Tradisi Mubeng Beteng Keraton Jogja kembali digelar tahun ini setelah tiga tahun vakum akibat pandemi COVID-19. Masyarakat memadati kompleks Keraton Jogja untuk menyaksikan prosesi ini.
Pantauan detikJateng, masyarakat mulai berdatangan sekitar pukul 19.30 WIB. Mulai anak-anak, orang tua, hingga turis mancanegara tampak antusias menyaksikan prosesi dari awal.
"Nggih niki, mirengke mocopatan (iya ini mendengarkan pembacaan macapat)," terang Ratmi (56), warga Bantul kepada wartawan di kompleks Keraton Jogja, Rabu (19/7/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu, Ardi (26) warga Sleman mengaku baru kali ini melihat langsung tradisi Mubeng Beteng. Meski begitu ia mengaku tidak akan menyaksikan prosesi hingga selesai.
"Baru ini (menyaksikan prosesi), sama teman-teman ini. Nggak sampai selesai mungkin," tuturnya.
![]() |
Tradisi Mubeng Beteng Keraton Jogja
Mubeng Beteng Keraton Jogja merupakan tradisi tahunan merayakan tahun baru 1 Muharram 1445 Hijriah atau 1 Suro. Tradisi ini dimulai dengan pembacaan macapat oleh abdi dalem pada pukul 20.00 WIB. Sementara prosesi mubeng beteng (berkeliling beteng) dilakukan pada tengah malam.
"Jadi sebenarnya inti utama dari mubeng beteng ini bukan perjalanan mubengnya tapi lebih kepada makna dan nilainya untuk melakukan perenungan kemudian kontemplasi dan memohon perlindungan kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk perjalanan 1 tahun ke depan," jelas Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Dian Laksmi kepada wartawan di kompleks Keraton Jogja, Rabu (19/7).
Prosesi Mubeng Beteng dilakukan oleh abdi dalem Keraton Jogja tanpa alas kaki, berjalan mengitari tembok atau beteng Keraton berlawanan dengan arah jarum jam. Dalam perjalanannya, para abdi dalem juga tidak berbicara.
"Nah biasanya kalau untuk mubeng beteng ini akan dilakukan setelah lonceng berbunyi ini nanti ya, pukul 12 (malam). Sebenarnya banyak lintasan untuk mubeng beteng karena pada dasarnya kita kan jalan tanpa berbicara," jelas Dian.
"Kemudian pada abdi dalem biasanya melepas kerisnya tanpa sandal gitu ya dia berjalan karena ingin merasakan sense alam dan Tuhan di dalam perjalanan yang disimboliskan ritualnya itu. Jadi sebenarnya kalau lintasan tidak terlalu masalah tapi inti pentingnya adalah kontemplasi merenung dan kemudian mengingat alam semesta dengan mubeng beteng itu," tutup Dian.
(rih/rih)