundur ke kebun bambu di belakang rumah H Mustofa di Dusun Sumantoro. Satu regu pasukan penjajah berhasil mengepungnya yang kala itu seorang diri. Pertarungan jarak dekat pun tak terhindarkan. Kiai Nawawi yang kala itu berusia 60 tahun akhirnya tumbang dikeroyok tentara musuh.
"Setidaknya empat tusukan bayonet yang membuat Kiai Nawawi menghembuskan napas terakhir. Salah satu tusukan bayonet mengenai lehernya," jelas Ayuhanafiq.
Bantuan dari Lazkar Hizbullah daerah lain membuat pasukan Amir berhasil mengatasi musuh. Mereka lantas mendatangi lokasi Kiai Nawawi. Ternyata sejumlah serdadu Belanda berdiri mengelilingi jenazah Kiai Nawawi. Para pejuang pun segera menghabisi tentara musuh untuk mengevakuasi Sang Syuhada ke tempat aman. Sehingga jasad ulama pemberani itu tak pernah ditemukan musuh yang berambisi membunuhnya. Menurut Ayuhanafiq, jenazah Kiai Nawawi berhasil dibawa ke Stasiun Tarik secara sembunyi-sembunyi.
"Selepas salat asar, rombongan tersebut bisa memindahkan jenazah Kiai Nawawi.dari keranda ke dalam kereta api. Tidak lama setelah kereta berangkat, pesawat terbang Belanda mendekat ke kereta. Pesawat disambut tembakan dari senapan mesin yang ada di gerbong belakang. Pesawat pun pergi," ungkapnya.
Sampai di Stasiun Mojokerto, lanjut Ayuhanafiq jenazah Kiai Nawawi disambut ribuan orang. Jenazahnya langsung disemayamkan di Langgar Jagalan. Para pelayat yang datang untuk membaca tahlil sampai meluber ke Jalan Gajah Mada. Keesokan harinya, 23 Agustus 1946, jenazah syuhada itu dimakamkan di Makam Lingkungan Mangunrejo. Ya, sebab Kiai Nawawi bepersan agar tidak dikebumikan di taman makam pahlawan.
"Pemakaman berlangsung haru. Ribuan pelayat berdatangan dari berbagai penjuru. Mereka menjadi saksi bahwa Kiai Nawawi adalah syuhada yang gugur membela negara. Besarnya perhatian rakyat Mojokerto saat pemakaman berlangsung menunjukkan betapa beliau sangat dihormati," cetusnya.
Ayuhanafiq berpendapat gugurnya Kiai Nawawi tak lepas dari peran mata-mata pribumi yang kala itu disebut Londo Ireng. Sebab serdadu Belanda membunuh Kiai Nawawi dengan bayonet, bukanlah cara yang lazim mereka lakukan. Selain itu, serangan pasukan kolonial ke Sukodono sengaja dilakukan untuk menghabisi Kiai Nawawi. Karena mereka lebih dulu menerima informasi rencana kedatangan ulama sakti tersebut.
"Ada peran mata-mata dalam peristiwa itu, ada orang yang menjadi spion yang memberi informasi bahwa Kiai Nawawi tidak mempan peluru. Karenanya harus dimatikan dengan cara jarak dekat," tandasnya.
Kenangan Abadi KH Nawawi di Mojokerto: Jadi Nama Jalan-Tapak Tilas Perjuangan
Foto: Enggran Eko Budianto
|
Pemkot Mojokerto menetapkan nama KH Nawawi menjadi nama jalan pada 30 Maret 1967. Jalan KH Nawawi membentang dari Jalan Residen Pamudji di utara sampai ke Jalan Bhayangkara di selatan. Penetapan nama jalan tersebut dituangkan dalam Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Mojokerto nomor 8/DPRD/67.
Tidak hanya itu, perjuangan Kiai Nawawi terus dikenang melalui berbagai cara oleh masyarakat Mojokerto. Salah satunya melalui tapak tilas perjuangan Kiai Nawawi yang rutin digelar bersamaan dengan Hari Pahlawan 10 November.
Tapak tilas diawali dengan semaan Al-Qur'an di Masjid As Syuhada' di Ponpes Tarbiyah Tahfidhul Qur'an An Nawawy di Jalan Gajah Mada nomor 118, Kelurahan Jagalan, Kranggan, Kota Mojokerto pada 7 November.
Pesantren yang didirikan putra Kiai Nawawi, Kiai Ismail Nawawi sekitar 1968 itu dulunya Langgar Jagalan. Yaitu musala yang dibangun Kiai Nawawi untuk mengajar mengaji anak-anak Jagalan dan sekitarnya.
![]() |
Keesokan harinya, 8 November, tapak tilas dilanjutkan dengan upacara ziarah makam KH Nawawi di Dusun Simpang Baru, Desa Sidoharjo, Gedeg, Kabupaten Mojokerto. Barulah pada 9 November malam, peserta tapak tilas perjuangan KH Nawawi diberangkatkan dari Dusun Sumantoro, Desa Plumbungan, Sukodono, Sidoarjo.
Di kampung inilah ulama kelahiran Dusun Lespadangan, Desa Terusan, Gedeg, Kabupaten Mojokerto itu gugur pada 22 Agustus 1946. Putra pasangan Munadi dan Khalimah itu wafat di tangan serdadu Belanda ketika berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
"Kiai Nawawi gugur saat menjadi Komandan Barisan Sabilillah Karesidenan Surabaya di Mojokerto," kata cucu menantu KH Nawawi, M Qodri saat berbincang dengan detikJatim di rumahnya, Jagalan 2, Kelurahan Jagalan, Jumat (9/12/2022).
Laskar Hizbullah dan Sabilillah lantas mengusung jenazah Kiai Nawawi ke rumah duka di Jalan Gajah Mada nomor 118 yang kini menjadi Ponpes Tarbiyah Tahfidhul Qur'an An Nawawy. Oleh sebab itu, rombongan tapak tilas berjalan kaki dari Dusun Sumantoro ke Jalan Gajah Mada di depan pesantren tersebut. Lokasi finish ini sekaligus di depan Kantor Wali Kota Mojokerto.
"Tapak tilas dari lokasi wafatnya Kiai Nawawi di Dusun Sumantoro, lalu jenazahnya dibawa ke Mojokerto. Itu dipakai landasan untuk tapak tilas dengan berjalan kaki dari Sumantoro sampai depan Kantor Wali Kota," terang Qodri.
![]() |
Ia menjelaskan tapak tilas Perjuangan KH Nawawi mulai digelar GP Ansor Kota Mojokerto sekitar tahun 1983. Tak lama kemudian, tradisi ini sempat vakum. Tapak tilas dilanjutkan keluarga Kiai Nawawi sampai diambil alih Pemkot Mojokerto.
"Ketika Wali Kotanya KH Masud Yunus (2013-2018), tapak tilas diminta menjadi kegiatan Pemkot Mojokerto dan dianggarkan," ungkap Qodri.
Tapak tilas perjuangan KH Nawawi lagi-lagi terhenti. Kali ini karena Pandemi COVID-19. Tradisi ini terakhir kali digelar Pemkot Mojokerto tahun 2019. Selain keberaniannya dalam berjuang, ada hal lain yang patut diteladani dari Kiai Nawawi.
Ia menolak dimakamkan di taman makam pahlawan karena ketulusannya berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
"Memang pesan beliau minta dimakamkan di pemakaman umum. Beliau tidak ingin dihormati, orangnya tulus dan ikhlas dalam berjuang demi bangsa dan negara," tandas Qodri.