Kesederhanaan Kamas Setiyoadi Hingga Wafat, Tolak Dikubur di Makam Pahlawan

Urban Legend

Kesederhanaan Kamas Setiyoadi Hingga Wafat, Tolak Dikubur di Makam Pahlawan

Enggran Eko Budianto - detikJatim
Rabu, 12 Okt 2022 09:43 WIB
kamas setiyoadi
Makam Kamas Setiyoadi di Makam Umum Desa Kedungmaling, Sooko, Kabupaten Mojokerto (Foto: Enggran Eko Budianto)
Mojokerto -

Perjuangan Kapten Kamas Setiyoadi bersama Kompi Kucing Hitam (The Black Cat) mempertahankan kemerdekaan RI patut dikenang sepanjang zaman. Kamas merupakan pejuang sederhana yang tak gila penghargaan. Bahkan, di akhir hayatnya ia menolak jenazahnya dikubur di taman makam pahlawan (TMP) seperti pejuang lainnya.

Pria bertubuh tambun penjaga makam itu bergegas menghentikan sejenak kesibukannya menyapu dedaunan di Makam Umum Desa Kedungmaling, Sooko, Kabupaten Mojokerto. Dengan ramah ia menunjukkan peristirahatan terakhir Kamas Setiyoadi. Desiran angin menyapu dedaunan memecah keheningan di area makam.

Sangat sederhana. Itulah kata yang terbersit tatkala menilik makam Kamas Setiyoadi. Ya, makam Komandan Kompi Kucing Hitam itu hanya berhias kijing dan batu nisan berbahan semen. Di salah satu sisi kijing tertulis jelas namanya yang wafat Minggu Wage, 12 Oktober 1980. Persis di sebelahnya adalah makam sang istri, Amanah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Meski berhak mendapatkan fasilitas pemakaman di makam pahlawan, Kamas berpesan agar jasadnya dikebumikan di pemakaman umum saja," kata Penulis Sejarah Mojokerto Ayuhanafiq kepada detikJatim, Rabu (12/10/2022).

Ini salah satu bukti kesederhanaan Kapten Kamas. Sebagai pejuang yang sepak terjangnya ditakuti Penjajah Belanda, ia menolak dimakamkan di TMP. Pria yang lahir di Desa Sambiroto, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto 28 September 1927 itu dipercaya memimpin Kompi Kucing Hitam sejak 25 Desember 1948. Yakni beberapa hari setelah Belanda kembali menguasai Indonesia melalui agresi militer II pada 19 Desember 1948.

ADVERTISEMENT

Ayuhanafiq menjelaskan Kamas melanjutkan karir militernya setelah Belanda mengembalikan kedaulatan NKRI pada 27 Desember 1949. Ia menempuh pendidikan sebagai pelatih infanteri selama 1 tahun. Setelahnya, ia menjadi Komandan Batalyon Pendidikan VI di Jember dengan pangkat Kapten. Sebelum memilih pensiun dini, ia menempati posisi perwira Resimen 19 di Jember.

kamas setiyoadiPemakaman Umum Desa Kedungmaling, Sooko, Kabupaten Mojokerto tempat Kamas Setiyoadi dimakamkan (Foto: Enggran Eko Budianto)

"Kamas lalu balik ke Mojokerto untuk memulai profesi baru sebagai pemborong," jelasnya.

Berdasarkan dokumen-dokumen yang masih disimpan putri kandung Kamas, Sri Hastoeti (62), Komandan Kompi Kucing Hitam itu pensiun dini sebagai tentara pada 1 Juli 1959. Kamas pensiun dengan pangkat Mayor. Pemilik NRP 16721 ini terakhir kali berdinas di Kesatuan DBI VI Jember atau kesatuan pendidikan tentara pada masa itu.

Setelah pensiun di usia 32 tahun, menurut Sri Kapten Kamas menekuni sejumlah profesi baru. Mulai dari menjadi kontraktor atau pemborong, menyewakan truk untuk angkutan barang, pertunjukan ilmu kebal, sampai bisnis perkebunan jeruk di Desa Sentonorejo, Trowulan, Mojokerto.

"Bapak sering rugi, tapi terus bangkit dan berjuang. Bapak tidak pernah putus asa. Ketika itu cocoknya berkebun jeruk, jeruknya bisa enak dan laku keras," terangnya kepada detikJatim di rumahnya, Jalan Raya Brangkal nomor 1, Desa Kedungmaling, Sooko, Mojokerto.

Kapten Kamas wafat di usia yang terbilang masih muda, yaitu 53 tahun. Tiga tahun sebelum wafat, putra pasangan Prawiroharjo dan Sriyatun itu didiagnosa sakit liver sampai muntah darah. Namun, ia masih rajin melatih bela diri dan melakukan atraksi ilmu kebal.

"Bapak tidak mau menyerah, namanya juga pejuang. Akhirnya penyakitnya tambah parah. Sekitar 3 tahun kemudian meninggal di RKZ Surabaya," ungkap Sri.

Kamas meninggalkan 5 anak dari pernikahannya dengan Amanah. Putra sulungnya, Prastyo dan anak keempatnya Dian Ambarwati meninggal di usia 50an tahun. Sri merupakan anak kedua. Sedangkan anak ketiga dan kelima Kamas yaitu Isnaeni (60) dan Poedjio Pramono (56).

Di mata Sri, Kamas merupakan sosok ayah yang sangat sederhana dan rela berjuang untuk negara tanpa pamrih. Salah satu buktinya adalah ia menolak jenazahnya dimakamkan di TMP. Karena Kamas ingin kuburannya dekat dengan keluarga dan murid-muridnya di kesenian bela diri.

"Pesan bapak dulu tidak mau dimakamkan di TMP, beliau ingin di sebelah ibunya. Makamnya supaya biasa saja, orangnya sederhana memang. Tanpa gelar pahlawan juga tidak masalah, saya sendiri tidak ingin. Yang penting berbuat baik di dunia, orang akan tahu sendiri," cetusnya.

Semasa hidupnya, Kapten Kamas Setiyoadi memimpin Kompi The Black Cat untuk merebut kemerdekaan dari Belanda yang melakukan agresi militer II pada 19 Desember 1948. Kompi itu dibentuk pada 25 Desember 1948 untuk menunaikan tugas langsung dari Komandan Divisi Jawa timur Kolonel Sungkono. Yaitu mengacaukan keamanan wilayah-wilayah yang dikuasai penjajah.

Meski anggotanya kurang dari 75 orang, Kompi Kucing Hitam berulang kali melakukan rangkaian teror, sabotase dan penyerangan terhadap pasukan Belanda maupun pribumi yang loyal terhadap penjajah. Oleh sebab itu The Black Cat sangat ditakuti Belanda. Terlebih lagi Kapten Kamas sangat licin sehingga tak bisa ditangkap. Puncaknya pada November 1949, pasukan ini berhasil menguasai wilayah Mojokerto, Bangsal, Puri, Sooko dan Trowulan.




(dpe/iwd)


Hide Ads