Hakim Sidang Kasus PPDS Anestesi Undip: Tugas Senior Dikerjakan Junior, Lucu!

Hakim Sidang Kasus PPDS Anestesi Undip: Tugas Senior Dikerjakan Junior, Lucu!

Arina Zulfa Ul Haq - detikJateng
Rabu, 25 Jun 2025 18:46 WIB
Mahasiswa PPDS Anestesi Undip angkatan 77 yaitu Bayu, Kalika, Danang, Nur Akbar, dan Rezki dihadirkan menjadi saksi di PN Semarang, Rabu (25/6/2025).
Mahasiswa PPDS Anestesi Undip angkatan 77 yaitu Bayu, Kalika, Danang, Nur Akbar, dan Rezki dihadirkan menjadi saksi di PN Semarang, Rabu (25/6/2025). Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng
Semarang -

Sidang kasus dugaan perundungan dan pemerasan di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anastesi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip) kembali tegang. Hakim mencecar saksi-saksi dari angkatan 77 yang menyatakan tidak ada perundungan.

Sidang dengan agenda pembuktian dari jaksa penuntut umum (JPU) dalam kasus yang menewaskan mahasiswa PPDS, dokter Aulia Risma itu dilaksanakan di Pengadilan Negeri (PN) Semarang. Sidang menghadirkan mahasiswa PPDS Anestesi Undip angkatan 77 yaitu Bayu, Kalika, Danang, Nur Akbar, dan Rezki.

Hakim anggota, Rightmen Situmorang menyoroti pengakuan para saksi jika tugas-tugas milik senior dikerjakan oleh para junior. Hal itu termasuk urusan logistik, penyusunan materi ilmiah, hingga pemenuhan kebutuhan makan senior yang disebut makan 'prolong'.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Tugas senior kalian disuruh ngerjain benar nggak kayak gini? Perundungan nggak itu?" tanya Rightmen kepada para saksi di PN Semarang, Rabu (25/6/2025).

Salah satu saksi, Bayu, hanya menjawab 'tergantung'. Mendengar hal itu, hakim langsung menanggapi dengan nada tinggi.

ADVERTISEMENT

"Bayangkan saja sampai angkatan 77 kegiatan kayak gitu dikerjakan. Kenapa, karena kalian nggak mau melaporkan, karena kalian nggak mau komplain. Kalau angkatan 60 sudah komplain, nggak perlu sampai ada yang mati, diterusin nggak?" tegasnya.

Pernyataan hakim mengarah pada dugaan perundungan dan iuran bulanan mahasiswa hingga puluhan juta per orang yang sebagian digunakan untuk membiayai kebutuhan senior.

"Saya baru kali ini lihat sekolah seperti ini. Uang makan senior sehari sampai Rp 5 juta, yang nangani junior," ujarnya.

"Tugas-tugas senior dikerjakan juga sama junior. Lucu itu, dan itu terjadi di PPDS Anestesi Fakultas Kedokteran Undip, mau jadi apa? Kan itu pertanyaannya," sambungnya.

Ia juga mencermati para saksi tampak berupaya menutupi fakta-fakta sebenarnya. Ketika satu per satu saksi diminta menjelaskan, barulah muncul pengakuan adanya perundungan dan fakta jika praktik itu masih berlanjut hingga ke angkatan bawahnya.

"Akhirnya sama kelakuan kalian. Setelah kalian senior, kalian gitu kan juga junior kalian. Tugas-tugas kalian dikerjakan juga sama junior," tuturnya.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) menambahkan praktik itu masih dilanggengkan. Namun, beberapa ada yang mengatakan pihaknya tak meneruskan tugas ke junior.

Sementara saksi Kalika Firdaus dan saksi Nur Akbar mengaku masih meneruskan tradisi memberikan tugas ke junior. Saat ditanya hakim mengapa hal itu diteruskan, salah satu saksi menjawab hal itu sebagai tradisi.

"Ya, tradisinya apa? Tradisinya nge-bully junior. Biar telinga sama mata kita ini semua terbuka, 78 masih ada nggak ngerjain tugas senior? Ada nggak angkatan 78 yang dijadikan saksi? Biar kita dengar. Mereka (saksi) meneruskan nggak tugas-tugasnya ini," tanya hakim.

"Jangan bilang nggak ada, nggak ada. Nanti kalau mereka sudah ngomong, baru kalian bingung. Nggak masuk akal menurut saya terus terang saja," sambungnya.

Hakim kemudian mengingatkan para saksi akan pentingnya berbicara jujur dalam memberikan kesaksian demi memperbaiki sistem pendidikan yang cacat.

"Yang dilindungi di sini apa? Mahasiswa PPDS, kalian-kalian ini, dokter berikutnya yang mau masuk PPDS. Kalau kalian nggak bantu menyelesaikan masalah ini, sama aja kalian melestarikan yang kayak gini terus. Sadar nggak?" ujarnya.

Sementara itu para saksi hanya bergeming. Sebelumnya, JPU juga sempat menyinggung para saksi lantaran keterangan mereka berbeda dengan keterangan kepada penyidik dalam Berita Acara Pemeriksaan.

Sebelumnya diberitakan, dalam sidang perdana kasus PPDS Undip telah dilaksanakan Senin (26/5). Terdakwa Kaprodi Anestesi Undip Taufik Eko Nugroho dan Sri Maryani yang memungut BOP sebesar Rp 80 juta per mahasiswa didakwa melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP tentang Pemerasan dan Pasal 378 KUHP tentang penipuan.

Sementara Terdakwa Zara, yang merupakan senior sekaligus 'kambing' alias kakak pembimbing angkatan Aulia, didakwa melakukan pemaksaan dan pemerasan terhadap juniornya di PPDS Anestesi Undip. Atas perbuatannya, Zara didakwa melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP tentang Pemerasan dan Pasal 335 ayat (1) KUHP tentang Pemaksaan dengan Kekerasan.




(ams/dil)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads