Sidang kasus dugaan korupsi Eks Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu dan suaminya, Alwin Basri, menghadirkan Kepala Bidang Pendataan dan Pendaftaran Pajak Daerah Bapenda Kota Semarang, Binawan. Ia menyebut Alwin pernah meminta Rp 3 miliar kepada Kepala Bapenda.
Dalam kesaksiannya di Pengadilan Tipikor Semarang, Kecamatan Semarang Barat, Binawan menyebut telah menyetorkan uang iuran kebersamaan untuk Ita sebesar Rp 300 juta setiap triwulannya.
Permintaan pertama diserahkan Desember 2022. Ia menyebut, uang disetor karena Ita tak kunjung menandatangani SK Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Permintaan untuk Bu Ita sekitar Rp 300 juta, setahu saya di akhir Desember 2022 yang menyerahkan Bu Iin, tujuan dikasihkan Bu Ita untuk penandatanganan SK TPP," kata Binawan di Pengadilan Tipikor, Rabu (9/7/2025).
"Untuk Bu Ita ada lagi setiap triwulan, yang saya dengar dari Bu Iin seperti itu. Setiap rapat pengalokasiannya itu, supaya cair (SK TPP), ada permintaan dari Bu Ita," lanjutnya.
Selain itu, ia juga mengaku ada penyerahan uang iuran untuk Alwin sekitar Rp 1 miliar. Uang tersebut diberikan secara bertahap.
"(Penyerahan uang untuk) Pak Alwin 4 kali, total Rp 1 miliar. Rp 200 juta pertama Bulan Juli, Rp 200 juta Oktober, Rp 300 juta di Oktober juga, dan 300 di November," ungkapnya.
Alwin Minta Rp 3 M untuk Pencalonan Mbak Ita
Alwin juga disebut meminta uang hingga Rp 3 miliar menjelang akhir 2023. Uang itu disebut akan digunakan untuk mendukung pencalonan sang istri.
"Pak Alwin minta Rp 3 miliar sampai akhir 2023, untuk pencalonan Bu Ita. Bu Iin keberatan, tapi Pak Alwin mengatakan jika tidak menyerahkan sudah ada pengganti dari provinsi," ungkapnya.
Meski tak diberi Rp 3 miliar, Alwin disebut tetap menagih uang Rp 3 miliar yang dimintanya.
Ketua Majelis Hakim, Gatot Sarwadi sempat heran mengapa permintaan Alwin selalu dipenuhi. Binawan menjawab, terdapat ancaman sehingga ia selalu memenuhi.
"Karena ada ancaman. (Ada yang dimutasi) Ada, salah satu Kabid saat itu di Bapenda, Mbak Yulia, kemudian digantikan Bu Ida, yang masih ada saudara dengan Bu Ita," ungkapnya.
Ia menegaskan, ancaman datang dari Alwin. Sementara Ita tak pernah melayangkan ancaman untuk memutasi.
"Yang disampaikan Bu Iin jika, tidak memberikan (untuk Ita), maka SK tidak ditandatangani. Kalau Bu Ita tidak ada ancaman untuk memindah," ungkapnya.
Alwin dan Ita Membantah
Saat berkesempatan memberi pertanyaan, Alwin pun bertanya kapan dirinya pernah mengancam akan melakukan mutasi.
"Kapan saya menampaikan mau ada mutasi? Logikanya di mana?," kata Alwin.
Binawan menjawab, ancaman itu disampaikan Bulan Mei. Alwin kemudian berujar, para saksi bisa menjadi tersangka.
"Kepala Bapenda dan Kabid ini berpotensi sebagai tersangka mohon ditindaklanjuti sama JPU," jelasnya.
Sementara itu, Ita membantah jika Ida yang menggantikan Yulia di Bapenda Kota Semarang bukanlah saudaranya. Sementara Binawan mengaku mengetahui jika keduanya bersaudara dari pengakuan Ida.
"Saudara Ida bukan saudara saya. Pakai ngaku-ngaku kan bisa, saudara pernah nggak tanya saya?" ujar Ita.
Ita juga membantah dirinya pernah meminta uang iuran kebersamaan. Ia menyebut, Kepala Bapenda, Indriyasari yang justru memberikan uang kepadanya.
"Saya menerima uang itu bukan meminta, tapi dari Indriyasari yang memberikan karena itu uang operasional," jelas Ita.
Sebelumnya diberitakan, JPU dari KPK, Rio Vernika mengungkap adanya uang 'iuran kebersamaan' dari pegawai Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Semarang untuk Mbak Ita dan Alwin. Uang itu berasal dari insentif pemungutan pajak.
"Terdakwa sebagai Plt Walkot Semarang maupun Walkot Semarang, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara atau kepada kas umum yaitu menerima pembayaran 'iuran kebersamaan'," kata Rio dalam sidang di Tipikor Semarang, Senin (21/4/2025).
Ia menjelaskan, Mbak Ita dan suaminya didakwa memotong pembayaran kepada pegawai negeri yang bersumber dari insentif pemungutan pajak dan tambahan penghasilan bagi pegawai ASN Pemkot Semarang.
"Dengan total keseluruhan Rp 3 miliar dengan rincian Terdakwa I menerima Rp 1,8 miliar dan Terdakwa II menerima Rp 1,2 miliar atau setidaknya sekitar jumlah itu," ungkapnya.
(afn/ahr)