Warisan-Wasiat Kamas Setiyoadi untuk Keluarga dan Warga Mojokerto

Urban Legend

Warisan-Wasiat Kamas Setiyoadi untuk Keluarga dan Warga Mojokerto

Enggran Eko Budianto - detikJatim
Rabu, 12 Okt 2022 09:59 WIB
kamas setiyoadi
Rumah peninggalan Kamas Setiyoadi (Foto: Enggran Eko Budianto)
Mojokerto - Kamas Setiyoadi wafat di usia 53 tahun pada 12 Oktober 1980. Komandan Kompi Kucing Hitam (The Black Cat) ini ditakuti Penjajah Belanda pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI 1948-1949. Meski sudah lama tiada, warisannya bisa dinikmati hingga kini.

Lalu lalang kendaraan seakan tak pernah sepi di jalan ini. Toko, minimarket, Pasar Kedungmaling dan permukiman penduduk berjajar di tepinya. Jalan beraspal yang lumayan lebar ini menjadi akses utama masyarakat ke pasar dan menjadi pilihan menuju ke Kota Mojokerto.

Ya, inilah Jalan Kamas Setiyoadi. Jalan ini membentang dari simpang 3 Pasar Kedungmaling lama sampai Dusun/Desa Sambiroto, Sooko, Kabupaten Mojokerto. Ujung selatannya berbatasan langsung dengan Jalan Nasional Madiun-Surabaya. Jalan ini untuk mengenang sekaligus menghargai jasa-jasa pejuang tersebut.

"Untuk menghargai jasanya, nama Kamas Setiyoadi dipakai sebagai nama jalan. Ada juga jembatan di desa Bicak (Kecamatan Trowulan, Mojokerto) yang menggunakan namanya juga," kata Penulis Sejarah Mojokerto Ayuhanafiq kepada detikJatim, Rabu (12/10/2022).

Kapten Kamas juga telah mendirikan perguruan silat Dalikumbang yang menghasilkan banyak pendekar. Kamas juga merupakan pejuang yang sederhana. Ia menolak jenazahnya dikubur di taman makam pahlawan (TMP) layaknya pejuang yang lain. Jenazahnya dikebumikan di Makam Umum Desa Kedungmaling, Sooko, Kabupaten Mojokerto. Tujuannya agar dekat dengan keluarga maupun murid-muridnya yang dulu ia latih bela diri.

Komandan Kompi Kucing Hitam meninggalkan 5 anak dari pernikahannya dengan Amanah. Sang istri juga dimakamkan persis di sebelah kuburannya. Putra sulungnya, Prastyo dan anak keempatnya Dian Ambarwati meninggal di usia 50-an tahun. Sedangkan anak kedua, ketiga dan kelima Kamas adalah Sri Hastoeti (62), Isnaeni (60) dan Poedjio Pramono (56).

kamas setiyoadiKantor KUA yang ada di Jalan Kamas Setiyoadi (Foto: Enggran Eko Budianto)

Putri Kedua Kamas, Sri Hastoeti menuturkan ayahnya sangat keras dalam mendidik anak. Ia tak segan menghukum putra maupun putrinya ketika berbuat nakal. Sang Kapten hanya 2-3 kali bertemu dengan anak-anaknya dalam sepekan. Karena setelah pensiun dini dari militer pada 1 Juli 1959, Kamas sibuk mengurus pekerjaannya. Mulai dari kontraktor, persewaan truk, melatih bela diri, atraksi kekebalan, sampai berkebun jeruk.

"Dalam mendidik anaknya keras, dengan cara militer. Anaknya sendiri takut, apalagi orang-orang tidak ada yang berani. Namun, bapak penyayang sebenarnya. Kalau ada waktu anak-anaknya diajak jalan-jalan ke kebun binatang, ke kolam renang," terangnya.

Sri mempunyai banyak kenangan tak terlupakan dengan Kamas. Ketika masih kecil, ia kerap diminta mencabuti uban bapaknya. Sambil rebahan di kamar, bapak lima anak itu mengisahkan perjuangannya melawan penjajah kepada Sri. Kasih sayang bapaknya kian ia rasakan ketika ia sakit. Kamaslah yang mengobati dan memijat tubuh kecilnya kala itu.

"Kalau nilai sekolah saya bagus dikasih uang dan diajak jalan-jalan. Senangnya beliau nonton ketoprak dan sirkus, anaknya diajak nonton sampai ke Krian naik becak," ungkapnya.

Wasiat Kapten Kamas selalu melekat di pikiran Sri. Putra pasangan Prawiroharjo dan Sriyatun itu berpesan kepada anak-anaknya agar selalu rukun. Ia juga mengajarkan putra putrinya untuk selalu bekerja keras. Buah kerja kerasnya pun bisa dinikmati seluruh anak cucunya sampai sekarang.

kamas setiyoadiRumah peninggalan Kamas Setiyoadi (Foto: Enggran Eko Budianto)

Yaitu berupa tanah yang luasnya hampir 1 hektare di Jalan Raya Brangkal nomor 1, Desa Kedungmaling, Sooko, Kabupaten Mojokerto. Kamas membangun rumah bersama istrinya di tanah yang dulunya berupa kebun angker tersebut tahun 1970-an. Rumah itu ditinggali Sri bersama suami dan 2 anaknya hingga kini. Persis di sebelah kanannya menjadi rumah putra bungsu Kamas. Sedangkan putri ketiganya tinggal di Jember.

"Kebun milik bapak di Desa Sentonorejo (Kecamatan Trowulan, Mojokerto) juga masih ada. Luasnya sekitar 5 hektare, sekarang disewakan untuk ditanami tebu," tandasnya.

Semasa hidupnya, Kapten Kamas Setiyoadi memimpin Kompi The Black Cat untuk merebut kemerdekaan dari Belanda yang melakukan agresi militer II pada 19 Desember 1948. Kompi itu dibentuk pada 25 Desember 1948 untuk menunaikan tugas langsung dari Komandan Divisi Jawa Timur Kolonel Sungkono. Yaitu mengacaukan keamanan wilayah-wilayah yang dikuasai penjajah.

Meski anggotanya kurang dari 75 orang, Kompi Kucing Hitam berulang kali melakukan aksi teror, sabotase dan penyerangan terhadap pasukan Belanda maupun pribumi yang loyal terhadap penjajah. Oleh sebab itu The Black Cat sangat ditakuti Belanda maupun para penghianat. Terlebih lagi Kapten Kamas sangat licin sehingga tak bisa ditangkap.

Puncaknya pada November 1949, pasukan ini berhasil menguasai wilayah Mojokerto, Bangsal, Puri, Sooko dan Trowulan. Perjuangannya Kompi Kucing Hitam yang dikomandoi Kapten Kamas berakhir setelah Belanda mengembalikan kedaulatan NKRI pada 27 Desember 1949.


(dpe/iwd)


Hide Ads