Arogansi Senior PPDS Undip Berkedok 'Pasal Anestesi' Terungkap di Sidang

Round-Up

Arogansi Senior PPDS Undip Berkedok 'Pasal Anestesi' Terungkap di Sidang

Tim detikJateng - detikJateng
Selasa, 27 Mei 2025 07:00 WIB
Sidang perdana terdakwa kasus bullying PPDS Undip dengan terdakwa Taufik Eko Nugroho dan Sri Maryani di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Senin (26/5/2025).
Sidang perdana terdakwa kasus bullying PPDS Undip dengan terdakwa Taufik Eko Nugroho dan Sri Maryani di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Senin (26/5/2025). Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng
Solo -

Arogansi senior di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) terungkap dalam sidang perdana di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, kemarin. Ada tiga tersangka dalam kasus bullying yang menyebabkan dr Aulia meninggal itu.

Sidang dimulai pukul 13.05 WIB, Senin (26/5). Terdakwa dr Taufik Eko Nugroho selaku eks Kaprodi PPDS Anestesi Undip dan Sri Maryani selaku staf administrasi menjalani sidang lebih dahulu. Setelah itu sidang dengan terdakwa Zara Yupita Azra, senior di PPDS Anestesi Undip, dimulai pukul 14.20 WIB.

Jaksa Ungkap 'Pasal Anestesi'

Arogansi senior PPDS Anestesi Undip yang terangkum dalam 'pasal anestesi' itu diungkapkan jaksa penuntut umum (JPU) Sandhy Handika. Awalnya jaksa mengatakan Zara merupakan kakak pembimbing (kambing) mendiang dr Aulia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Zara yang saat itu merupakan angkatan 76 PPDS Anestesi Undip, memberikan materi kepada Aulia dan teman-teman angkatan 77 PPDS Anestesi Undip melalui Zoom Meeting pada Juni 2022.

Terdakwa kasus pemerasan di PPDS Undip, Zara Yupita Azra, di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Senin (26/5/2025).Terdakwa kasus pemerasan di PPDS Undip, Zara Yupita Azra, di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Senin (26/5/2025). Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng

"Dalam pertemuan tersebut dr Zara Yupita Azra memberikan arahan dan perintah kepada angkatan 77 mengenai adanya sistem operan tugas berupa makan prolong, joki tugas, dan keperluan-keperluan lainnya," kata Shandy di PN Semarang, Senin (26/5/2025).

ADVERTISEMENT

Shandy juga menyampaikan pasal anestesi dan tata krama anestesi yang wajib dilaksanakan. Isi pasal anestesi tersebut yakni senior selalu benar, bila senior salah kembali ke pasal 1, hanya ada 'ya' dan 'siap', yang enak hanya untuk senior, bila junior dikasih enak tanpa tanya 'kenapa?' mencerminkan kondisi bahwa junior seharusnya tidak mendapatkan kemudahan, jangan pernah mengeluh karena semua pernah mengalami.

Ada pula tata krama anestesi yang harus ditaati mahasiswa. Mulai dari izin bila bicara dengan senior, semester nol hanya bisa bicara dengan semester satu, dilarang bicara dengan semester di atasnya, harus senior yang bertanya langsung, haram hukumnya semester nol bicara dengan semester dua tingkat ke atas.

"Terdakwa dr Zara Yupita menyampaikan, 'kalian sudah tahu pasal anestesi itu apa? Itu dihafalkan di pedoman itu paten di anestesi'," ujar Shandy.

Sediakan Makan untuk Senior

Dalam dakwaannya, Shandy menyebut Zara mendoktrin mahasiswa PPDS Anestesi Undip angkatan 77 untuk menerapkan pasal dan tata krama anestesi. Ada juga operan tugas bagi mahasiswa PPDS untuk menyediakan makan prolong, logistik, transportasi, hingga mengerjakan tugas ilmiah senior dan dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP).

"Bahwa makan prolog sendiri adalah istilah yang digunakan untuk makanan yang disediakan bagi seluruh pasien senior dan atau dokter penanggung jawab pelayanan DPJP yang masih bertugas di atas jam 18.00 WIB di RSUP dr. Kariadi," jelas Shandy.

"Proses penyediaan makanan makan prolong ini merupakan implementasi langsung dari doktrin yang enak hanya untuk senior dan bila junior dikasih enak (harus) tanya," sambung dia.

Shandy menyebut bahwa penyediaan makan prolong bukan inisiatif sukarela dari angkatan 77, tapi kewajiban sebagai konsekuensi dari pasal anestesi dan tata krama anestesi yang disampaikan Zara.

"Seluruh biaya makan prolong ini dibayarkan kepada anggota angkatan 77 tanpa adanya kontribusi dari senior yang memiliki makan tersebut. Sebagaimana diperintahkan terdakwa Zara Yupita," ucap Shandy.

Berdasarkan bukti transfer dalam rekening mendiang Aulia dan teman seangkatannya, transfer dana untuk keperluan makan prolong ini dilakukan secara rutin selama kurang lebih 6 bulan. Total uang yang terkumpul Rp 766 juta.

"Rekening atas nama Aulia Risma Lestari sebesar Rp 494.171.000. Dari rekening atas nama Bayu Ardibowo sebesar Rp 272.500.000. Total Rp 766 juta," ungkap Shandy.

Ada pula bukti transfer untuk membayar joki tugas buat menyelesaikan tugas para senior. Dengan sistem joki tugas ini, angkatan 77 diwajibkan membayar pihak ketiga yang akan mengerjakan tugas-tugas akademik senior mereka.

"Total (transfer pembayaran ke pihak ketiga) Rp 98.058.500," ungkapnya.

Kata Kasar-Hukuman Fisik

Shandy mengatakan, senioritas yang didoktrinkan Zara melalui pasal anestesi dan tata krama anestesi itu merupakan bentuk identifikasi psikologis dan ancaman terselubung kepada angkatan 77.

Zara dan angkatan 76 disebut pernah melakukan evaluasi kepada angkatan 77 pada Juli 2022. Ia disebut melontarkan kata-kata kasar serta menghukum dokter Aulia dan kawan-kawan.

"Mengumpulkan angkatan 77 di basecamp 76 setiap mereka melakukan kesalahan di mana angkatan 77 diberikan hukuman berupa berdiri kurang lebih selama 1 jam dan difoto. Foto tersebut kemudian dilaporkan kepada grup 23 anestesi," paparnya.

Selengkapnya di halaman selanjutnya

"Setelah hukuman berdiri, angkatan 77 dipersilakan duduk untuk dilakukan evaluasi dari jam 02.00 WIB sampai dengan jam 03.00 WIB," lanjut Shandy.

Shandy mengungkapkan, jika angkatan 77 terus melakukan kesalahan, mereka akan terus dihukum di waktu istirahat mereka. Zara juga disebut mengutarakan pesan teks yang intimidatif, termasuk akan mempersulit hidup Aulia.

"Terdakwa mengancam akan mempersulit hidup almarhum Aulia Risma hingga keluar dari program anestesi jika terdakwa atau seniornya sampai mendapat hukuman karena kesalahan almarhum Aulia Risma," ujarnya.

"Jika terdakwa sampai kena hukuman tambah jaga dan jaga full satu bulan, maka tidak hanya almarhum Aulia Risma yang akan diajukan ke senior untuk menerima hukuman tapi semua angkatan," imbuh Shandy.

Shandy menyampaikan, relasi kuasa antara senior dan junior memiliki pengaruh signifikan terhadap perjalanan akademik junior di PPDS Anestesi Undip. Doktrin dan sistem senioritas ini secara efektif berfungsi sebagai ancaman kekerasan psikologis.

"Yang membuat angkatan 77 terpaksa menyerahkan sejumlah uang untuk memenuhi kebutuhan keinginan senior," tuturnya.

Junior Setor Total Rp 864 Juta

Sederet arogansi senior itu membuat angkatan 77 tidak punya pilihan selain mematuhi perintah terdakwa Zara. Sebab, penolakan dapat berakibat pada hambatan dalam pelajaran akademik mereka. Perbuatan Zara itu dinilai bertentangan dengan etika dan kode etik profesi kedokteran.

"Akibat perbuatan terdakwa Dr. Zara Yupita, mahasiswa PPDS Anestesi Undip angkatan 77 terpaksa secara bertahap mengumpulkan dan mengeluarkan uang dengan jumlah total sebesar Rp 864 juta," ungkapnya.

Shandy mengatakan, mahasiswa angkatan 77 tidak ada yang berani menanyakan biaya untuk makan prolong, logistik, transportasi, karena pakem di lingkungan PPDS anestesi Undip Semarang membatasi cara komunikasi di antara senior-junior.

Rangkaian ancaman kekerasan dari pasal anestesi dan tata krama anestesi juga dikatakan berdampak buruk terhadap mendiang Aulia, yang kata Shandy, mengakhiri hidup akibat kekerasan psikis selama di PPDS Anestesi Undip.

"Dapat disimpulkan kalau faktor utama yang ditemukan pada almarhum dokter Aulia Risma adalah hilangnya rasa kepercayaan diri, frustrasi, ketakutan yang mendalam, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan berkontrol serta penghayatan ketidakberdayaan," terangnya.

"Dampak ini menjadi masalah psikologis yang serius, mengarah pada gangguan suasana hati depresi yang berujung pada tindakan mengakhiri hidupnya sendiri," lanjutnya.

Akibat perbuatannya, Zara didakwa Pasal 368 ayat (1) KUHP tentang Pemerasan, Pasal 335 ayat (1) KUHP tentang Pemaksaan dengan Kekerasan.

Eks Kaprodi Pungut Rp 80 Juta ke Tiap Mahasiswa

Dalam sidang dengan terdakwa eks Kaprodi PPDS Anestesi Undip, dr Taufik Eko Nugroho, dan staf administrasi Sri Maryani, jaksa menyebut bahwa residen atau mahasiswa harus membayar biaya operasional pendidikan (BOP).

"Terdakwa dr Taufik Eko Nugroho secara konsisten menyatakan bahwa setiap residen atau mahasiswa PPDS semester 2 ke atas wajib membayar iuran biaya operasional pendidikan (BOP) sampai dengan sebesar kurang lebih Rp 80 juta per orang," kata JPU, Sandhy.

Sandhy mengatakan, uang tersebut diklaim untuk memenuhi keperluan ujian CBT, OSS, proposal tesis, konferensi nasional, CPD, jurnal reading, dan publikasi ilmiah serta kegiatan lainnya yang berujung dengan persiapan akademik.

"Mahasiswa PPDS lintas angkatan sejak tahun 2018-2023 sebenarnya merasa keberatan, tertekan dan khawatir atas iuran yang diwajibkan oleh terdakwa dr Taufik Eko Nugroho itu," ujarnya.

"Namun, mereka tidak berdaya karena terdakwa dr Taufik Eko Nugroho dalam kedudukannya sebagai KPS (Kepala Program Studi) menciptakan persepsi bahwa kepesertaan dalam ujian dan kelancaran proses pendidikan sangat ditentukan oleh ketaatan membayar iuran BOP," sambungnya.

Dalam dakwaan itu, Taufik disebut juga menekankan soal iuran BOP dalam pertemuan dengan para bendahara angkatan. Disebutkan bahwa perbuatan Taufik dipahami sebagai ancaman nyata terhadap keberlanjutan pendidikan para mahasiswa PPDS. Untuk melancarkan penerimaan uang iuran itu, Taufik disebut memanfaatkan kasta di tengah lingkungan PPDS anestesi.

Dijelaskan dalam dakwaan itu bahwa sistem kasta secara formal membagi residen atau mahasiswa PPDS ke dalam tujuh tingkatan hirarki. Mulai dari mahasiswa tingkat satu, kakak pembimbing (kambing) atau mahasiswa tingkat dua, middle senior yakni mahasiswa tingkat tiga-empat, senior atau mahasiswa tingkat lima, shift of shift atau mahasiswa tingkat 6-7, dewan suro atau mahasiswa tingkat 8 atau akhir, hingga dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP).

"Sistem tingkatan atau kasta antartingkatan ini diberlakukan secara turun-temurun dan dikuatkan melalui doktrin internal yang dikenal sebagai pasal anestesi," kata Sandhy.

"Junior tidak dibolehkan mengeluh karena perlakuan yang diterimanya. Jika masih mengeluh, siapa suruh masuk anastesi? Jika Junior terus mengeluh, mereka seolah-olah disalahkan atas tindakan mereka," ujar Sandhy.

Sandhy melanjutkan, hal itu dinilai tidak manusiawi karena menumbuhkan atmosfer relasi kuasa absolut yang membuat junior terpaksa, takut, cemas, hingga stress. Namun, Taufik selaku Kepala Program Studi (KPS) tak pernah membongkar sistem itu dan justru menyetujuinya.

Tentang Rp 2,49 miliar di rekening pribadi ada di halaman selanjutnya.

"Secara tidak langsung membiarkan dan memanfaatkan sistem kekuasaan ini menjadi sistem dengan pemaksaan dalam pelaksanaan pungutan residen yang dipimpinnya," terangnya.

Sandhy menambahkan, terdapat ancaman kekerasan nonfisik dan psikologis bagi para residen mahasiswa PPDS.

"Karena setiap bentuk pembangkangan dan ketidakpatuhan dapat berdampak pada evaluasi akademik dan pengucilan dari kegiatan pembelajaran," lanjutnya.

Rp 2,49 M di Rekening Pribadi

Sementara dalam pengumpulan dana BOP residen, Taufik diduga menunjuk bendahara utama residen untuk mengkoordinir pengumpulan dana dari para mahasiswa melalui bendahara angkatan. Taufik kemudian memerintahkan Maryani untuk menarik uang BOP.

"Bendahara angkatan meminta uang BOP dari mahasiswa PPDS. Setelah uang BOP terkumpul, bendahara angkatan dapat menyerahkan uang BOP secara tunai kepada terdakwa Sri Maryani secara langsung atau melalui bendahara utama residen," ungkapnya.

Dana yang terkumpul itu tidak disimpan dalam rekening fakultas atau universitas, melainkan dalam rekening pribadi Sri Maryani.

"Terdakwa Sri Maryani menerima dana dari berbagai bendahara angkatan dan bendahara utama secara tunai dengan jumlah total mencapai Rp 2,49 miliar," tuturnya.

Dana itu berasal dari para residen lintas angkatan sejak tahun 2018-2023. Kemudian, saat uang di rekening Maryani telah menipis, Maryani akan melapor kepada Taufik yang kemudian memerintahkan mengumpulkan dana tambahan.

Uang itu pun lantas digunakan Taufik dan Maryani untuk berbagai keperluan yang hanya menguntungkan beberapa pihak dan seharusnya tidak menjadi tanggungan residen atau mahasiswa PPDS.

"(Untuk) Uang saku undangan pelatihan soal kompre, penginapan, pelatihan soal kompre, uang saku pembimbing dan moderator, uang lembur sekretariat, pembelian buku neuroanestesi PPDS, uang saku penilai tesis, uang saku pembimbing tesis, konsumsi pembacaan, konsumsi rapat, uang saku pembimbing tiga, uang saku penilai, konsumsi rapat," kata Sandhy.

Taufik dan Maryani pun disebut secara aktif menerima sejumlah uang secara langsung dari dana tersebut.

"Total dana BOP yang telah diterima oleh terdakwa dr Taufik yang selama jabatan sebagai KPS mencapai setidak-tidaknya Rp 177 juta," jelasnya.

"Terdakwa Sri Maryani mendapatkan keuntungan berapa honor sebesar Rp 400 ribu per bulan dari sumber keuangan BOP residen dengan total sebesar Rp 24 juta," imbuh dia.

Usai adanya isu internal mengenai pengelolaan dana BOP mencuat pada 4 Agustus 2023, Taufik memerintahkan Maryani menghentikan pengelolaan dana BOP dan menyerahkan seluruh sisa uang yang masih dikuasainya ke bendahara utama residen.

Sandhy menjelaskan, tak ada dasar hukum yang sah selama pengumpulan dan pemanfaatan dana BOP tersebut. Biaya resmi PPDS anestesi dan terapi intensif unimed telah ditetapkan dalam keputusan Rektor Unimed Nomor 483/UN7.TP/HK/2022, sehingga tindakan keduanya disebut merupakan pungutan liar (pungli).

"Tindakan terdakwa Taufik bersama-sama dengan terdakwa Sri Maryani merupakan bentuk pungutan liar atau ilegal karena pungutan di luar biaya sumbangan pengembangan pendidikan atau SPP hanya dikenal dalam bentuk sumbangan pengembangan institusi atau SPI dan tidak pernah dalam bentuk BOP sebagaimana dilakukan oleh terdakwa Taufik dan terdakwa Sri Maryani," paparnya.

"Perbuatan para terdakwa adalah tidak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 368 ayat 2 KUHP juncto pasal 64 ayat 1 KUHP," tuturnya.

Terdakwa Tak Ajukan Eksepsi

Adapun pihak terdakwa tak mengajukan eksepsi atau keberatan terhadap dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Hal itu disampaikan kuasa hukum terdakwa, Kaerul Anwar.

"Kenapa tidak mengajukan eksepsi? Kita paham eksepsi itu kan ada formal dan materiel. Formal itu menyangkut substansi identitas terdakwa. Itu sudah klir, nggak ada masalah," kata Kaerul usai persidangan di PN Semarang, Senin (26/5/2025).

"Kemudian kalau materielnya itu kan mengenai konstruksi dakwaan. Kalau itu bagi saya bukan substansi pokok perkara. Makanya kita ingin lebih cepat untuk disidangkan pokok perkaranya. Yang kita uji adalah faktanya di persidangan," lanjutnya.

Ia menyebut, eksepsi dengan alasan dakwaan kabur atau yang lain hanya akan mengulur waktu, sehingga pihaknya menegaskan akan fokus tetap kepada pokok perkara.

"Makanya kita tidak akan eksepsi masalah itu. Ya, kalau hanya dakwaan kabur dan lain sebagainya, itu hanya menunda waktu, tidak akan menghentikan proses," tuturnya.

Kaerul juga menyampaikan, pihaknya tetap akan menghadirkan ahli dan juga saksi yang meringankan.

"Ahli dan saksi yang meringankan pasti akan kita hadirkan. Tapi kita tunggu dulu. Prosesnya kita ikuti dari rekan jaksa penuntut umum dulu," tuturnya.

"Ada saksi yang diperiksa dalam penyelidikan di Polda, tetapi dalam tahap penyidikan dia sudah tidak dijadikan saksi. Kenapa? Karena mungkin tidak menguntungkan," imbuh dia.

Ia mengatakan, juga akan menghadirkan saksi dari mahasiswa PPDS Anestesi Undip angkatan 76 dan 78.

"Biar nanti semua terungkap terang-benderang yang sebenarnya seperti apa yang terjadi. Jadi tidak seperti yang mungkin selama ini diinfokan oleh pihak lain. Kita ingin biar nanti fakta persidangan aja yang menyuarakan," tegasnya.

"Coba diperhatikan. Dokter Taufik, Bu Sri Maryani, dakwaannya Pasal 378 penipuan. Apa kaitannya dengan meninggalnya almarhum?" ujarnya.

Menurutnya, harus ada pembuktian bahwa korban dokter Aulia tewas karena bunuh diri. Hal itu, kata Kaerul, belum pernah diterangkan pihak penyidik dari kepolisian.

"Menkes pernah statement di awal bahwa almarhum meninggal dunia karena bunuh diri. Itu yang harus dibuktikan," tegasnya.

"Kepolisian sampai dengan hari ini tidak pernah ada statement yang menerangkan dia bunuh diri," lanjutnya.

Halaman 2 dari 3
(dil/rih)


Hide Ads