Warga Kabupaten Rembang memiliki menu berbuka puasa khas yakni lontong tuyuhan. Makanan legendaris ini ternyata juga memiliki makna filosofis tersendiri bagi warga Rembang.
Lontong tuyuhan merupakan makanan khas Rembang yang sudah melegenda sejak lama. Dinamakan lontong tuyuhan, karena makanan ini lahir dan berkembang di Desa Tuyuhan, Kecamatan Pancur, Kabupaten Rembang.
Bentuk lontongnya pun tidak seperti pada umumnya. Lontong Tuyuhan berbentuk segitiga.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Cita rasanya yang khas membuat makanan bersantan ini digandrungi banyak orang. Terlebih jika dimakan dalam porsi yang cukup banyak dan berulang kali, dijamin tidak akan bikin mblenger alias enek.
Lontong digunakan sebagai pengganti nasi dalam penyajiannya. Terdapat potongan ayam kampung sebagai menu utama dan tempe rebus maupun jeroan yang menjadi pelengkap menu. Untuk minumannya, lebih nikmat disantap dengan es kelapa muda.
"Rasanya itu seperti sayur opor, tapi ada pedasnya dan juga beda. Nikmatnya untuk buka puasa nanti, pasti bikin nagih terus rasanya," ujar penikmat lontong tuyuhan asal Rembang, Ernawati kepada detikJateng, Selasa (12/4/2022).
Makanan khas Rembang ini dapat dengan mudah dijumpai di Desa Tuyuhan, Kecamatan Pancur, Rembang. Di sana terdapat los pedagang lontong tuyuhan yang berjumlah puluhan berkumpul dalam satu tempat.
Salah satu pedagang lontong tuyuhan, Supardi menyebutkan, secara garis besar untuk memasak lontong tuyuhan menyerupai sayur opor. Namun terdapat bumbu tambahan seperti bumbu dalam sayur semur.
"Ya semua bumbu opor masuk ke sini, tapi ada tambahan seperti ketumbar, merica dan lainnya. Ayamnya pakai ayam kampung, juga ada tempe kedelai biasa yang dimasukkan dalam sayurnya," jelasnya.
Lontong dari masakan ini pun memiliki bentuk segitiga, berbeda dari lontong pada umumnya yang lonjong. Menurut Supardi, ada filosofi tersendiri dalam bentuk lontong yang digunakan sebagai sajian lontong tuyuhan tersebut.
"Bentuknya segitiga ini merupakan simbol. Segitiga kan ada tiga sudut, jadi kita selalu berpegang pada tiga prinsip. Budaya atau sejarah, agama, dan pendidikan. Di situ kita diajarkan dan itu yang jadi acuan kita selama ini," terangnya.
Dalam satu los bangunan yang semuanya diisi puluhan pedagang lontong tuyuhan, selalu saja ramai dikunjungi pembeli. Terlebih saat bulan Ramadan seperti saat ini, lokasi los pedagang lontong tuyuhan akan disesaki para pembeli dari ujung ke ujung.
"Biasanya kalau puasa seperti saat ini pengunjung ramai, dari puluhan pedagang sini malah biasanya sampai kurang-kurang. Padahal menunya sama," pungkasnya.
(aku/ams)