Kala Ilmu Titen Tak Lagi Relevan, Nelayan Jogja Diajar Baca Perubahan Iklim

Kala Ilmu Titen Tak Lagi Relevan, Nelayan Jogja Diajar Baca Perubahan Iklim

Jalu Rahman Dewantara - detikJateng
Kamis, 11 Agu 2022 18:24 WIB
Proses pembelajaran di Sekolah Lapang Cuaca Nelayan di Pantai Glagah, Kulon Progo, DIY, Kamis (11/8/2022).
Proses pembelajaran di Sekolah Lapang Cuaca Nelayan di Pantai Glagah, Kulon Progo, DIY, Kamis (11/8/2022). (Foto: Jalu Rahman Dewantara/detikJateng)
Kulon Progo -

Ratusan nelayan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengikuti Sekolah Lapang Cuaca Nelayan (SLCN) yang digelar oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Sekolah ini mengajarkan para nelayan agar bisa memprediksi perubahan iklim sebagai persiapan sebelum melaut.

Kegiatan ini digelar di kawasan pantai Glagah, Kapanewon Temon, Kabupaten Kulon Progo dan diikuti oleh 100 nelayan dari pesisir Kulon Progo dan Gunungkidul. Dibimbing oleh tim dari Stasiun Meteorologi Klas II Yogyakarta, para peserta dikenalkan dengan informasi kemaritiman, cara membaca dan memahami informasi tersebut, hingga alat-alat meteorologi maritim untuk menunjang kesiapan dalam melaut.

Ilmu ini menjadi alternatif pengganti metode titen pranata mangsa yang telah digunakan nelayan sejak zaman dahulu. Pranata mangsa sendiri merupakan penanggalan berbasis peredaran semu matahari. Pada zamannya, penanggalan ini diandalkan oleh nelayan untuk mengatur jadwal melaut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun iklim yang terus berubah dan sulit diprediksi tiap tahunnya membuat metode itu sudah tak relevan lagi. Walhasil diperlukan cara baru seperti yang diajarkan dalam SLCN ini.

"Salah satu yang terpengaruh atas efek perubahan iklim antara lain nelayan. Mereka sekarang sudah kehilangan keteraturan alam. Ilmu titennya itu menjadi kacau, karena suhu muka air laut semakin menghangat, kenaikannya sudah mencapai 29 derajat celsius saat ini, normalnya itu 25-26 derajat celsius sehingga makin sering terjadi gelombang tinggi, badai tropis, dan ini yang sangat terpengaruh itu adalah para nelayan," ucap Kepala BMKG Dwikorita Karnawati saat ditemui di sela-sela kegiatan SLCN, Kamis (11/8/2022).

ADVERTISEMENT

Dwikorita mengatakan imbas dari perubahan iklim ini membuat nelayan makin kesulitan mencari ikan. Di samping itu, juga meningkatkan risiko terjadinya kecelakaan laut.

"Mereka (nelayan) tidak hanya kehilangan tangkapan-tangkapan ikannya karena pengaruh cuaca ekstrem, tapi juga keselamatnya, jiwanya terancam," ucapnya.

Karena itu lanjut Dwikorita, SLCN digelar agar para nelayan memiliki bekal ilmu yang cukup untuk menunjang produktivitas di tengah perubahan iklim. Lewat kegiatan ini, nelayan bisa mendapatkan informasi secara langsung dari BMKG terkait kondisi cuaca, gelombang, hingga kecepatan angin beberapa hari sebelum memutuskan melaut.

"Kami selenggarakan ini agar para nelayan dapat secara terus menerus mendapatkan informasi dari BMKG berupa informasi gelombang, tinggi gelombang 24 jam sebelum kejadian, kemudian juga cuacanya apakah akan ada badai tropis, apakah akan ada hujan lebat. Itu sebelum melaut sehari sebelumnya, sampai tiga hari sebelumnya, sampai 10 hari sebelumnya bahkan," terangnya.

"Sehingga mereka dapat melakukan perencanaan. Kapan saya harus melaut dan zona mana yang penuh ikannya, jadi ini motif semangat di balik sekolah lapang nelayan agar nelayan semakin melimpah tangkapannya dan jiwanya selamat dalam melaut," sambungnya.

Selengkapnya di halaman selanjutnya..

Ditemui di lokasi yang sama, Deputi Bidang Meteorologi BMKG Guswanto menyebut program SLCN cukup efektif meningkatkan produktivitas nelayan, dalam hal ini adalah hasil tangkapan ikan. Selain itu, Guswanto juga mengklaim bahwa lewat program ini nelayan bisa mengurangi biaya operasional karena lebih mudah menentukan titik penangkapan ikan, serta mengurangi risiko terjadinya kecelakaan laut.

"Seberapa efektivitas, jadi kalau kita lihat efektivitasnya ada tiga ya, yang pertama saya sampaikan dulu secara umum nilainya 15 sampai 25 persen peningkatan dari hasil tangkapan. Kemudian hemat bahan bakar juga begitu, karena kalau kita melihat peta itu sudah jelas yang dituju di mana, tidak mencari ikan, jadi langsung efektif bahan bakar bisa hemat sekitar 15-25 persen. Kemudian kecelakaan laut bisa dihindari juga," jelasnya.

Sementara itu salah satu peserta SLCN, Ngudi Warna mengaku terbantu dengan adanya SLCN karena ilmu yang didapat bisa menjadi patokan baru bagi para nelayan sebelum memutuskan terjun ke laut.

"Nelayan Pantai Glagah biasanya kalau kita melaut cuma pakai titen, tapi dengan adanya BMKG ini kita bisa dapat informasi 10 hari sebelumnya kita sudah tahu gelombang mau gede, apa anginnya mau kenceng sudah tahu, jadinya kita bisa persiapan sebelumnya," ujar Ketua Nelayan Pantai Glagah tersebut.

Ngudi juga menyebut bahwa ilmu titen pranata mangsa yang sejak dulu diterapkan nelayan Glagah untuk menentukan jadwal melaut kekinian sudah tidak relevan lagi. Ini efek dari perubahan iklim yang tidak menentu.

"Kalau titen, sekarang kayaknya musim itu sudah enggak kaya dulu. Kalau musim kaya gini itu biasanya anginnya cuma 4 (knot) sekarang sudah gede, jadi titennya sudah tidak masuk lagi. Jadi kalau dengan adanya ilmu baru ini sangat bermanfaat banget sebabnya kalau melaut kan udah tau kita ada titik-titik ikan, di mana itu ada ikan, di mana anginnya, kapan ombaknya gede, kecil itu sudah tahu," ucapnya.

Halaman 2 dari 2
(aku/rih)


Hide Ads