Lontong tuyuhan menjadi kuliner khas Rembang, Jawa Tengah, yang kental akan sejarah siar Islam di Lasem. Makanan yang hampir menyerupai opor ayam ini memiliki rasa pedas dari kuah lontong tuyuhan yang memakai bahan cabai merah.
Selain kuahnya yang pedas, ciri khas lontong tuyuhan lainnya adalah penyajian lontongnya yang berbentuk segitiga menyerupai ketupat dengan tiga tusuk lidi sebagai pengaitnya. Konon bentuk tersebut menganut ajaran sunah rasul.
"Disebut lontong tuyuhan, karena makanan ini awalnya berasal dari sebuah kampung kecil di Desa Tuyuhan, Kecamatan Pancur, Rembang. Dulunya lontong tuyuhan ini adalah makanan hidangan manakib para santri-santri Mbah Jumali," kata pemerhati sejarah Kabupaten Rembang, Ernantoro, kepada detikJateng, Rabu (13/4/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ernantoro menjelaskan, lontong tuyuhan dulunya merupakan sebuah rangkaian siar seorang tokoh ulama bernama Mbah Jumali yang makamnya sekarang berada di area Masjid Jami' Lasem.
"Menurut sejarah, dulunya para penjual lontong tuyuhan ini memakai pikulan saat berkeliling dari kampung ke kampung. Hal ini dilakukan para penjual sebagai penyamaran saat terjadinya perang Lasem pada tahun 1734," jelasnya.
Pada tahun 1734, lanjut Ernantoro, saat masa penyerangan Belanda ke Lasem, Mbah Jumali bersama para santrinya berjalan menuju arah selatan Lasem dan mencari lokasi di pinggiran sungai. Sesampainya dilokasi tersebut, Mbah Jumali bersama santrinya mendirikan sebuah gubuk kecil.
"Jadi di sana Mbah Jumali mempersiapkan pertahanan Lasem bersama para santrinya, jika nantinya serangan itu mengarah ke selatan Lasem," ungkapnya.
![]() |
Sesampainya di sana, Mbah Jumali melakukan siar bersama para santri-santrinya. Dalam siar tersebut, Mbah Jumali tak hanya mengajarkan ilmu agama, tapi juga sering memberikan hidangan manakib berupa lontong opor dengan kuah pedas yang berisi ayam kampung kepada para santrinya. Itulah yang sekarang disebut lontong tuyuhan.
"Dulu lontong tuyuhan dijual di gubuk-gubuk kecil di pinggiran sawah dan disajikan bersama minuman es dawet, tapi sekarang telah berubah," ujar dia.
Ernantoro menambahkan, kebiasaan lain yang sering dilakukan Mbah Jumali yaitu selalu mencuci ayam olahannya di sebuah batu di pinggiran sungai, tepatnya di Desa Tuyuhan. Batu tersebut sampai saat ini masih digunakan para pedagang lontong tuyuhan untuk mencuci ayam sebelum diproses.
"Secara garis besar, lontong tuyuhan dulunya adalah makanan yang dihidangkan untuk para santri-santri karena Mbah Jumali mempunyai strategi siar agama Islam melalui makanan dan juga digunakan sebagai strategi pertahanan Lasem kala itu," pungkas Ernantoro.
(rih/sip)