Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya merupakan perang terbesar di yang pernah terjadi setelah Indonesia merdeka. Perang meletus selama 3 minggu. Puluhan ribu nyawa melayang, baik dari pejuang maupun tentara sekutu.
Perang tersebut tak serta merta pecah begitu saja. Ada rentetan peristiwa yang mengiringi, sebelum akhirnya terjadi peperangan besar di jantung kota Surabaya.
Baca juga: Serba-serbi 'Pahlawan' di Surabaya |
Inisiator Begandring Soerabaia, salah satu komunitas sejarah di Surabaya, Kuncarsono Prasetyo menjelaskan, waktu itu Inggris sebagai pemenang perang dunia II, sesuai dengan perjanjian, berusaha melucuti senjata lawannya. Salah satunya adalah Jepang yang saat itu menjajah Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Maka kemudian, Inggris datang ke Indonesia untuk melucuti senjata tentara Jepang. Di beberapa kota di Indonesia, Inggris melucuti senjata dengan mulus.
"Hanya di Surabaya, Inggris mendapatkan perlawanan. Waktu Inggris datang, ternyata banyak senjata yang sudah lebih dulu dilucuti oleh pemuda-pemuda Surabaya," jelas Kuncar kepada detikJatim, Kamis (3/11/2022).
Kuncar menambahkan, pada dasarnya gerakan arek-arek Suroboyo terorganisir. Mereka berpengalaman dalam strategi perang karena pernah dilatih Jepang. Senjata yang dipakai dalam peperangan itu pun tak sembarangan. Semuanya adalah hasil lucutan dari tentara Jepang yang saat itu posisinya di Surabaya seperti hidup segan matipun tak mau.
"Jadi nggak benar kalau kita dulu perang pakai bambu runcing. Senjata kita canggih-canggih, ya hasil rampasan dari Jepang," ungkapnya.
Lalu, apa saja rentetan peristiwa penting pertempuran 10 November? Baca halaman selanjutnya.
Ada beberapa kejadian penting yang terjadi sebelum pertempuran 10 November pecah. detikJatim menghimpun 4 peristiwa penting di antaranya.
Berikut rentetan pertempuran 10 November 1945 Surabaya.
1. Perobekan Bendera di Hotel Yamato
Perobekan bendera di Hotel Yamato tak bisa dilepaskan begitu saja dari rentetan pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.
Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Victor Willem Charles Ploegman, mengibarkan bendera Belanda berwarna merah putih biru pada malam 18 September 1945 di puncak Hotel Yamato, namun baru diketahui pada 19 September 1945 pagi.
"Ploegman ini wali kota Surabaya versi Belanda. Dia memang sengaja, ya agak nakal lah," kata Kuncar.
![]() |
Tindakan ini memancing kemarahan arek-arek Suroboyo. Hotel Yamato lalu diserbu para pemuda. Mereka menerobos, memanjat atap hotel dan menurunkan bendera belanda. Warna biru bendera tersebut dirobek hingga jadi merah putih yang kemudian dikibarkan kembali.
Setelah itu, rasa waspada semakin tertanam di hati arek-arek Suroboyo. Mereka tidak percaya dengan orang asing, baik Belanda maupun Jepang yang saat itu masih ada di Surabaya.
2. Kedatangan Inggris
25 Oktober 1945, tentara inggris dari Brigade 49 Divisi 23 British India Army bersandar di Pelabuhan Tanjung Perak. Pasukan tersebut dipimpin oleh Brigadier Aubertin Walter Sothern Mallaby. Hal ini semakin membuat pejuang Surabaya was-was. Mereka menganggap Inggris tak ubahnya penjajah.
"Sebenarnya pasukan yang dibawa Mallaby saat pertama bersandar itu bukan pasukan tempur. Ya, tugas mereka sebenarnya ingin melucuti senjata Jepang. Tapi, arek-arek tidak menganggapnya demikian, siapapun yang datang sama saja seperti Belanda atau Jepang," ungkap Kuncar.
Untuk memperlancar proses pelucutan senjata, Inggris kemudian menyebarkan pamflet lewat udara. Pada 28 Oktober 1945, sebuah pesawat militer Dakota terbang dari lapangan terbang Kemayoran Jakarta. Pesawat itu kemudian berputar-putar di langit Surabaya dan menyebarkan pamflet. Isinya, pemberitahuan bahwa tentara sekutu akan menguasai kota dan semua harus menyerahkan semua senjata.
"Dari sini awal mula perang 3 hari. Perang sebelum 10 November. Kita benar-benar nggak mau ngasih senjata ke Inggris," sebut Kuncar.
Kematian Mallaby dan pecahnya pertempuran 10 November 1945. Baca di halaman selanjutnya.
3. Tewasnya Mallaby
Perang 3 hari membuat Inggris terdesak. Inggris kemudian meminta bantuan pemerintah pusat atau Jakarta untuk melakukan gencatan senjata. Maka kemudian terjadi sebuah perundingan yang dihadiri oleh Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moch Hatta, dan Menteri Penerangan Amir Syarifuddin bertempat di kantor Gubernur Jawa Timur, pada 30 Oktober 1945.
"Bisa dikatakan Inggris kalah saat perang 3 hari ini. Ya, karena mereka memang tidak membawa pasukan tempur," ujar Kuncar.
Hasil dari perundingan itu kemudian disebarluaskan ke seluruh penjuru Surabaya. Para pejuang Surabaya diminta untuk menyerahkan semua senjata. Sebaliknya, Inggris dan sekutu diminta untuk cepat cabut dari Surabaya.
Hasil perundingan itu kemudian menyebar ke sekitar Jembatan merah. Di Gedung Internatio, terjadi pergolakan.
"Posisinya waktu itu di dalam gedung ada orang-orang India. Nah, kita menganggap India ini sama saja seperti Inggris, maka mereka segera diminta keluar,"
Namun, orang-orang India yang ada di dalam Gedung Internatio itu tak segera keluar.
"Mereka yang di dalam gedung itu sebetulnya juga serba salah. Di dalam terus didesak, keluar pun nggak menjamin keselamatan. Soalnya waktu itu di luar gedung memang luar biasa lautan manusianya," tutur Kuncar.
![]() |
Mallaby kemudian datang ke sekitar Gedung Internatio. Namun, dia memilih untuk tetap di dalam mobil.
"Ada beban mental juga bagi Mallaby, karena waktu itu sudah gelap. Melihat manusia segitu banyaknya, Mallaby keder juga, dia milih tinggal di dalam mobil," sebut Kuncar.
Di tengah suasana yang gelap gulita, tetiba terdengar suara pistol menyalak. Ternyata Mallaby tertembak. Seorang pengawalnya kemudian melemparkan granat. Tapi, granat itu justru meledak di dekat mobil Mallaby.
"itu direkonstruksi ulang oleh Inggris beberapa tahun kemudian. Mallaby meninggal karena granat prajuritnya sendiri, Mallaby sebetulnya masih bernapas setelah ditembak," terang Kuncar.
![]() |
4. Komando Keramat hingga Pertempuran 10 November
Setelah berita kematian Mallaby tersebar, jam 11 malam, Gubernur Suryo berpidato di gedung radio NIROM di Embong Malang menyerukan melawan Inggris. Pidato itu dikenal dengan nama "Komando Keramat". Gubernur Suryo menegaskan bahwa para pejuang tidak akan pernah menyerahkan senjata rampasan dan siap bertempur melawan Inggris.
Keesokan harinya, pertempuran 10 November pecah. Inggris yang sudah menambah kekuatan pasukannya berusaha menundukkan Surabaya. Arek-arek Suroboyo juga tak gentar. Mereka terus bertahan. Perang berkecamuk hingga 3 minggu lamanya.
Banyak korban dari kedua belah pihak. Salah satu rumah sakit yang banyak merawat para korban pejuang adalah Rumah Sakit Simpang yang kini jadi Delta Plaza Surabaya. Saking kewalahannya petugas medis dan demi keamanan, banyak para korban yang kemudian dievakuasi ke luar kota. Salah satunya ke Malang. Mereka dinaikkan kereta api dari Stasiun Gubeng Surabaya.
![]() |
Pada 28 November 1945, arek-arek Suroboyo sudah terpukul mundur hingga garis pertahanan Wonokromo. Mereka terus dipaksa keluar dari Surabaya.
"Garis pertahanan kita di Wonokromo sama Gunungsari," ucap Kuncar.
Keesokan harinya, para pejuang semakin terdesak. Mereka sampai di batas akhir garis pertahanan Surabaya di perbukitan Gunungsari yang dipertahankan oleh Tentara Republik Indonesia Pelajar (Trip). 5 orang tentara pelajar gugur saat itu. Mereka terkena tembakan meriam tank Sherman yang menghujam lubang perlindungan mereka.
"Jejak garis terakhir itu ada di Lapangan Golf Yani itu. Di situ ada monumen Kana Yudha. 3 jenazah dari 5 tentara Trip yang gugur itu ditemukan," sebut Kuncar.
Pada akhirnya, Surabaya jatuh ke tangan Inggris, 1 Desember 1945. Kemenangan Inggris jadi angin bagi Belanda. Belanda mendompleng Inggris, untuk kemudian berusaha kembali menjajah Indonesia. Meski begitu, perjuangan arek-arek Suroboyo tercatat dalam tinta emas sejarah perjuangan bangsa.
Selain beberapa momen yang disebutkan di atas, ada rentetan momen lainnya yang mengiringi sejarah pertempuran 10 November 1945. Sebut saja resolusi jihad, rapat samudera, hingga kisah-kisah pahlawan 'kecil' yang heroik mempertahankan kemerdekaan.
Ikuti terus liputan khusus seputar 'Hari Pahlawan' di detikJatim!