Ahli Labfor Jadi Saksi Sidang Kekerasan PPDS Undip, Percakapan WA Dibongkar

Ahli Labfor Jadi Saksi Sidang Kekerasan PPDS Undip, Percakapan WA Dibongkar

Arina Zulfa Ul Haq - detikJateng
Rabu, 16 Jul 2025 14:31 WIB
Saksi ahli digital forensik dari Laboratorium Forensik (Labfor) Polda Jawa Tengah (Jateng), Fajar di PN Semarang, Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang, Rabu (16/7/2025).
Saksi ahli digital forensik dari Laboratorium Forensik (Labfor) Polda Jawa Tengah (Jateng), Fajar di PN Semarang, Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang, Rabu (16/7/2025). Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng
Semarang - Sidang pemeriksaan saksi dalam kasus perundungan dan pemerasan di lingkungan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Universitas Diponegoro (Undip) menghadirkan saksi ahli digital forensik dari Laboratorium Forensik (Labfor) Polda Jawa Tengah (Jateng), Fajar. Dia membeberkan hasil pemeriksaan terhadap perangkat HP yang telah disita.

Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Kecamatan Semarang Barat, Fajar menyebut pihaknya telah memeriksa 25 ponsel yang disita dari para pihak. Ia pun membeberkan isi pesan-pesan WhatsApp dan aturan tak tertulis di lingkungan residen anestesi FK Undip.

Fajar mengatakan, berdasar hasil pemeriksaan digital itu, terdapat larangan-larangan di PPDS Undip, di antaranya dilarang berkelahi, narkoba, dan selingkuh.

Selain itu terungkap aturan ponsel milik peserta PPDS diwajibkan hidup 24 jam alias tidak boleh dimatikan.

"HP dilarang keras off, 24 jam on. Setiap ada pesan WA harus segera respons. Ada telepon segera angkat. Jika menelepon senior lalu tidak diangkat, maksimal batas telepon tiga kali," kata Fajar di PN Semarang, Rabu (16/7/2025).

Jika telepon ketiga tidak diangkat, lanjut Fajar, peserta PPDS harus mengirim pesan melalui SMS. Tiga waktu yang diperbolehkan tidak mengangkat telepon yakni saat di ruang OK, sedang bicara dengan Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP), dan intubasi.

Selain itu, Fajar mengungkap adanya pesan terkait pasal anestesi dan tata krama di PPDS Undip.

"Pasal satu, senior selalu benar; Dua, bila senior salah kembali ke pasal 1; Tiga, hanya ada 'ya' dan 'siap'; Empat, yang enak hanya untuk senior; Lima, bila junior dikasih enak, tanya kenapa; Enam, jangan pernah mengeluh karena semua pernah mengalami; Tujuh, jika masih mengeluh, siapa suruh masuk anestesi?" urainya.

Sementara tata krama anestesi berisi bahwa junior harus izin bila bicara dengan senior, semester nol hanya boleh bicara dengan semester satu, dilarang keras bicara dengan semester di atasnya kecuali senior yang bertanya langsung, haram hukumnya semester nol bicara dengan semester dua tingkat ke atas.

Sebelumnya diberitakan, sidang perdana kasus PPDS Undip telah dilaksanakan Senin (26/5/2025). Terdakwa Taufik Eko Nugroho dan Sri Maryani yang memungut BOP sebesar Rp 80 juta per mahasiswa didakwa melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP tentang Pemerasan dan Pasal 378 KUHP tentang penipuan.

Sementara Terdakwa Zara, yang merupakan senior sekaligus 'kambing' alias kakak pembimbing angkatan Aulia, didakwa melakukan pemaksaan dan pemerasan terhadap juniornya di PPDS Anestesi Undip. Atas perbuatannya, Zara didakwa melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP tentang Pemerasan dan Pasal 335 ayat (1) KUHP tentang Pemaksaan dengan Kekerasan.




(ahr/dil)


Hide Ads