Mantan Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu atau Mbak Ita, diperiksa sebagai terdakwa dalam aidang kasus dugaan korupsi yang menyeret dirinya dan suaminya, Alwin Basri. Ia mengaku sempat menerima dana sebesar Rp 1,2 miliar dari iuran kebersamaan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Semarang.
Hal itu dinyatakan Ita dalam sidang di Pengadilan Tipikor Semarang, Kevamatan Semarang Barat. Ia mengatakan, uang itu disebut sebagai tambahan anggaran operasional untuk wali kota. Uang dissmpaikan November 2022, tak lama setelah dirinya menjabat sebagai Plt Wali Kota Semarang.
"Dia menyampaikan 'ibu mohon izin kami Bapenda akan ada tambahan anggaran operasional wali kota sebesar Rp 300 juta dan sama seperti Pak Hendi. Saya tanya 'ini apa?' katanya 'operasional, kan wali kota banyak kebutuhan'," kata Ita di Pengadilan Tipikor Semarang, Rabu (23/7/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ita mengaku sempat bertanya mengenai dasar dan formulasi anggaran tersebut karena menurutnya, angka-angka dalam daftar yang diberikan terkesan tidak ada rincian jelas dan menyertakan institusi lain seperti kejaksaan, kelurahan, dan kecamatan.
Ita melanjutkan, anggaran tambahan tersebut ditawarkan setiap triwulan, dengan total yang diterima mencapai Rp 1,2 miliar. Namun, ia mengklaim tidak pernah menggunakan uang itu lantaran kebutuhan operasional sudah tercukupi dari sumber lain seperti CSR dan dana resmi.
"Alhamdulillahnya saya tidak pakai, karena saya tidak tahu kebutuhan wali kota. Saya menyimpan, mungkin suatu saat ada kebutuhan mendesak, tapi sampai triwulan ketiga tidak ada, kemudian saya pikir tidak butuh," jelasnya.
"Totalnya (yang diterima) Rp 1,2 miliar. Pengembalian pertama Rp 900 juta karena saya pikir (terima) tiga kali, tapi saya pikir ada satu kali lagi. Jadi saya kembalikan di tahap kedua jadi full Rp 1,2 (miliar) sudah saya kembalikan," lanjutnya.
Ia juga mengungkapkan, baru tahu suaminya juga menerima dana juga dari Bapenda Kota Semarang, yang ia ketahui belakangan setelah suaminya mengaku.
"Saat saya akan mengembalikan Rp 300 juta, saya sedang mencari waktu dengan Bu Iin, tahu-tahu suami saya nyeletuk cari Binawan susah, ditelepon nggak bisa, saya mau mengembalikan. Saya kaget, saya baru tahu kalau suami saya juga terima. Pengakuan dari suami, pengakuan dosa mungkin ya," ungkapnya.
Ia mengaku telah memiliki komitmen dengan Alwin untuk memisahkan keuangan rumah tangga. Ia berujar, dirinya memiliki uang sendiri sehingga tak tahu Alwin juga menerima uang dari Bapenda dan diterima di rumahnya saat ia tak ada.
Kata Ita, Alwin mengaku menerima total Rp 600 juta. Namun, ia tak mengetahui kapan Alwin menerima uang dari Kepala Bapenda, Indriyarsari. Ia juga tak bertanya karena langsung emosi mengetahui Iin mendatangi rumahnya.
"Dia cerita sekali itu kepala Bapenda ke rumah, saya langsung rada emosi. Perempuan (dirinya) rumahnya didatangi perempuan, cantik lagi, dan tidak ada hubungannya," kata Ita.
Uang tersebut akhirnya dikembalikan dalam bentuk dolar Singapura. Pengembalian dilakukan langsung oleh Hevearita dan suaminya kepada Kepala Bapenda. Totalnya, ia menyerahkan Rp 1 miliar.
"Pengembalian kedua di ruang saya. Saya Rp 300 juta, suami Rp 600 juta, tapi pakai dolar Singapura itu totalnya Rp 1 miliar. Saya sampaikan itu ada sisa Rp 100 juta monggo kalau ada kekurangan dihitung lagi," ujarnya.
Ita juga menegaskan, pengembalian dilakukan sebelum penyelidikan KPK dimulai, karena ia merasa tidak nyaman menerima dana yang tidak jelas peruntukannya.
"Kalau yang operasionalnya resmi Pemkot itu kami dapat dari anggaran apa, sekian juta, kalau ada yang minta pake proposal, nanti ada kuitansi, SPJ, stempel. Ini nggak ada," tutrnya.
Sebelumnya diberitakan, JPU dari KPK, Rio Vernika mengungkap adanya uang 'iuran kebersamaan' dari pegawai Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Semarang untuk Mbak Ita dan Alwin. Uang itu berasal dari insentif pemungutan pajak.
"Terdakwa sebagai Plt Walkot Semarang maupun Walkot Semarang, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara atau kepada kas umum yaitu menerima pembayaran 'iuran kebersamaan'," kata Rio dalam sidang di Tipikor Semarang, Senin (21/4/2025).
Ia menjelaskan, Mbak Ita dan suaminya didakwa memotong pembayaran kepada pegawai negeri yang bersumber dari insentif pemungutan pajak dan tambahan penghasilan bagi pegawai ASN Pemkot Semarang.
"Dengan total keseluruhan Rp 3 miliar dengan rincian Terdakwa I menerima Rp 1,8 miliar dan Terdakwa II menerima Rp 1,2 miliar atau setidaknya sekitar jumlah itu," ungkapnya.
Adapun, uang insentif pemungutan pajak dan tambahan penghasilan itu sendiri merupakan penyisihan pendapatan para pegawai Bapenda Kota Semarang yang disebut sebagai 'iuran kebersamaan'. Awalnya, iuran itu akan digunakan untuk kebutuhan nonformal seperti kegiatan Dharma Wanita, rekreasi, bingkisan hari raya, hingga pembelian seragam batik.
Permintaan penyisihan uang iuran kebersamaan yang disampaikan Mbak Ita kemudian disepakati para kepala bidang di Bapenda dan direalisasikan. Uang sebesar Rp 300 juta diserahkan langsung ke ruang kerja Mbak Ita pada akhir Desember 2022.
Kejadian serupa kembali terjadi pada triwulan berikutnya. Pada Maret dan April 2023, Mbak Ita kembali menandatangani SK insentif dengan imbalan Rp 300 juta dari dana 'iuran kebersamaan'.
"Januari 2024, Indriyasari yang menghadap untuk menyerahkan uang, namun Terdakwa I menyampaikan kalimat 'ngko sik' (nanti dulu) yang maksudnya ditunda dulu penyerahan uang kepada Terdakwa I dan Terdakwa II karena ada informasi KPK sedang mengadakan penyelidikan di Kota Semarang," paparnya.