Laskar Hizbullah mempunyai andil besar dalam pertempuran Surabaya 10-30 November 1945. Salah satunya pasukan dari Mojokerto dan Jombang.
Ketua Roode Brug Soerabaia atau komunitas pegiat sejarah Surabaya Satrio Sudarso mengatakan kiprah Laskar Hizbullah dalam pertempuran di Kota Pahlawan terbagi dalam 2 fase. Fase pertama 28-30 Oktober 1945 yang melibatkan Laskar Hizbullah dari Surabaya dan Sepanjang, Sidoarjo. Pertempuran itu menewaskan pimpinan pasukan Inggris Brigjen AWS Mallaby.
"Kiprah Laskar Hizbullah fase pertama ditandai kematian Komandan Pasukan Inggris Brigjen Mallaby. Pasukan Laskar Hizbullah dari Mojokerto dan Jombang belum bergabung," kata Satrio kepada detikJatim, Kamis (10/11/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tewasnya Mallaby membuat pihak Inggris geram. Sehingga menurut Satrio, mereka mengeluarkan ultimatum kepada para pejuang Indonesia pada 9 November 1945. Tentara Inggris meminta para pejuang menyerah paling lambat 10 November pagi. Namun, ultimatum tersebut justru membuat geram para pejuang dari berbagai kelaskaran.
"Fase kedua diawali konsolidasi Laskar Hizbullah Surabaya pada 9 November 1945, harus mendukung kebijakan Gubernur Suryo dan Mayjen Sungkono. Sungkono waktu itu menjabat Komandan Badan Keamanan Rakyat (BKR)," terangnya.
![]() |
Pertempuran 10 November 1945 pun tak terelakkan. Satrio menjelaskan, pagi itu sebuah insiden terjadi di Sawahan, Surabaya. Anggota Laskar Hizbullah Surabaya Ahyat dan M Maksum gugur di tangan tentara sekutu. Kematian mereka memantik semangat juang Laskar Hizbullah dari berbagai daerah di Jatim.
"Insiden itu disiarkan Bung Tomo melalui radio sehingga menggerakkan Laskar Hizbullah se-Jatim untuk berjuang di Surabaya," ujarnya.
Hari itu juga, lanjut Satrio, sekitar 120 pasukan Laskar Hizbullah dari Mojokerto dikerahkan KH Ahyat Chalimi dan Kiai Suhud ke Surabaya. Pasukan ini dipimpin Ahmad Efendi, Subhan dan Ahmad Kosim. Mereka tiba di garis pertempuran di Wonokromo, Surabaya pada 10 November 1945 siang untuk bergabung dengan Laskar Hizbullah dari Sepanjang, Sidoarjo.
"Dalam pertempuran mempertahankan front Wonokromo banyak yang gugur. Sehingga mereka mundur ke Sepanjang, Sidoarjo," jelasnya.
Sedangkan Laskar Hizbullah dari Jombang, kata Satrio baru dikerahkan untuk mengadang pasukan Netherlands Indies Civil Administration (NICA) dan Gurkha di garis pertempuran Buduran, Sidoarjo awal Desember 1945. Pasukan dari Kota Santri ini dipimpin KH Hasyim Latief asal Sepanjang.
"Ketika itu para pejuang di Surabaya mulai terdesak mundur oleh pasukan Sekutu. Memang Laskar Hizbullah dari luar Surabaya dan Sidoarjo ditugaskan membantu kesatuan-kesatuan tertentu. Sehingga waktu pemberangkatan dari daerah tidak sama," ungkapnya.
Penelusur Sejarah Jombang Moch Faisol menuturkan pertempuran Surabaya berlangsung 20 hari, yakni 10-30 November 1945. Pertempuran ini membuat pasukan Sekutu berhasil memukul mundur para pejuang dari berbagai kelaskaran dari Kota Pahlawan. Mulai 1 Desember 1945 para pejuang memilih mundur untuk membuat front pertempuran di Buduran, Sidoarjo.
"Tanggal itu pula (1 Desember 1945) Hizbullah Jombang penugasan pertama ke front Buduran, penugasan resmi dan pengalaman tempur pertama," terangnya.
![]() |
Pria yang juga aktif di Komunitas Pelestari Sejarah (Kompas) Jombang ini menjelaskan pergerakan Laskar Hizbullah dari Kota Santri atas perintah dari markas Divisi Sunan Ampel Surabaya. Menurut Faisol wilayah Divisi tersebut meliputi Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Jombang dan Mojokerto. Putra KH Wahab Chasbullah, KH Wahib Wahab menjadi komandan Divisi Sunan Ampel kala itu.
"Yang dikerahkan 1 batalyon kekuatannya sekitar 1.500 orang. Yang memimpin batalyon adalah Pak Hasyim Latief, posisinya di bawah Pangdiv Wahib Wahab, semacam kepala stafnya," jelasnya.
Batalyon Hizbullah dari Jombang, tambah Faisol, menjalani pertempuran mulai dari Buduran dan Krian di Kabupaten Sidoarjo, sampai ke Driyorejo, Gresik. Tentu saja dengan kelaskaran-kelaskaran lainnya. Di tahun 1946, Laskar Hizbullah masuk ke Tentara Republik Indonesia (TRI) sehingga namanya berubah menjadi TRI Hizbullah.
"Seluruh Laskar Hizbullah karisidenan Surabaya kemudian menjadi 2 batalyon saja. Tahun 1947 Hizbullah dan laskar lainnya gabung dengan TNI. Sehingga menjadi Batalyon 39 Moenasir dan Batalyon 42 Mansur Sholihi. Kemudian 1948 tinggal sepertiga pasukan yang bertahan di TNI karena program Rera," tandasnya.
Simak Video "Video: Menonton Teatrikal 'Kereta Api Terakhir Surabaya' di Stasiun Gubeng"
[Gambas:Video 20detik]
(abq/fat)